Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Daily Archives: September 6, 2012

Busana “Adung” Dalam Prosesi Upacara


Ada yang menengarai, maraknya kasus pemerkosaan atau pencabulan, sedikit banyak dipengaruhi ”tradisi” berpakaian di alam modern ini. Berpakaian yang memperlihatkan bagian-bagian tubuh, disinyalir memberi ruang bagi orang untuk melakukan kejahatan seperti itu. Benarkah? Sementara itu belakangan muncul trend penggunaan pakaian rada-rada tipis yang menerawang mengikuti lekuk tubuh dalam hajatan ritual. Pakaian yang tembus pandang seperti itu nyaris menampakkan ”isi” dalam tubuh wanita. Di luar konteks tradisi pun, kehidupan modern menyajikan gaya berbusana yang makin ”terbuka”. Lalu, dalam era sekarang bagaimana sebaiknya masyarakat berpenampilan? Bagaimana pula sesungguhnya busana adat Bali itu?

Image by: Sejarah Hari Raya Hindu; Ilustrasi

Busana menunjukkan jati diri seseorang. Karena itu, penampilan sangat perlu diperhatikan. ”Kesan pertama dilihat adalah penampilan,” kata penata rias dan busana adat Bali Anak Agung Ayu Ketut Agung.

Secara harfiah, kata pemilik Salon Agung ini, busana adalah pakaian yang lengkap dan mulia. Di samping aspek estetika, di dalam busana sesungguhnya terdapat nilai filosofi dan simbolik.

Dikatakannya, bagi masyarakat Bali, busana merupakan kebutuhan primer. Namun, busana bisa tampak tenggelam oleh kebutuhan sekuder, seperti kebutuhan akan nilai keindahan dan penghargaan.

Kata Agung, pakaian sesungguhnya dirancang tidak sekadar penutup aurat, namun sebagai karya cipta budaya yang mengagumkan. Pun, kebinekaan ragam nilai budaya yang berkaitan dengan aurat telah mengembangkan beraneka ragam busana yang menutup ujung kepala hingga kaki.

Dalam adat Bali setiap fase kehidupan selalu diperingati dengan upacara — mulai lahir hingga tutup usia. Busana adat yang digunakan pun berbeda-beda sesuai dengan tingkatan usia dan upakara. Karena itu dikenal pakaian bayi baru lahir hingga usia 210 hari, busana untuk meningkat remaja, upacara potong gigi, busana pernikahan dan upacara pitra yadnya. Di samping itu, ada tata cara berbusana ke pura dan pakaian di luar acara adat.

Dikatakannya, pelaksanaan upacara di Bali juga umumnya dikaitkan dengan konsep desa kala patra. Ini pulalah yang melahirkan ragam bentuk penggunaan busana yang bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Bedakan untuk Bersembahyang

Mencermati tata cara berbusana masyarakat belakangan ini, AA Ketut Agung mengatakan sah-sah saja mengikuti mode berpakaian. Tetapi, sebaiknya pakaian yang dikenakan itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Artinya, jika melakukan persembahyangan ke pura, pakaian yang digunakan mesti mengikuti tata cara orang ke pura. Pakaian yang digunakan hendaknya tidak transparan atau tembus pandang. Pakaian yang digunakan menghadap Tuhan seperti itu mesti yang sopan dan rapi. Pakaian ke pura tidak usah yang mahal-mahal. ”Jika menggunakan pakaian tembus pandang, tentu akan dapat membuyarkan konsentrasi orang,” katanya.

Namun, kata AA Ketut Agung, agar bagian-bagian tubuh tidak sampai kelihatan, pakaian tipis sebetulnya bisa disiasati dengan baju pelapis di dalamnya yang disebut dengan angkin atau kamisol. Agar kelihatan serasi, kamisol itu disesuaikan dengan warna baju.

Lalu bagaimana sesungguhnya pakaian wanita ke pura? Wanita yang sudah kawin sebaiknya memakai pusung tagel. Rambut diusahakan tidak magambahan (terurai). Pakaian (kebaya) yang digunakan sebaiknya tidak seronok, tembus pandang yang dapat menjadi sorotan mata. Warna pakaian itu tidak mesti putih-kuning, kecuali sulinggih dan pemangku. Busana itu dilengkapi dengan selendang yang umumnya warnanya diserasikan dengan warna kebaya dan kain — umumnya kain endek.

