Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Daily Archives: August 6, 2012

Semut Sedulur dan Kala Gotongan


Pada hakikatnya setiap hari adalah hari baik tetapi selalu saja ada sisi buruknya. Tidak ada hari baik(dewasa) yang sempurna. Dalam menentukan hari baik dalam pelaksanaan upacara Pitra Yadnya PHDI telah mengeluarkan suatu ketentuan bahwa dalam batas waktu satu minggu(7 hari) dari meninggalkan seseorang, tanpa perlu lagi mencari “dewasa” boleh dilakukan upacara ngaben atau penguburan jenasah. Namun pada pelaksanaannya tetap saja memperhatikan ketentuan “hari tidak baik” yang harus dihindari antara lain Semut Sedulur dan Kala Gotongan.

IMG-20180620-WA0006-1.jpg

Image: Koleksi Pribadi, Ngaben di Sandakan, Petang Badung

Apa itu hari Semut Sedulur dan Kala Gotongan? ini merupakan hari-hari dimana perhitungan gabungan antara Sapta Wara dan Panca Wara menghasilkan bilangan angka “13” dan terjadi berturut-turut selama 3 (tiga) hari, hari ini dianggap sebagai hari tidak baik(pantangan) untuk melakukan upacara pitra yadnya(Ngaben/Atiwa-tiwa) sebab sesuai artinya dipercaya akan membawa akibat pada kematian yang berturut dilingkungan/braya setempat. Ibarat semut yang berjalan beriringan begitulah masyarakat memahami makna semut sedulur sebagai isyarat akan adanya iringan mayat bersusulan.

Perhitungan hari Semut Sadulur, misalkan: Sukra(jumat)-Pon(6+7 = 13), Saniscara-wage(9+4 = 13) dan Redita-Kliwon(5+8). hari-hari dengan perhitungan sapta wara dan pancara wara yang menghasilkan bilangan angka 13 sangat dihindari melakukan upacara Pitra Yadnya(ngaben/atiwa-tiwa).

Kala Gotongan juga dipercaya sebagai hari tidak baik untuk melakukan upacara pitra yadnya, apabila dilanggar maka diyakini akan terjadi kematian berturut-turut dalam kurun waktu yang berdekatan. Jumlah urip gabungan hari Kala Gotongan adalah “14” dan terjadi berturut selama 3 hari seperti: Sukra-Kliwon(6+8 = 14), Saniscara – Umanis (9+5 = 14), Redita-Pahing(5+9 = 14).

Jika hasil perhitungan jumlah urip sapta wara dan panca wara hanya sekali terjadi bilangan 13 dan 14 maka tidak dapat disebut Semut Sedulur atau Kala Gotongan, ini disebut “dina jejepan” yang terjadi hanya sehari(adina, kejep, sebentar).

Tentang Odalan


Odalan atau Piodalan pada hakikatnya adalah peringatan hari kelahiran(hari jadi) sebuah pura, sebut saja seperti peringatan ulang tahun. Jika ulang tahun kita diperingati berdasarkan perhitungan kalender(umumnya: tanggal dan bulan) sedangkan ulang tahun(tegak odalan) pura/kahyangan ditentukan berdasarkan perhitungan sasih atau wewaran terutama memadukan sapta wara dan panca wara serta wuku. Jika perhitungan berdasarkan sasih maka umumnya dikaitkan dengan saat datangnya bulan sempurna(bulan purnama). Umumnya odalan/piodalan yang berdasarkan sasih selalu jatuh pada saat purnama dengan sasih yang berbeda-berbeda dan diperingati setahun sekali.

Odalan yang perhitungannya berdasarkan wewaren dan wuku maka odalan sebuah pura akan jatuh setiap 210 hari atau 6(enam) bulan sekali. Misalkan: Odalan di Pura Batukaru, Tabanan jatuh pada Wrespati Umanis Wuku Dungulan(Umanis Galungan). Setelah diketahui dasar-dasar perhitungan tegak odalan maka akan dilakukan upacara melaspas atau ngenteg linggih untuk kemudian dijadikan sebagai tegak odalan berikutnya.

Perubahan atau pergantian tegak odalan dapat saja dilakukan sepanjang merupakan keputusan krama penyungsung, pengemong atau pengempon pura tersebut. Dan hendaknya keputusan atau kesepatakan sekala tersebut wajib disampaikan (matur piuning) kehadapan Ida Bhatara yang malingga di pura tersebut.

Dalam sebuah odalan di pura-pura besar seperti Tanah Lot, Pura Uluwatu, Pura Sakenan sering kita mendengar istilah nyejer(perpanjangan waktu ngaturang bhakti) hal ini bisa dilakukan bisa juga tidak tergantung pada kepentingan dan kondisi krama penyungsung. Ada atau tidaknya nyejer odalan/piodalan yang menjadi inti perayaan/upacara peringatan hari jadi di pura tersebut sudah berjalan dan sidhakarya.

Mengenal Sosok Pemangku


Pemangku adalah rohaniawan Hindu yang termasuk ekajati dan digolongkan sebagai pinandita serta telah menjalani upacara yadnya berupa pawintenan sampai dengan Adiksa Widhi. Dilihat dari tingkatannya, ada yang disebut Pemangku Tapakan Widhi pada Sad Kahyangan, Dang Kahyangan, Kahyangan Tiga termasuk Paibon, Panti, Pedharman, Merajan dan sejenisnya. Ada juga yang disebut pemangku Dalang.

Sebagai pemangku, pedoman yang digunakan untuk menjalankan tugasnya adalah Sasana Pemangku yang menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan Gagelaran Pemangku/Agem-agem(lontar Kusuma Dewa, Sangkul Putih, dll), Hak pemangku(bebas ayahan, menerima sesari, mendapat laba dari hasil laba pura, dll) dan juga beberatan pemangku serta wewenang pemangku/kewajiban pemangku.

Seorang Pemangku dibenarkan untuk menjadi Pamuput Karya karena situasi tertentu, acuan atau landasan hukumnya adalah Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu yang menyangkut hal “Batas-batas dan Wewenang Muput Upacara/Upacara Yadnya”.

Kewenangan Pemangku adalah sebagai berikut:

  1. Pinandita berwenang menyelesaikan(muput)upacara puja wali/odalan sampai tingkat piodalan pada pura yang bersangkutan.
  2. Apabila pinandita menyelesaikan upacara diluar pura atau jenis upacara/upakara yadnya tersebut bersifat rutin seperti puja wali/odalan, manusa yadnya, bhuta yadnya yang harus dipuput dengan tirtha sulinggih maka pinandita boleh menyelesaikan dengan nganteb serta menggunakan tirtha sulinggih selengkapnya.
  3. Pinandita berwenang menyelesaikan upacara rutin di dalam pura dengan nganteb/mesehe serta memohon tirtha kehadapan Hyang Widhi dan Bhatari-bhatari yang melinggih atau berstana dipura tersebut termasuk upacara yadnya membayar kaul dan lain-lain.
  4. Dalam menyelesaikan upacara bhuta yadnya/caru, pinandita diberi wewenang muput upacara bhuta yadnya tersebut maksimal sampai dengan tingkat “Panca Sata” dengan menggunakan tirtha sulinggih.
  5. Dalam hubungan muput upacara Manusa Yadnya, pinandita diberi wewenang dari upacara lahir sampai dengan otonan biasa dengan menggunakan tirtha sulinggih.
  6. Dalam hubungannya dengan muput upacara Pitra Yadnya, pinandita diberi wewenang sampai pada mendem sawa sesuai dengan catur dresta.

Jadi, seorang Pemangku mempunyai wewenang untuk muput karya termasuk menjadi pemimpin dalam upacara odalan, terutama di pura dimana pemangku tersebut “ngamong”. Tidak saja dapat menggantikan sulinggih yang seharusnya atau biasanya muput odalan tetapi bisa langsung ditunjuk/ditetapkan sebagai “Sang Pemuput Karya Odalan”, dengan tetap memperhatikan tingkatan dari upacara/upakara yang akan dilaksanakan.

%d bloggers like this: