Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Daily Archives: September 26, 2012

Pembagian Tri Hita Karana


Parhyangan

Parhyangan dilaksanakan dengan pemujaan dan penghormatan sebagai wujud kesadaran dan bhakti kepada Tuhan dan paham posisinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Ada berbagai cara/jalan untuk bisa mencapai suatu tingkat hubungan maksimall dengan Tuhan, antara lain:

Bhakti Yoga

Bhakti Yoga merupakan kasih pada Tuhan yang sejati dan murni, pencarian yang diawali, dilanjutkan dan diakhiri dalam kasih sayang. Seorang yang dihinggapi kasih sayang yang ekstrim terhadap Tuhan, akan membawa pada kebebasan abadi. Dalam penjelasan aphorismanya tentang bhakti, Narada menyatakan,

  • Bhakti adalah kasih sayang yang mendalam kepada Tuhan.
  • Bila seseorang mendapatkannya, ia akan menjadi terpuaskan selamanya.
  • Kasih sayang ini tak dapat dikurangi terhadap keuntungan duniawi apapun.

Jalan yang paling sederhana dalam kehidupan adalah cinta kasih dan pengabdian(bhakti yoga). Di sini Tuhan diwujudkan sebagai penguasa yang maha penyayang, sebagai ayah, ibu, kakak, kawan, tamu dan sebagainya. Orang yang melaksakan ini menginginkan kebahagiaan rohani(svasti), ia memohon pertolongan Tuhan yang memiliki rahmat(sam), perlindungan(sarman),bantuan(avas),belas kasih(mrla), kemurahan hati(sumati),cinta kasih(vena) dan sebagainya.

Tuhan adalah sosok penyelamat(trata), Maha pengampun(mardita),pelindung(avita). Semangat dari Bhakti Marga telah melahirkan sloka-sloka Weda yang sangat indah dan doa-doa sering menjadi syair-syair pemujan atau kidung.

Karma Marga

Karma Marga/Yoga Karma adalah Jalan untuk mencapai kesatuan atman dan Brahman melalui kerja atau perbuatan tanpa ikatan terhadap hasil, tanpa pamrih, tulus dan ikhlas, penuh dengan amal kebajikan dan pengorbanan.

Dalam Karma Marga Yoga, perbuatan dan kerja merupakan suatu pengembalian dengan melepaskan segala hasil atau buah dari segala yang dikerjakannya. Dengan melakukan amal kebajikan tanpa pamrih, secara otomatis dapat mengembalikan emosi dan melepaskan atma dari ikatan duniawi. Seorang karmin(sebutan seorang yang menjalankan karma yoga) dapat melepaskan diri dari ikatan karma wasana dan karma phalanya, terbebas dari unsur-unsur maya, sehingga mencapai kesempurnaan dan kebebasan tertinggi(moksa).

Mayi sarvani karmani sannyasyadhnyatma-cetesa

Nirasir nirmano bhutva yudhyasva vigata-jvarah

(Bhagavad-gita III.30)

Artinya: Serahkanlah pekerjaanmu kepada-Ku, miliki pengetahuan sepenuhnya tentang-Ku, bebas dari keinginan untuk keuntungan, tanpa tuntutan akan hak milik, bebas dari sifat malas, dan bertempurlah(berkarma melakukan kewajiban).

Tasmid asaktah satatam karyam karma samacara

Asakto hy acaran karma param apnoti purusah.

(Bhagavad-gita III.19)

Artinya: Bekerjalah kamu selalu, yang harus dilakukan dengan tiada terikat olehnya, karena orang mendapat tujuannya yang tertinggi dengan melakukan pekerjaan yang tak terikat olehnya.

Jnana Marga

Jnana artinya kebijaksanaan filsafat atau ilmu pengetahuan. Jnana Marga Yoga adalah jalan untuk mencapai Tuhan dengan ilmu pengetahuan atau kebijaksanaan filsafat kebenaran.

Menurut Upanisad pengetahuan seorang bijaksana(Jnanin) dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu: Apara Widya dan Pari Widya. Para Widya adalah pengetahuan dalam tingkat keagungan yang suci(ajaran-ajaran suci Weda) sedangkan Pari Widya adalah pengetahuan tingkat tinggi tentang hakikat kebenaran Atman dan Brahman. Jadi Apara Widya adalah dasar untuk mencapai Pari Widya. Seorang Jnanin memiliki pengetahuan untuk mencapai kebenaran yang sempurna, dengan Wiweka(logika) yang dalam.

