Sampai saat ini makna Hari Raya Galungan adalah kemenangan dharma melawan adharma. Pelajaran agama Hindu di sekolah mengatakan bahwa hari raya Galungan adalah peringatan kemenangan dharma melawan adharma, Banyak artikel,buku,media cetak dan elektronik menyatakan hal yang sama mengenai makna Galungan. Penjelasan ini menutup interpretasi lain terhadap hari raya Galungan. Memang demikianlah tujuan pelajaran agama: membangun ”kebenaran” dogmatis yang berujung kepada terciptanya kebenaran tunggal/universal. Akhirnya, pandangan-pandangan lokal atau asli mengenai hari raya Galungan harus dibuang.
Sebuah buku yang menarik berjudul ”Sadri Returns to Bali” mengungkapkan pandangan orang Bali yang sangat murni (asli dan khas, lokal) tentang hari raya Galungan di sebuah desa pertanian yang damai. Pandangan yang dikemukakan dalam bentuk cerita dalam buku tersebut sama sekali belum ”dicemari” atau ”dikacaukan” oleh pandangan menurut agama Hindu mengenai Galungan. Buku itu mengisahkan seorang anak yang diberi nama Sadri. Ia telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Pada hari raya Galungan (ini) ia kembali ke desanya, menjumpai keluarganya (ayah, ibu, saudaranya, dan neneknya). Ia bisa melihat, mengalami, ikut serta, apa yang dilakukan oleh keluarganya dan orang-orang di desa itu menjelang dan selama perayaan Galungan. Tetapi keluarganya dan orang-orang di desanya sama sekali tidak melihat Sadri. Walaupun demikian, keluarga Sadri dan orang di desa itu percaya bahwa Sadri dan leluhur-leluhur yang telah meninggal kembali ke keluarga masing-masing pada saat hari raya Galungan.
Pandangan tersebut sangat kuat berakar dalam batin orang Bali. Namun setelah dimasukkannya dogma-dogma Hindu soal ”kemenangan dharma atas adharma” pandangan asli atau lokal khas Bali mengenai Galungan hanya menjadi kebenaran kelas dua. Lambat laun, pasti akan lenyap lalu kisah Sadri sama sekali akan hilang dan Galungan dipahami dengan isi baru. Sebelum pandangan baru menghilangkan pandangan asli atau lokal terhadap Galungan, sebagaimana diungkapkan dalam buku ”Sadri Returns to Bali”, perlu kiranya kita menyimaknya dengan baik untuk menemukan jati diri sebagai orang Bali. Agar tidak terjadi kekeliruan yang dibiarkan. Lalu tafsir mana mengenai ”arti Galungan” yang dipilih adalah hak siapa saja.
Galungan jika ditafsirkan sebagai perayaan kemenangan dharma atas adharma tentu saja ”latah” dan suatu cara misionaris Hindu di masa silam melakukan adaptasi agar secara politik agama ini, bisa hidup di Bali. Kita menyayangkan, Hindu yang masuk Bali telah menggusur berbagai khazanah asli dan lokal yang telah sejak lama hidup di Bali. Keadaan ini semakin mengkhawatirkan ketika Hindu dijadikan lembaga birokrasi yang makin rumit dengan tatanan sosial berupa ”warna” yang sebenarnya tidak jauh beda dengan sistem kelas sosial dalam sejarah perkembangan kapitalisme. Lembaga-lembaga agama Hindu beroperasi di Bali dan bertugas memurnikan Hindu dari ”polusi” pandangan-pandangan atau praktik-praktik lokal/asli. Batas dibuat antara ”adat” dan ”agama”. ”Adat” ditempatkan di bawah ”agama”. Tetapi ironisnya konsep ”desa adat” tetap dipertahankan. Hal ini hanya bisa dimengerti berdasarkan sudut pandang hegemoni.
Pandangan lokal/asli mengenai hari raya Galungan adalah berkaitan dengan siklus pertanian di Bali. Panen di Bali setidaknya bisa dilakukan enam bulan sekali. Padi bali yang usianya enam bulan (jauh sebelum dikenal Revolusi Hijau) dan palawija yang ditanam di sawah ketika musim kemarau, datang enam bulan sekali. Di samping itu, ada tanaman pertanian yang bisa dipanen setiap tahun, seperti buah-buahan. Sementara kelapa atau pisang bisa didapat sepanjang tahun. Karena orang Bali yang hidup pada suatu masa mewarisi sawah, kebun, bibit, cara bercocok tanam dan cara mengolah hasil pertanian dari para leluhur, maka bertepatan dengan hari raya Galungan yang dirayakan setiap 210 hari atau enam bulan (Bali), leluhur-leluhur itu diberi penghormatan. Pada saat hari raya Galungan orang Bali mempersembahkan pesta yang meriah dan segala makanan yang diolah dari hasil pertanian dan tentu saja hasil pertanian itu sendiri kepada leluhur yang seperti Sadri, pada saat Galungan return to Bali.
Sama sekali, secara pandangan lokal/asli, Galungan di Bali tidak melibatkan Tuhan atau dewa-dewa Hindu. Kepercayaan orang Bali yang asli, dengan demikian, bukan pada Tuhan atau dewa tetapi berpusat kepada leluhur dan kekuatan ”gaib” serta dunia lain yang berdampingan dengan dunia orang Bali sehari-hari. Tuhan dan dewa-dewa adalah pandangan baru yang dibawa oleh agama Hindu ke Bali. Pandangan mengenai dewa-dewa Hindu kemudian digunakan untuk memetakan Pulau Bali atau ”mengapling” Pulau Bali ini, pada masa silam, untuk dijadikan ”rumah baru” dewa-dewa Hindu dari India, yang diwujudkan menjadi dewata nawa sanga dan pulau ini diumpamakan sekuntum bunga teratai. Konsep kaja dan kelod, sejak pemetaan itu terjadi makin dikacaukan. Orang Bali menggunakan dua konsep ”mata angin” yang berbeda, menurut posisi desa mereka terhadap ”gunung” dan ”laut”, dan di beberapa tempat di Bali, di Kabupaten Buleleng, misalnya, menciptakan kebenaran baru yang bertolak belakang dengan kebenaran lama dalam hal konsep ‘kaja” dan ”kelod”.
Masuknya Hindu ke Bali mengambil alih perayaan Galungan yang digunakan untuk mengemas konsep baru yang berasal dari ajaran Hindu. Walaupun demikian, pandangan lokal mengenai Galungan sebenarnya tetap dipertahankan di desa-desa di Bali. Perayaan Galungan adalah membagi kebahagiaan orang yang masih hidup karena hasil panen yang baik kepada para leluhur yang berjasa. Jadi, arti hari raya Galungan bukanlah kemenangan dharma melawan adharma yang sangat politik tetapi lebih sebagai upacara berbagi kegembiraan karena hasil panen baik. Pada hari raya Galungan ini para leluhur orang Bali, sebagaimana halnya dengan Sadri kembali ke Bali dan orang Bali tentu saja menyiapkan diri dan menyambutnya dengaan ”pesta” persembahyangan Galungan.
Sumber: Bali Post |Galungan..”Sadri Returns to Bali”. Oleh: I Wayan Artika, Dosen Undikhsa Singaraja
Semoga bermanfaat, Silahkan share:
Like this:
Like Loading...
Recent Comments