Sementara kaum laki-laki menggunakan udeng jejateran atau bebagusan, bukan beblangkonan. Udeng itu sesungguhnya memiliki makna filosofi yaitu simbol pengendalian diri –ngeret indria.

Pakaian yang digunakan pun bebas asal bersih dan rapi. Selain udeng, busana ke pura juga dilengkapi kamben (kain) makancut dan kampuh. Namun, belakangan muncul trend ke-kancut-an. Padahal, kancut orang Bali berbentuk lelancingan, atau anyocat pertiwi. Kancut itu lancip, tetapi tidak menyentuh lantai. Kira-kira setinggi betekan batis. Sedangkan kampuh tampak lebih kurang 15 cm di atas ujung kancut. ”Kancut itu dapat dikatakan sebagai lambang kejantanan laki-laki,” katanya.

Busana ”Adung”

Kepala Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Denpasar Drs. Made Purna sepaham dengan AA Ayu Ketut Agung. Berpakaian, menurutnya, hendaknya disesuaikan dengan budaya yang dimiliki. Jangan sampai karena berpakaian yang serba mini dan transparan, membuat orang melakukan tindakan yang merugikan.

”Mengikuti mode sah-sah saja,” tegas Purna. Tetapi, jika mode itu kurang cocok dengan budaya kita, sebaiknya dikaji lebih mendalam. Tidak sekadar mengadopsi, apalagi sangat kontras dengan budaya sendiri. Sembahyang ke pura, misalnya, hendaknya tidak menggunakan pakaian yang dapat membuyarkan konsentrasi orang. Dalam suasana hening seperti itu, usahakan menggunakan busana yang adung (cocok) dengan prosesi ritual seperti itu. Tidak yang tembus pandang, sehingga menjadi sorotan banyak orang. ”Menjadi pertanyaan, siapa yang salah dalam hal ini. Apakah yang melihat atau yang menggunakannya?” kata Purna.

Kata Purna, gaya berbusana belakangan ini memang demikian adanya. Tetapi, hendaknya masyarakat selektif meniru hal-hal yang dirasa kurang mencerminkan budaya. ”Jangan karena takut ketinggalan zaman, akhirnya ikutan-ikutan. Mudah-mudahan gaya berpakaian yang membiarkan bagian tubuh tertentu kelihatan terbuka, hanya bersifat pop,” katanya. Soal busana adat ke pura, kata Purna, memang ada tingkatannya — nista, madya dan utama. Tetapi, pada dasarnya terdiri atas udeng, pakaian, kampuh, kain dan kancut — untuk laki-laki. Sementara yang perempuan, menggunakan sanggul, kain, pakaian dan selendang.

Sepakat dengan Agung, Purna mengatakan udeng itu memiliki makna pilosofi yaitu pengendalian diri. Kancut melambangkan kejantanan laki-laki. Kancut yang dibuat mesti berbentuk lelancingan, bukan mawiron.

Tidak hanya kancut, dalam penggunaan kain pun ada tata caranya. Ujung kain sebelah kanan menutup yang kiri. Ini pun sesungguhnya memiliki makna bahwa keburukan mesti terus ditekan dengan kebaikan.

Sumber: Bali Post | Judul asli: Gunakan Busana ”Adung” dengan Prosesi Ritual

Artikel Lain:

  1. Tips Berpenampilan ke Pura
  2. Busana Adat Bali
  3. Etika Berbusana ke Pura

 

 

 

Busana Adat Bali


Setiap daerah di wilayah republik indonesia mempunyai busana adat, salah satunya adalah Bali. Busana Adat Bali adalah Busana yang mempunyai keterikatan dengan daerah Bali sebagai wilayah dan pelaksanaan adat Bali. Busana Adat Bali terdiri dari beberapa jenis yaitu:

Bhusana Gede/Agung(Payas Agung), Biasanya digunakan oleh manggala/pengarep yang diupacarakan didalam pelaksanaan upacara manusa yadnya yang dianggap utama dan sebagai yajamana pada upacara yang lain.

  • Untuk Pria, sebagai berikut: Destar, Keris, kampuh+umpal, Wastra lembaran, Sabuk, Alas Kaki(fakultatif), kelengkapan perhiasannya(destar/diganti dengan gegelung/garuda mungkur, Rumbing/anting-anting, Bebandong, Sesimping, Gelang Kana, Gelang Biasa, Gelang Cokor dan kain panjang atau lancingan)
  • Untuk Wanita; Gelung Agung, Sesenteng, Wastra Lembaran, Sinjang, Bulang/Stagen, Sabuk hiasan, Alas kaki(fakultatif), perlengkapan hiasan, misal: Petitis/garuda mungkur, Tajuh/sekar taji,pepelik/tampel pepelengan, subeng, pending, bebadong, sesimping, ampok-ampok, gelang kana, gelang biasa, gelang cokor.

Bhusana Jangkep/Lengkap: Dipergunakan dalam upacara yadnya dan didalam hubungan hormat menghormati.

  • Untuk Pria; Destar, Kuaca/kemeja tangan pendek atau panjang atau jas, kampuh/umpal, wastra+lembaran,sabuk, alas kaki(fakultatif), keris(fakultatif)
  • Untuk Wanita; Gelung biasa/sanggul(rambut ditata sesuai perhiasannya), Baju/Kebaya,sesenteng,wastra,sabuk stagen,sabuk hiasan,alas kaki(fakultatif).

Bhusana Madya(sedang):Dipergunakan untuk/didalam suasana kesopanan dan kerja.

  • Untuk Pria; Baju, kampuh, kain panjang, sabuk, alas kaki(fakultatif)
  • Untuk Wanita; Baju/kebaya, kain/wastra,sesenteng,sabuk/stagen,alas kaki(fakultatif)

Bhusana Alit:Dipergunakan untuk/didalam suasana kesopanan dan kerja.

  • Untuk Pria; Baju(fakultatif), selempot, wastra, sabuk, alas kaki(fakultatif)
  • Untuk Wanita; Baju(tidak terbatas pada kebaya), sesenteng, sabuk(stagen),kain,alas kaki(fakultatif)

Jika tidak menggunakan baju harus menggunakan sesenteng, untuk anak-anak dibawah umur tidak terikat pada ketentuan diatas.

Sumber: Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu.

Rahina Kuningan, Ka – Uningan Molihang Kaweruhan


Wau pisan i raga sampun nglaksanayang tur ngamargiang rahina sané kawastanin rahinan jagat Galunan miwah reruntutannyané. Sané mangkin i raga dados krama Bali taler pacang nglaksanayang tur ngamargiang reruntutan rahinan jagat Galungan sané kawastanin rahinan Kuningan sané jatuh ring rahina Saniscara Kliwon wuku Kuningan. Lianan kawastanin rahinan jagat Kuningan, rahina puniki taler kawastanin Tumpek Kuningan santukan Saptawara Sukra matemu sareng Pancawara Kliwon.

Image by: Koleksi Pribadi

Rahinan Kuningan puniki pinaka reruntutan rahinan Galungan sané jatuh dasa rahina sesampun rahina Galungan. Rahinan Kuningan kangken pinaka rahina sané khusus, santukan sarana upakara miwah bebantenan sané kaunggahang tur kaaturang mabinayan sareng bebanten sané kaaturang ri kala rahinan Galungan miwah galah ngalaksanayang pamuspan taler mabinayan pisan. Ring rahinan Kuningan kabuatang saranana upakara marupa sodan nasi kuning sané kagenahang ring wadah sané kawastanin tebog lan sulanggi pinaka niasa kemakmuran miwah kaunggahang bebanten sané sampun kasayagaang pinaka rasa suksmaning manah lan suksmaning idep i raga pinaka manusa sané sampun nglungsur wara nugraha ring Ida Sang Hyang Widhi Wasa marupa ajeng-ajengan ngawit saking sandang ngantos pangan.