Duhkhesv anudvigna-manah sukhesu vigata-sprhah

vita-raga-bhaya-krodhah sthita-dhir munir ucyate

(Bhagavad-gita II.56)

Artinya: Ia yang pikirannya tidak digoyahkan bahkan di tengah-tengah tiga jenis kesengsaraan, tidak gembira pada saat bahagia, dan bebas dari ikatan, rasa takut dan amarah, disebut rsi yang mantap dalam pikirannya.

Raja Marga

Raja Marga Yoga adalah inti dari sebuah jalan yang sangat ilmiah dalam mencapai kesadaran Tuhan. Pada jalan ini Tuhan diperlakukan sebagai energi murni. Rsi Patanjali, penyusun Patanjali Yoga Sutra adalah pendiri dari tehnik yoga ini.

Patanjali menjelaskan Yoga sebagai “Citta-Vrtti-Nirodha” Yoga berarti persatuan dengan yang Tuhan atau “pembebasan”. Citta berarti pikiran, sedangkan Vrtti berarti modifikasi atau vibrasi. Nirodha berarti “penghentian, penahanan”.

Raja Yoga memeliki sebuah istilah untuk mengendalikan pikiran melalui konsentrasi pikiran pada suatu objek atau cakra dalam Istadewata.

Tri Hita Karana


Tri Hita Karana pada hakikatnya adalah sikap hidup yang seimbang antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Maksudnya keharmonisan antara keimanan terhadap Hyang Widi Wasa, pengabdian kepada sesama manusia dan cinta kasih kepada lingkungan alam sekitar.

Konsep hidup yang ideal ini telah diterapkan dari abad ke-11 untuk menata kehidupan umat Hindu di Bali. Konsep ini adalah satu-satunya konsep yang benar-benar mendukung semua eksistensi kehidupan di muka bumi ini, sebuah konsep yang sempurna, adil dan bernuansa humanisme dan persaudaraan universal. Pengembangan cinta kasih kepada alam lingkungan diajarkan dalam kitab Sarasamuscaya 135 dengan istilah “prihen tikang bhutahita” Artinya: Usahakanlah kesejahteraan bagi semua semua makhluk. Karena dengan sejahteranya semua makhluk hidup maka akan menjamin tegaknya Catur Warga atau 4 (empat) tujuan hidup yang terjalin satu sama lainnya.

Weda memberikan konsep yang tidak akan pernah usang sepanjang jaman, sebuah konsep yang akan selalu sesuai dengan kapan dan dimanapun manusia itu ada.

Konsep Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga unsur yang menyebabkan kesejahteraan itu bersumber pada usaha untuk menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam dan manusia dengan sesamannya.

Dengan menerapkan falsafah tersebut diharapkan dapat menggantikan pandangan hidup modern yang mengedepankan egoisme dan materialisme. Dengan menjalankan konsep Tri Hita Karana maka dapat mengurangi kecendrungan untuk konsumtif terhadap alam, meredam gejolak antara sesama manusia dan fanatif yang terlalu berlebihan terhadap agama yang pada akhirnya mengakibatkan intoleransi dengan agama lain.

 

Artikel lain:

  1. Pembagian Tri Hita Karana
  2. Tri Hita Karana dalam seharian

Jenjang Kehidupan Dalam Agama Hindu


Hindu Memiliki Konsep Jenjang Kehidupan Yang Jelas Dan Telah Tersusun Dengan Sistimatis Dalam Catur Asrama. Kita mesti berbangga karena Hindu telah memiliki konsep yang jelas tentang jenjang dari masa kehidupan seorang manusia, dimana didalam kepercayaan lain konsep ini nampak tidak begitu jelas dimana seorang yang sebenarnya sudah masuk di masa yang sudah tidak muda lagi masih diijinkan untuk menikah dan begitu juga sebalik diusia yang masih sangat muda seorang telah dinikahkan. Selain itu penilaian Hindu tentang seberapa pantas seorang itu menikah bukan hanya dari fisik tapi kedewasaan mental dan seberapa besar kemampuan yang diperoleh dalam masa belajar untuk dapat menunjang kehidupan rumah tangganya nanti.

Kata Catur berarti empat dan kata Asrama berarti tempat atau lapangan “kerohanian”, kata Asrama juga sering dikaitkan dengan jenjang kehidupan. Jenjang kehidupan itu berdasarkan atas tatanan rohani, waktu, umur, dan prilaku manusia. Catur Asrama berarti empat jenjang kehidupan yang berlandaskan petunjuk kerohanian Hindu.

Bagian-bagian catur asrama Naskah jawa kuno yang diberi nama Agastya Parwa menguraikan tentang bagian-bagian catur asrama. dalam kitab silakrama itu dijelaskan sebagai berikut: yang bernama catur asrama ialah brahma cari, grhastha, wanaprastha, dan bhiksuka. Berdasarkan uraian dari agastya parwa diatas, sangat jelas pembagian catur asrama itu. Catur asrama ialah empat fase pengasramaan berdasarkan petunjuk kerohanian. dari keempat pengesraan itu diharapkan mampu menjadi tatanan hidup umat manusia secara berjenjang. masing-masing tentang dalam setiap jenjang menunjukan ketenangan rohani. adapun pembagian dari catur asrama itu terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut: 1, Brahmacari asrama, 2, Grahastha asrama, 3, wanaprastha asrama dan 4, Bhiksuka sanyasin asrama. masing-masing jenjang waktu tertentu dalam pelaksanaanya.

Brahmacari asrama.

Dapat dikatakan ini sebagai langkah awal seorang manusia mulai belajar akan apa tujuan hidupnya yang sebenarnya, ibarat akan mulai perjalanan dimana ini merupakan masa pembekalan, dimana pada masa ini seorang akan diberi peta yang berisi petunjuk jalan kemana ia nanti akan mengarahkan kakinya agar tidak tersesat. Pada masa ini seorang akan dibekali dengan berbagai macam ilmu baik yang berhubungan dunia material dan spiritual  dalam proporsi yang seimbang. Dengan tujuan agar nanti ia akan stabil dalam menjalani tahap hidup yang berikutnya. Pada masa ini seorang tidak boleh bersentuhan dengan suatu yang membuat dapat berpindah jenjang terlalu cepat, seperti mengurangi pergaulan dengan lawan jenis, dimana di India anak laki-laki dan wanita dipisahkan satu sama lain hingga tidak menggangu kosenstrasi mereka dalam menimba ilmu pengetahuan. Selain itu menjauhkan diri dari berbagai jenis keramaian dan kepuasan yang bersifat indria dan berbagai hal yang berhubungan kekerasan, kebencian dan sexual, dengan tujuan melatih mental agar tidak terpengaruh oleh unsur-unsur tersebut, dimana mental telah dilatih sejak dini untuk mengendalikan dan menetralisis unsur-unsur tersebut. 

purvo jato brahmano brahmacari
gharmam vasanas tapasodatisthat,
tasmaj jatam brahmanam brahma jyestham
devasca sarve amrtena sakam.
(Atharvaveda. XL 5. 5).

Artinya: Brahmacarin (siswa pengetahuan spiritual), yang lahir sebelum brahman (pengetahuan spiritual), yang melakukan persembahan, yang melaksanakan disiplin spiritual); dari pribadinya timbul (mendapat wahyu) kebijaksanaan suci, (ilmu pengetahuan tentang) Brahman tertinggi dan Yang Bersinar dengan kehidupan abadi.

Brahmacarya-hidup dalam perkembangan dan pendidikan spiritual — seharusnya didahului oleh pengetahuan spiritual lewat upacara keagamaan saat manusia itu mulai mengambil napas pertama di dunia. Ini merupakan pandangan Jnana Yoga (jalan pengetahuan).

Brahmacarya merupakan pelajar dalam tahap pembinaan (magang) dalam pengetahuan dan proses pengembangan kecerdasan dan moral. Tahapan ini merupakan jenjang sistimatis dari disiplin diri dan pendidikan untuk mencapai tingkat kehidupan material dan spiritual yang lebih tinggi. Dalam istilah yang lebih khusus lagi, jenjang ini merupakan proses budaya diri dan sublimasi kecenderungan-kecenderungan seksual yang dilaksanakan oleh para siswa jaman dahulu yang bertujuan mempelajari ilmu pengetahuan Veda dan spiritual termasuk pengetahuan material

Uraian di atas diambil dari Atharva Veda yang menyajikan uraian panjang lebar pada kemuliaan kehidupan brahmacarin.

Dengan cara seperti itulah Jalan ilmu pengetahuan menurut Veda membawa pada konsep program kehidupan (asrama vibhaga) “empat jenjang,” dimana jenjang pertama meliputi pembinaan budaya diri (Brahmacarya yang sistematis).

Kemudian timbul suatu pemikiran yang menganggap membudaya diri dan disiplin pribadi (brahmacarya) ini sangat sulit. Ini bertentangan dengan jalan pengetahuan Veda.

Di sinilah pentingnya ajaran adhikara, yaitu kemantapan spiritual untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi.

Ada suatu segi lagi mengenai pembinaan budaya diri ini. Dalam jaman sesudah Veda timbul perbedaan pandangan mengenai Realitas Utama, tetapi tidak ada perbedaan mengenai perlunya budaya diri.

arvag anyah paso anyo divas prsthat guha nidhi nihitau brahmanasya,
tau raksati tapasa brahmacari tat kevalarh krnute brahma vidvan.
(Atharvaveda . XI. 5. 10).

Artinya:  Satu di sisi, yang lain di alam lain; Dua harta karun sakral jaman dahulu tetap tersembunyi. Brahmacarin melindungi kedua-duanya dengan daya spiritualnya (tapas). Dengan mengetahui ‘Brahman ia menjadikan semua itu miliknya.

Kedua bidang pengetahuan – para, – tak terbatas, dan apara, – yang terbatas – keduanya merupakan pengetahuan yang dipelajari oleh siswa spiritual. Keduanya itu adalah mistik yang mcmpcngaruhi nilai agama dan memerlukan kemantapan spiritual untuk mencapainya. Dengan menjalani masa hidup Brahmacarya dengan baik maka dua pintu ilmu pengetahuan akan terbuka lebar, dua pintu itu adalah ilmu pengetahun spiritual dan ilmu pengetahuan material. Dan jika seorang telah benar-benar berhasil menjalani brahmacharya ini akan tercipta sosok manusia yang tidak hanya memiliki kecerdasan rohani yang kuat tapi juga tingkat intelegensia yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan spiritual dan material.

Grhastha Asrama

Grhasta asrama merupakan tahap kedua yang merupakan ujian yang sebenarnya dimana seorang akan menerapkan semua ilmu yang ia pelajari saat masih berada di masa Brahmacharya. Ini adalah masa yang paling sulit dimana ia sudah tidak lagi mengurus dirinya sendiri tapi ia telah mendapatkan beban tambahan yakni keluarga yang ia bentuk dalam suatu pernikahan yang merupakan perlambang dimulainya jenjang ini. Tanggung jawabnya tidak hanya sebatas mencukupi kebutuhan hidup keluarga, tapi juga menganyomi dan membimbing keluarga yang ia bentuk menuju suatu kehidupan spiritual yang selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya, dimana membimbing adalah tugas yang sangat sulit. Masa ini kestabilan emosi dan kekuatan spiritual amat teruji dan tidak jarang mengalami kegagalan dan berakibat pada semakin mundurnya kualitas spiritual orang tersebut dan berimbas pada hancur tingkat spiritual dari keluarga tersebut. Dan dalam Veda merupakan sebuah dosa besar.

Dalam Agastya Parwa dijelaskan:

Grhastha ngarania Sang yatha sakti kayika Dharma

Artinya: Grhastha namanya beliau yang dengan kemampuan sendiri mengamalkan Dharmanya. Ciri seorang Grhastha adalah memiliki kemauan untuk mandiri untuk mewujudkan swadharmanya.

Dalam Catur Asrama ini kedudukan Grhastha Asrama inilah kedudukan yang paling sentral. Suksesnya seorang Brahmacari dan Vanaprastha amat tergantung dari kemampuan Grhastha Asrama melakukan kewajibannya untuk membiayai pemeliharaan dan biaya pendidikan Brahmacari Asrama.

Grhasta asmara atau pernikahan pada hakikatnya adalah suatu yadnya guna memberikan kesempatan kepada leluhur atau jiwa-jiwa yang lain untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya. Dalam kitab suci Sarasamuscaya sloka 2 disebutkan “Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wang juga wenang gumaweakenikang subha asubha karma, kunang panentasakena ring subha karma juga ikang asubha karma pahalaning dadi wang” artinya: dari demikian banyaknya semua mahluk yang hidup, yang dilahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat berbuat baik atau buruk. Adapun untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik, itu adalah manfaat jadi manusia. Dan merupakan bagian dari usaha penyucian diri lewat sebuah ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dam seorang wanita lewat sebuah jalur kesetiaan untuk sehidup semati.

Nitisastra disebutkan ada lima kewajiban orang tua atau orang yang menjalani hidup grhasta . Lima kewajiban itu disebut Panca Wida yaitu.

  1. Sang Ametuaken = orang yang melahirkan anak pada kehidupan dunia
  2. Maweh Bhinojana = menjamin kebutuhan ekonomi keluarga
  3. Sang Mangupadyaya = memberikan pendidikan pada anak sampai moral, mental dan profesi yang nantinya mampu mendukung kehidupannya
  4. Sang Anyangaskara = orang yang memberikan pendidikan kerokhanian
  5. Sang Matulung urip rikalaning bhaya = orang yang memberikan rasa aman dan menolong saat menghadapi bahaya

Dimana Lima kewajiban Grhastha ini pada umumnya sering sulit dilakukan oleh kepala keluarga secara 100% karena waktu dan tenaganya habis untuk mendapatkan kebutuhan primer saja yaitu cari uang untuk makan.

Wanaprasta Asrama

Masa ini adalah masa peralihan antara kehidupan yang masih bersipat dunia yang penuh dengan tanggung jawab dan keterikatan pada keluarga secara perlahan hidup menuju sebuah pengasingan diri terhadap ikatan tersebut, melepaskan ikatan tersebut hingga yang tersisa adalah hubungan antara diri sendiri dengan Tuhan dan tidak ada lagi hubungan yang lain yang dikenal sebagai Sanyyasin Asrama atau Bhiksuka asrama. Vanaprastha tidaklah diartikan sebagai meninggalkan rumah lalu pergi menyepi kehutan untuk bertapa, tetapi vanaprastha dimaknai sebagai hidup yang hening dan suci, sedikit demi sedikit melepaskan diri dari ikatan keduniawian, dan menguatkan pengendalian diri berdasarkan ajaran Agama Hindu. Ajaran agama yang diperoleh pada masa brahmacari kini dilaksanakan pada kehidupan sehari-hari secara lebih mantap, dimana lebih dipusatkan pada bidang spiritual.

Orang yang melaksanakan vanaprastha disebut vanaprasthin, hendaknya selalu menjaga kesucian dan kesehatan jasmani/rohani, banyak melakukan pekerjaan mulia, bijaksana, bersahabat, berbicara manis dan menyenangkan, melakukan sadhana, melaksanakan latihan-latihan kerohanian (yoga), melakukan berbagai “vrata” atau pengekangan diri, suka belajar dan bergaul pada orang-orang suci (Sulinggih), sering me-dharma yatra dan lain-lain.

Wanaprastha adalah batu loncatan untuk mencapai sebuah jenjang Sanyasin karena lewat Wanaprasta jiwa secara perlahan terlatih tidak lagi bergantung kepada hal-hal yang bersifat kenikmatan indria dengan demikian pikiran tidak lagi focus ke indria apapun bentuknya melainkan hanya pada Tuha

Tat-buddhayas tad-atmanas
tan-nisthas tat-parayanah
gacchanty apunar-avrttim
jnana-nirdhuta-kalmasah

( Bhagavadgita V-17)

Artinya:Mereka yang memikirkan-Nya, menyerahkan seluruh jiwa kepada-Nya, menjadikan-Nya tujuan utama, memuja hanya pada-Nya, akan pcrgi tidak kcmbali, dan dosa mereka dihapus oleh pengetahuan itu.

Dari sloka ini dijelaskan bahwa pikiran adalah faktor terpenting dalam keberhasilan seorang dalam melaknakan Sanyasin asrama, untuk itu pikiran harus dilatih secara perlahan-lahan pada masa wanaprasta hingga nanti saat memasuki jenjang sannyasi asrama pikiran benar-benar telah mantap pada Tuhan. Hingga tidak ada lagi goncangan-goncangan mental saat menjalani masa Sannyasin.

Sannyasin asrama

Sannyasin asrama adalah fase terakhir dalam kehidupan dimana masa ini jiwa telah sepenuhnya lepas dari semua ikatan baik secara material maupun mental pada keluarga dan semua yang ada diluar diri dan segala macam kenikmatan duniawi  dan bagi jiwa yang benar-benar suci ia sudah melupakan dan tidak mengiginkan  surga dan kenikmatan surgawinya. Saat itu orang akan memahami dirinya sebagai jiwa dan bukan badan, yang telah berada pada suatu tingkat kesucian yang tinggi hingga telah siap untuk diambil kembali atau bersatu dengan Brahman, jiwa yang telah kembali ke sifatnya yang asli yang sama dengan Brahman. Pada masa ini hidup hanya untuk Tuhan dan pengabdian dengan jalan memberikan dharma wacana, petuah-petuah suci yang dapat berguna bagi generasi yang lebih muda dalam menjalani hidupnya.

 

 

 

%d bloggers like this: