Umat Hindu kembali merayakan hari raya Galungan, Rabu (29/8) besok. Dalam era kekinian, bagaimana mestinya umat Hindu memaknai Galungan yang rutin datang setiap enam bulan tersebut?
DOSEN IHDN Denpasar Dr. Wayan Suarjaya mengatakan hari raya Galungan mesti mampu dimaknai dengan baik. Perayaan Galungan mesti dimaknai sejauh mana umat berhasil melawan sifat-sifat Tiga Kala (Kala Galungan, Kala Dungulan dan Kala Amangkurat). Dalam konteks sekala, kala-kala itu bisa berwujud hawa nafsu untuk memiliki harta berlebihan, mabuk kekuasaan, dan bersifat hedonis. ”Melalui perayaan Galungan kita diingatkan agar mampu mengendalikan hawa nafsu yang berlebihan,” kata mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Kemenag ini.
Ciri keberhasilan umat melawan ketiga kala itu adalah makin dekat dengan Tuhan (Ida Hyang Widhi Wasa) dan leluhur, rukun dalam keluarga dan lingkungan, dan melaksanakan swadharma dengan baik. Misalnya, sebagai penegak hukum, seseorang haruslah profesional, yakni menegakkan hukum dengan baik.
Ketua Umum Yayasan Dwijendra Pusat Denpasar Drs. Ida Bagus Gede Wiyana mengatakan, perayaan Galungan di bulan Agustus ini momentum yang baik, karena masih dalam suasana HUT Kemerdekaan RI dan perayaan hari keagamaan umat muslim yaitu Idul Fitri. Galungan merupakan hari kemenangan dharma melawan adharma, HUT Kemerdekaan RI adalah hari kemerdekaan (mahardika) dari penjajah dan Idul Fitri hari kemenangan melawan hawa nafsu.
Dikatakannya, momentum hari raya Galungan ini hendaknya mampu dimanfaatkan untuk menyelaraskan pikiran agar menjadi terang benderang dan berkesadaran tinggi. Inilah yang disebut sebagai implementasi kemenangan dharma melawan adharma. Menjadi orang yang mahardika (merdeka) yakni terbebas dari segela bentuk penjajahan, sekala-niskala, fisik atau batin yang tidak dicekoki oleh hal-hal negatif.
Momentum hari raya Galungan, kata Ketua FKUB Bali ini, juga sebagai bentuk pengendalian Sapta Timira yaitu tujuh macam kegelapan atau kemabukan, yaitu surupa (mabuk karena ketampanan), dhana (mabuk karena kekayaan), guna (mabuk karena kepandaian), kulina (mabuk karena keturunan), sura (mabuk karena meminum minuman keras), dan kasuran (mabuk karena kemenangan).
Dosen Unhi Denpasar Dr. Wayan Budi Utama mengatakan Galungan hendaknya dimaknai sebagai peringatan kepada umat agar menghargai dan mengelola waktu dengan sebaik-baiknya. Implementasinya adalah waktu lampau harus dijadikan cermin untuk melangkah ke waktu yang akan datang agar menjadi lebih baik. Kesempatan saat ini (waktu saat ini) sebaiknya digunakan untuk merancang masa depan yang lebih baik.
Salah satu fondasi penting yang harus dimaknai melalui perayaan Galungan adalah disiplin. Disiplin waktu, disiplin di jalan, serta disiplin dalam mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Hal ini bisa dilakukan melalui pendidikan. Karena itu investasi melalui pendidikan mutlak menjadi prioritas umat Hindu saat ini jika ingin menyongsong masa depan yang lebih baik.
”Melalui Galungan ini mudah-mudahan makin banyak umat Hindu yang memaknainya dengan memperhatikan perbaikan kualitas SDM Hindu melalui jalur pendidikan,” katanya.
Kekuatan sang Kala Tiga Galungan, menurutnya, harus dimaknai bahwa masa depan (waktu yang akan datang) harus lebih baik dari saat ini, sehingga kualitas kehidupan menjadi lebih baik, kualitas keimanan meningkat, sehingga tercipta kesalehan sosial dalam masyarakat.
Sumber: Bali Post, 28 Agustus 2012 | Renungan Galungan Menjadi Orang ”Mahardika”
Semoga bermanfaat, Silahkan share:
Like this:
Like Loading...
Recent Comments