Lianan nasi kuning, ri kala Kuningan taler kabuatang sarana upakara marupa Endongan, Tamiang, miwah Kolem. Endongan pinaka niasa persembahan majeng Ida Sang Hyang Widhi Wasa, pinaka bekel mawali ka suargaloka. Bekel sané mautama inggih punika ilmu pengetahuan (kawikanan) lan bhakti (jnana). Yéning senjata sané mautama inggih punika kaheningan pikayunan. Mawit saking rahina puniki, para krama kaptiang satata éling majeng Ida Sang Hyang Widhi, prasida becik manyamabraya, nincapang rasa saling asah asih asuh majeng sesama manusa miwah urati ring palemahan. Santukan éndongan pinaka bekel, éndongan madaging woh-wohan, tebu, tumpeng, miwah rerasménan. Tamiang pinaka niasa panulak bala lan pinaka niasa perputaran roda alam sané ngélingang manusa ring kawéntenan hukum alam. Yéning Kolem pinaka niasa genah mararian Ida Sang Hyang Widhi, para déwa miwah para leluhur i raga.

Ring rahina suci puniki kaceritayang Ida Sang Hyang widhi tedun ka marcapada kasarengin olih para déwa miwah para pitara-pitari pacang ngicénin waranugraha ring makasami umat. Ring rahina Kuningan kaaptiang majeng para krama ngaturang bakti tur nunas karahayuan miwah tuntunan majeng Ida mangda i raga satata maparilaksana becik.

Akéh sané maosang yéning ri kala rahinan Kuningan para krama mangda ngaturang bakti sadurung jam roras utawi sadurung tajeg surya. Punapi awinan sakadi punika?

Manut sinalih tunggil Dosén UNHI sané mawasta I Gedé Sedana Suci, galah sadurung tajeg surya punika pinaka galah sané pinih becik i raga ngaturang bhakti. “Ring rahina Kuningan, i raga patut ngaturang bhakti sadurung jam roras utawi sadurung tajeg suryane. Semengné, i raga nyayagayang sakancan sarana upacaka sané pacang katurang, Salanturnyané i raga ngaturang bhakti tur nglaksanayang pamuspan. Ring sajeroning Lontar Sundarigama kaunggahang, “Déwa Mur Mwah Maring Surga” artosnyané sadurung para déwa mawali ka suarga. Becikné i raga nganturang bakti sadurung tajeg surya, sadurung Ida Hyang Widhi miwah para déwa mawali ka suargaloka. yéning sampun liwat tajeg surya sira pacang kaaturin sesajén utawi bebanten?” baosnyané.

Suasana hening ngasilang Ka-Uningan, sané nuntun i raga molihang jnana sané becik pinaka ilmu pengetahun spiritual suci. Ilmu pengetahun sané kaduénang prasida kapolihang saking tetiga cara sané kawastanin Tri Pramana inggih punika Agama Pramana, Anumana Pramana, miwah Pratyaksa Pramana. Agama Pramana inggih punika mirengang paplajahan sané kaicen olih guru. Anumana Pramana inggih punika pengetahuan sané kapolihang nganggén akal, pikayunan miwah logika. Yéning Pratyaksa Pramana inggih punika pengetahuan sané kapolihang mawit saking i raga manggihin hal-hal sané madué paiketan rohani.

Rahinan Kuningan mateges mangda i raga Ka-Uningan molihang pengetahuan dharma (samya jnana). Makasami punika prasida kapolihang majalaran Dasendriya inggih punika Panca Budhindriya lan Panca Krmendriya sané kaniasayang antuk wéntennyané selang dasa rahina ring rahinan Galungan nuju rahinan Kuningan.

Sané kaaptiang olih para krama pamuputné wantah prasida nyujuh sané kawastanin Suddha Jnana (pikayunan sané suci) mangda prasida dados jatma sané Jayabaya (menang ri kala kapialangin utawi ri kala wénten baya sané pacang nibenin i raga).

Dane taler mapangapti mangda para krama prasida satata éling ring raga mangda prasida nyujuh tetujon idup Moksatham ja gadhita ya Cai thi Dharma.

Bali Post, 02 September 2012 | Kuningan, Ka-Uningan Molihang Kaweruhan.

 

 

 

%d bloggers like this: