Tempat suci untuk memuliakan dan memuja arwah suci para leluhur terutama ibu bapak yang sudah tiada dan berada di alam baka(sunia loka) bagi masyarakat Hindu di Bali disebut merajan atau sanggah. Walaupun tidak ditemukan istilah merajan atau sanggah dalam pustaka, namun sudah dapat dipastikan bahwa yang disebut parahyangan tempat menghormati serta memuliakan dan memuja arwah suci nenek moyang atau leluhur tidak lain adalah merajan atau sanggah. Landasan sastra dalam membangun sanggah atau merajan adalah:
Bhagawad-gita
Di dalam kitab bhagawad-gita disebutkan: samkara naraka yai’va kulaghana nam kulasya chapantati pitaro hy esham luptapindodakakryah.
Artinya: Keruntuhan moral ini membawa keluarga dan para pembunuhnya ke neraka, arwah moyang jatuh cedera semua sesajen, air dan nasi tiada baginya.
Penjelasan dari arti sloka diatas: bahwa jika keluarga sudah hancur, maka kewajiban keluarga terhadap tradisi dan agama tidak terurus lagi, seperti upacara sradha, dimana dilakukan upacara mengenang jasa-jasa nenek moyang di pitra loka(tempat arwah mereka segera sesudah meninggal sebelum mencapai surga)dengan mempersembahkan sesajen yang terdiri dari makanan, buah-buahan dll.
Lontar Purwa Bhumi Kemulan.
Di dalam lontar Purwa Bhumi Kemulan antara lain disebutkan: yan tan semangkana tan tutug pali-pali sang dewapitra manaken sira gawang tan molih ungguhan, tan hana pasenetanya.
Artinya: bilamana belum dilaksanakan demikian(belum dibuatkan tempat suci) belumlah selesai upacara yang dewapitra(leluhur) tidak mendapat suguhan dan tidak ada tempat tinggalnya. Lebih lanjut di dalam lontar ini dijelaskan : apan sang dewapitranya salawase tan hana jeneknya. Terjemahan: oleh karena sang dewapitra(leluhur) tidak ada tempat menetapnya, dapat dijelaskan bahwa upacara ngunggahang dewapitra(leluhur) adalah untuk menetapkan stana sementara dari dewapitra(leluhur) pada bangunan pemujaan sebagai simbolis, bahwa dewapitra telah mempunyai sthana tempat yang setara dengan dewa.
Lontar Nagarakrethagama
Disebutkan: ngka tang nusantarane Balya matemahan secara ring javabhumi, dharma mwang kramalawan kuwu tinapak adeh nyeki sampu tiningkah. Maksudnya: yang diterapkan di Bali persis mengikuti keadaan di Jawa terutama berkaitan dengan bentuk bangunan candi, pasraman dan pesanggrahan atau rumah. Yang disebut candi tidak lain adalah parahyangan untuk memuja leluhur.
Lontar Ciwagama.
Didalam lontar ciwagama diuraikan tentang ketentuan mendirikan pelinggih(bangunan suci) yang disebut ibu dan panti. yang dimaksud dengan pelinggih didalam lontar ini adalah tempat suci untuk memuliakan dan memuja arwah leluhur, di Bali ini disebut merajan/sanggah. Bagi masyarakat Hindu di Bali merajan tidak saja sebagai tempat memuja leluhur tapi juga sebagai tempat untuk memuliakan dan memuja Hyang Widhi dengan segala prabawaNya.
Semoga bermanfaat, Silahkan share:
Like this:
Like Loading...
Related
Recent Comments