Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Daily Archives: August 17, 2012

Poligami dan Poliandri Dalam Hindu


Secara umum mencintai orang lain selain istri atau suami sendiri dianggap umum sudah mengurangi kadar kesetiaan dalam perkawinan. Karena itu Hindu mengajarkan kepada umatnya untuk sejauh mungkin menghindari poligami dan poliandri.

Namun, dalam tradisi umat Hindu di Bali jodoh itu diyakini sebagai suatu buah karma yang disebut dengan istilah “jatu karma”. Dalam Chanakya Nitisastra IV.1 dinyatakan, kelahiran, jenis pekerjaan/pengetahuan, kekayaan, jodoh dan kematian sudah ditetapkan Tuhan saat manusia masih dalam kandungan. Hal itu ditetapkan Tuhan berdasarkan karma-karma pada penjelmaan sebelumya. Melakukan poligami atau poliandri bukan karena suatu harapan tetapi suatu kenyataan hidup buah dari karma masa lalu. Kalau karma masa lalu harus berbuahkan poligami atau poliandri hal itu tidak bisa dihindari karena buah karma.

Dalam Mantera Rg. Veda: X.85.42 ada doa yang isinya memohon Tuban semoga pasangan suami isteri itu tetap berdua selamanya dan hidup bahagia bersama anak dan cucunya dalam sebuah rumah. Permohonan itu mengandung makna, idealnya dalam perkawinan itu tidak ada poligami dan poliandri.

Rg Veda X.85.47 menyatakan doa permohonan kepada para Dewata yang isinya semoga para Dewata selalu menyatukan dengan kekal hati mereka sebagai suami istri. Kalau hati mereka sudah demikian bersatu tentunya tidak ada suami dan istri yang suka dimadu. Kalau ada yang hidup berpoligami atau berpoliandri, itu pasti karena tidak adanya jalan lain. Poligami bukan harapan hidup manusia yang normal tetapi suatu kenyataan hidup bagi orang-orang tertentu yang karena karma-nya tidak bisa menghindari poligami.

Dalam Manawa Dharmasastra IX.45 dinyatakan, seorang suami disebut hidup sempurna jika dalam keluarganya ada tiga unsur, yaitu ia(suami), istrinya seorang dan anaknya. Dalam sloka yang lainya dinyatakan, istri yang hanya seorang yang dimiliki seorang suami disebut “swadarani”. Swa berarti sendiri, dara berarti istri. Swadarani maksudnya hanya seorang istri yang dimiliki seorang suami.

Dalam Manawa Dhatmasastra 1X.102 ada ajaran kepada pasangan suami istri sbb: Pasangan suami istri hendaknya tidak jemu-jemunya mengusahakan agar mereka tidak bercerai dengan cara masing-masing, tidak melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lainnya.

Mengenai jodoh sebagai suatu buah karma ada mitologi dalam Lontar Angastia Prana. Isi singkatnya: Roh turun menjelma ke dunia karena karma-nya. Saat akan turun menjelma roh ini disebut “semara sunia”. Dalam perjalanan roh itu turun menjelma ke dunia akan menemui jalan simpang sembilan yang disebut: “Marga Sanga”. Roh itu bingung menentukan jalan mana yang menuju ke alam skala. Saat roh itu bingung tiba-tiba ada juga roh yang lainnya juga bingung. Roh-roh yang bingung di Marga Sanga itu saat bertemu hilang bingungnya karena mereka sudah dengan jelas menemukan satu di antara sembilan jalan yang menuju ke dunia ini. Pertemuan di Marga Sanga itulah konon yang nantinya akan menjadi jodohnya setelah berada di dunia. Kalau yang bertemu di Marga Sanga itu dua roh, setelah di dunia ini mereka menjadi pasangan jodoh yang tidak berpoligami dan berpoliandri.

Kalau yang bertemu ada tiga atau lebih roh terus hilang bingungnya, maka akan terjadilah poligami atau poliandri. Pertemuan roh-roh itu di Marga Sanga terjadi karena karma mereka. Ini sebuah mitologi, boleh percaya boleh tidak.
Dalam ajaran Hindu, poligami itu sesuatu keterpaksaan karena takdir. Takdir itu turun karena karma. Untuk menghindari poligami lakukanlah perbuatan-perbuatan yang mendorong kita terhindar dari poligami.

Dalam Slokantara Sloka-sloka dinyatakan tentang ditolerirnya poligami, bukan dibenarkan. Disebutkan ada tiga jenis Brahmacari yaitu Sukla Brahmacari, Sewala Brahmacari dan Krsna Brahmacari. Sukla Brahmacari, seorang Brahmacari lelaki yang tidak beristri selama hidupnya. Hidup tanpa istri itu dilakukan bukan karena tidak normal kelaki-lakiannya, tetapi sikap hidup yang benar-benar mengarahkan diri pada kehidupan yang khusus hanya menyangkut kerohanian demi dapat terfokus melayani masyarakat. Libido seksualnya diarahkan dengan kemampuan spiritual yang sangat kuat sehingga dapat diarahkan pada soal spiritual·tanpa seks.

Sewala Brahmacari, seorang lelaki yang hanya kawin dengan seorang istri selama hidupnya. Krsna atau Trsna Brahmacari, kawin dengan maksimal empat istri. Namun, dalam Sloka tersebut dinyatakan bagi mereka yang berpoligami ditolerir maksimal empat istri meniru Dewa Siwa dengan empat sakti-nya yaitu Dewi Uma, Dewi Gangga, Dewi Gauri, Dewi Durga.

Pernyataan sastra suci Slokantara ini sesungguhnya mengandung nilai pendidikan agar seorang suami tidak berpoligami, agar istri tidak berpoliandri. Sebab, untuk bisa berpoligami harus bisa meniru Dewa Siwa. Jelas, untuk bisa seperti Dewa Siwa bukan gampang. Untuk meniru Dewa Siwa berarti seorang suami harus menjadi seorang yang amat religius.

Pandawa, lima bersaudara punya istri satu, yaitu Dewi Drupadi. Kalau kita amati dengan baik ceritera Dewi Drupadi bersuamikan Pandawa Lima, sulit ditafsirkan hal itu sebagai suatu poliandri, Berdasarkan kisah Dewa Indra dalam Ceritera Markandia Purana diketahui bahwa Dewi Drupadi sesungguhnya bukanlah berpoliandri karena kelima suaminya adalah penjelmaan Dewa lndra.
Kesimpulannya, Hindu mengajarkan agar umat Hindu berusaha semaksimal mungkin menghindari poligami dan poliandri.

Oleh : Drs. I Ketut Wiana, M.Ag / Ketua Sabha Walaka Parisada Pusat

Rangkaian Hari Raya Galungan


 

Hari Raya Galungan adalah Hari raya yang diperingati setiap 210 hari atau 6(enam) bulan sekali. Hari Raya Galungan merupakan hari raya kemenangan(kemerdekaan) dharma(kebaikan) melawan adharma(kejahatan). Jatuh pada Buda Kliwon Dungulan berdasarkan hitungan waktu bertemunya sapta wara dan panca wara.

Dalam Lontar Sunarigama dinyatakan: budha kliwon dungulan ngaran Galungan patitis ikang jnyana sandhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep.

Artinya: Rabu kliwon dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya ilmu pengetahuan suci (jnyana) supaya masyarakat mendapatkan pandangan yang terang (galang apadang), untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran (byaparaning idep).

Sebelum puncak perayaan Galungan ada rangkaian yang disebut sugian, embang sugian, penyajaan, dan penampahan.

  • Sugian terdiri dari tiga kali, yaitu Budha Pon wuku Sungsang yang sering disebut Sugian Tenten. Sugian itu penyucian awal. Tenten artinya sadar atau kesadaran. Galungan hendaknya dirayakan dengan kesadaran rohani. Mengikuti tradisi hendaknya dengan kesadaran, orang yang sadar adalah orang yang bisa membeda-bedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang patut dan mana yang tidak patut. Wrehaspati Wage wuku Sungsang adalah Sugian Jawa, maknanya perayaan ini untuk menyucikan bhuwana agung/alam semesta. Bhuana agung menyucikan alam lingkungan hidup kita ini. Sedangkan Sugian Bali pada Sukra Kliwon Sungsang yang bermakna sebagai media untuk menyucikan diri pribadi.
  • Embang Sugian pada Redite Paing Wuku Dungulan yaitu untuk mengheningkan kesadaran diri sampai suci (nirmala).
  • Penyajahan dinyatakan untuk memohon air suci sebagai permohonan restu pada Tuhan.
  • Pada Anggara Wage wuku Dungulan disebut penampahan yang maknanya dalam hal ini adalah ”menyembelih” sifat-sifat kebinatangan yang bersembunyi dalam diri kita, seperti sifat Rajah dan Tamah. Pada sore harinya biasanya dibuat pula Penjor  yang dipasang di depan pintu masuk pekarangan rumah. 

Setelah dilakukan tahapan-tahapan tersebut barulah mencapai puncak Hari Raya Galungan. Perayaan ini biasanya diakukan persembahyangan ke Pura sambil menikmati kebesaran hari raya tersebut dan bersyukur atas segala berkah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan yang Maha Esa.

Artikel Lain: Hari Raya Galungan

 

 

 

 

Hindu; Agama Bumi ??, Lalu Weda itu Ilmiah?


Orang-orang non-Hindu sering menyebut bahwa agama Hindu adalah agama Bumi dan agama mereka adalah agama Langit. Jadi ibarat langit dan bumi maka agama mereka adalah jauh diatas agama Hindu. Definisinya adalah agama mereka lebih (sempurna, satu-satunya agama(wahyu Tuhan), paling benar, dan paling paling…) (note: paling dalam bahasa Bali berarti bingung) haha.. joke! dibawah adalah artikel menarik yang ditulis oleh Ida Pandita Mpu Siwa-Budha Daksa Dharmita, rohaniwan/teolog Hindu, anggota Sabha Pandita PHDI Pusat, anggota/peserta Program Pascasarjana (S2) Kajian Budaya Unud dan Brahma Widya IHDN Denpasar. Tulisan ini telah diterbitkan oleh Bali Post.

AGAMA Hindu merupakan agama yang tertua di dunia. Ini pendapat orang-orang non-Hindu. Agama Hindu, kitab sucinya Weda adalah wahyu Tuhan yang diturunkan melalui para Maharsi yang jumlahnya tujuh Maharsi yang disebut Sapta Rsi (Rsi Grtsamada, Rsi Wiswamitra, Rsi Wamadewa, Rsi Atri, Rsi Baharadwaja, Rsi Wasista dan Rsi Kanwa). Wahyu/sabda Brahman inilah dituangkan dalam bentuk tulisan yang diberi nama Weda Sruti (Rg Weda, Sama Weda, Yayur Weda, dan Atharwa Weda).

Manakala ada pertanyaan apakah Weda Sruti ilmiah, dengan tegas harus dijawab ilmiah. Hal ini sudah dibuktikan kebenarannya. Yang membuktikan adalah orang Hindu dan bahkan non-Hindu.

Kebijaksanaan Weda meliputi cara kerja kosmos pada segala tingkatan dari pinda (mikrokosmos) sampai pada Brahmanda (makrokosmos). Seperti yang dinyatakan oleh Swami Sri Bharati Krsna Tyirthaji Maharaja, seorang sarjana Weda dan matematika, bahwa: Kata Weda memiliki arti awal sebagai sumber utama dan khazanah tak terbatas dari segala pengetahuan. Tidak hanya berhubungan dengan apa yang disebut spiritual atau materi dunia lain, tetapi juga pengetahuan yang berkaitan dengan apa yang biasa digambarkan sebagai duniawi murni dan juga terhadap cara pencairan oleh manusia sedemikian rupa guna mencapai keberhasilan yang sempurna pada segala arah yang diamati.

Sebagai akibat dari keuniversalan Weda, ia hanya berurusan dengan kehidupan dunia luar dan kegiatan manusia, seperti juga keberadaan yang ada di dalamnya, dalam jiwa atau kesadaran tertinggi. Bukti yang terbaik tentang epistemologi pengetahuan keilmuwan ini ditemukan dalam Wedanta Chandogia Upanisad. Di sini si pencari Brahmawidya/teologi diminta oleh gurunya seberapa jauh ia telah maju dalam belajar dan mencari keahlian dalam pokok-pokok permasalahan seperti sejarah (itihasa), literatur (purana), matematika (rasia vidya), ekonomi (nidhi-vidya), filsafat/logika (vakya-vidya), etika dan politik (ekayatana), fisika (bhuta-vidya), ilmu kemiliteran (ksatrya-vidya), astronomi (naksatra-vidya), sosial-psikologi (jana-vidya). Wedangnga juga termasuk pokok-pokok permasalahan ini seperti siksa (ilmu pengucapan kata-kata), chanda (ilmu perpajakan), vyakarana (ilmu tata bahasa), nirukta (etimologi), kalpa (ilmu tentang kewajiban pribadi, keluarga dan masyarakat).

Fakta Ribuan Tahun

Kenyataannya, dalam beberapa bidang pengetahuan, ilmu pengetahuan modern telah menemukan fakta-fakta yang sebelumnya sudah ada dalam literatur Weda ribuan tahun silam. Dalam pelajaran filsafat ilmu, pengetahuan astronomi tentang peredaran, India pada masa Weda menunjukkan bahwa apa yang diketahui para astonom tentang peredaran bumi mengelilingi matahari, jauh sebelum Copernicus mendapat peringatan dan Galileo Galilei disiksa karena penemuannya. Penghormatan tinggi yang sama telah diberikan pada pengetahuan keilmuwan dalam Wedanta oleh para sarjana Barat. Gerald Heard mengatakan, Wedanta sangat ilmiah tentang –hukum-hukum yang mengatur alam semesta. Demikian juga Dr. Kenneth Walker yang menyanjung kebijaksanaan Weda dan mengatakan, Wedanta merupakan suatu usaha untuk meringkas seluruh pengetahuan manusia dan membuat manfaat seluruh pengalaman manusia. Pada suatu saat ia adalah agama, pada saat lainnya filsafat dan saat lainnya lagi ilmu pengetahuan. Dengan kata lain 3 pilar ilmu pengetahuan dunia, terdapat di dalam kitab suci Hindu (Weda) yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi.

Dalam masalah spiritual-etika aksiologi: menguraikan tentang intuisi sebagai pasyati buddhi — kecerdasan melihat dan juga ritabhrah atau kecerdasan yang menyangga kebenaran yang memahami realitas secara spontan dan sempurna, tanpa penerimaan suatu jejak ketidakbenaran. Dalam terminologi modern, ia dikenal sebagai supra-nalar atau persepsi supra-rasional.

Keangkuhan Itu

Dalam Wedanta-Srimad Bhagavatam, Narada mengatakan bahwa, Manusia di bumi ini didatangi oleh jenis mada, keangkuhan yang berbeda. Seorang pangeran angkuh, seorang sarjana kadang-kadang angkuh. Tetapi ada keangkuhan dari suatu jenis berbeda: berbeda dari yang lainnya dan yang jauh lebih buruk. Adalah keangkuhan yang lahir dari sri, kekayaan. Sebab dengan kekayaan, manusia terlibat dengan perempuan, dengan perjudian, dengan bermabukan dan manakala keangkuhan hebat seperti itu mendatangi dia, manusia kehilangan perspektif, menjadi tuli dan digerogoti oleh para buta-kala dan akan melanggar peraturan-peraturan azas legalitas yang telah disahkan oleh banyak orang, bukan pribadi. Maka manusia akan kehilangan pengendalian dirinya dan ia menjadi tanpa keramahan. Ia memperdaya dirinya ke dalam pemikiran bahwa badan ini permanen. Hanya orang bodoh yang menganggap badan ini abadi. Karena ia tidak mengetahui perbedaan antara badan dan penghuni di dalamnya: Deha dan Dehin itu. Bagi cendekiawan/intelektual yang ditutupi keangkuhan satu-satunya pengobatan adalah kemiskinan. Hanya orang miskin yang mengetahui bahwa ia sama dengan binatang. Vidyamada, keangkuhan karena pengetahuan, dhanamada, keangkuhan karena kekayaan, kulamada keangkuhan karena kelahiran: seorang yang tidak menderita ketiga penyakit mada itu, tentu saja mustahil untuk ditemukan. Hanya orang miskin yang bebas dari mada ini dan penderitaannya adalah tapa yang ia laksanakan menuju dunia yang lebih kekal sebanding dunia ini. Tetapi seorang sadaka yang mempunyai ketenangan batin biar bagaimana pun, tidak hanya perasaan selain bhakti kepada Narayana; Tuhan Yang Esa. Tidak ada manfaatnya bagi orang yang tercela yang mabuk dengan kekuasaan. Berdasarkan ulasan di atas pada Hari Raya Galungan ini, yang perlu diingat bahwa kebajikan atau dharma harus didasarkan kebenaran, telah didefinisikan segi hukum keadilan dan keselarasan, yang bersatu padu dalam struktur alam semesta, seperti dikehendaki Tuhan. Oleh karena itu, bagi si pencari kebenaran, kebajikan/dharma akan berarti menuntun suatu kehidupan yang adil dan harmonis dalam semua hubungan dengan yang lainnya pada berbagai tingkatan, baik di rumah maupun dalam masyarakat, bangsa dan sebagainya.

 

 

 

%d bloggers like this: