Walaupun kehidupan ini terlihat tunggal dan singkat, sesungguhnya sebelumnya kita sudah berputar-putar jutaan kali lahir-hidup-mati lahir-hidup-mati dalam roda samsara. Ada banyak sebabnya mengapa samsara terus terjadi, tapi sebab yang paling utama adalah karena kita salah pikiran, lalu menjadi salah tindakan dan perkataan, yang kemudian berujung kepada lembah kesengsaraan.
Lahir dan hidup dalam roda samsara itu, bisa diibaratkan seperti meniti “titi ugal-agil” [jembatan berupa sebatang kayu kecil yang goyah]. Hanya persoalan waktu kita “jatuh ke dalam jurang”. Dengan kata lain, sangat-sangat mendesak bagi kita sebagai manusia untuk segera sadar, karena kita semua sedang meniti titi ugal-agil.
Setiap hari segala macam hal datang kepada kita silih berganti. Habis bahagia, datanglah kejengkelan. Habis senang, datanglah kebosanan. Demikian terus-menerus berputar. Hanya persoalan waktu kita ”jatuh ke dalam jurang”. Kita yang sudah menikah kemudian cari istri lagi, itu jatuh ke dalam jurang. Kita tidak puas dengan gaji kemudian kita korupsi, itu jatuh ke dalam jurang. Kita tidak puas dengan pasangan hidup kemudian minta cerai, itu itu jatuh ke dalam jurang. Dll-nya. Kita akan menyakiti dan melukai baik diri kita sendiri maupun orang lain. Pada akhirnya diri kita sendiri yang akan terjerumus ke dalam jurang kegelapan dan kesengsaraan.
Kalau setuju dan yakin, bahwa hidup sebagai manusia itu ibarat meniti titi ugal-agil dan salah-salah kita bisa jatuh ke dalam jurang, segeralah kita kembali ke jalan dharma. Karena hanya dengan begitu seluruh kesengsaraan bisa lenyap, kita bisa terbebaskan dan menemukan hakikat diri dalam kedamaian-kebahagiaan sejati.
Hindu di Bali.
Salah satu ciri kuat Hindu Bali adalah Bhakti Yoga, dengan ciri khas dimana dalam kesehariannya penuh dengan yadnya [persembahan suci]. Mengacu kepada apa yang dilaksanakan oleh para tetua, tidak saja banten dan upakara menjadi yadnya, tapi tari-tarian, ngayah [pelayanan], ukiran, pemberian, pertolongan, membahagiakan mahluk lain, dll, semuanya adalah yadnya. Bahkan hidup inipun adalah yadnya. Kalau hal ini yang dijadikan acuan, sebagai Hindu Bali selayaknya bergerak dengan spirit yadnya [persembahan suci].
Ada delapan macam yadnya, yaitu TRI YADNYA [tiga macam yadnya yang tidak berhubungan dengan upakara] dan PANCA YADNYA [lima macam yadnya yang berhubungan dengan upakara]. Tri Yadnya termasuk Para Bhakti, sedangkan Panca Yadnya termasuk Apara Bhakti. Inilah jalan menuju tercapainya Tri Hita Karana, yaitu keharmonisan semesta yang bersumber pada keharmonisan hubungan antara manusia dengan Hyang Acintya dan para dewa-dewi, manusia dengan alam raya dan manusia dengan sesama mahluk. Ini selaras-sejalan dengan tujuan “moksartham jagadhita ya ca iti dharma”, yang berarti : dengan dharma kita mewujudkan kebahagiaan semua mahluk dan keharmonisan alam semesta [jagadhita], serta mencapai pembebasan dari roda samsara [moksartham].
Bhakti Yoga harus dimulai dengan upaya mendisiplinkan diri. Ini direalisasi dengan melaksanakan Tri Yadnya, yaitu tiga macam persembahan suci atau yadnya yang tidak berhubungan dengan upakara.
Ketiga yadnya itu adalah :
1. Drwya Yadnya. Ini adalah yadnya berupa welas asih dan kebaikan kepada semua mahluk. Memuja Tuhan dan dewa-dewi yang tidak kelihatan tentu saja bagus dan boleh. Tapi menyayangi para mahluk yang terlihat juga termasuk yadnya [persembahan suci]. Drwya Yadnya adalah yadnya berupa perbuatan-perbuatan kebaikan, kasih sayang dan pemberian materi maupun non-materi. Tidak saja kepada manusia, tapi juga kepada alam semesta beserta seluruh mahluk didalamnya. Termasuk welas asih dan kebaikan kepada para mahluk menderita : hewan dan mahluk-mahluk niskala alam bawah [yang ditempat lain dimusuhi sebagai setan]. Yadnya disini bukan selalu berarti uang atau barang. Senyuman ramah, mau menjadi tempat curhat yang baik, membantu membuang sampah, itu juga sebuah yadnya. Membuat orang senang, bahagia, terhibur, lepas dari ganjelan, dll, itu semua sebuah persembahan suci [yadnya].
2. Tapa Yadnya. Ini adalah yadnya berupa 10 disiplin diri, yaitu :
- Tiga disiplin badan : hindari menyakiti-membunuh, hindari hubungan seks ilegal [selingkuh], hindari mengambil sesuatu yang bukan milik kita.
- Empat disiplin lidah : hindari berbohong, hindari bergosip-memfitnah, hindari kata-kata kasar dan menghina, hindari kesombongan.
- Tiga disiplin pikiran : hindari kemarahan-kebencian, hindari keserakahan [termasuk serakah ingin hidup harus selalu tenang, damai, gembira tanpa gangguan], hindari dualitas pikiran [benar-salah, baik-buruk, suci-kotor, dll].
Dengan indriya-indriya dan pikiran yang terkendali, kita lebih sedikit serakah, lebih sedikit mengeluarkan kata-kata menyakitkan, yang membuat kita lebih sedikit menyakiti mahluk lain, lebih banyak mengurangi penderitaan para mahluk, sekaligus membuat kita berhenti memproduksi karma buruk.
3. Jnana Yadnya.
Ini adalah yadnya berupa kebijaksanaan dan pengetahuan. Kita belajar dan berlatih menghidupkan kebijaksanaan yang mendalam dalam bathin kita.
Dengan kebijaksanaan mendalam, kita lebih sedikit marah, lebih sedikit membenci, lebih sedikit dendam, lebih sedikit tidak puasnya, yang membuat kita lebih sedikit menyakiti mahluk lain, lebih banyak mengurangi penderitaan para mahluk, sekaligus membuat kita berhenti memproduksi karma buruk.
Dengan keseharian yang dibimbing oleh Tri Yadnya keadaan bathin kita akan menjadi sejuk, teduh, terang. Jauh lebih sedikit mahluk yang disakiti dan jauh lebih banyak mahluk yang bisa disayangi. Hal ini tidak saja menyegarkan bathin orang lain atau mahluk lain, tapi sekaligus juga menyalakan teja atau sinar suci di dalam bathin kita. Sehingga kemanapun kita sembahyang, apapun upakara yang kita lakukan, langkah kita akan ringan, dimana-mana kita mudah sekali bertemu dengan teja kemahasucian.
Segala macam sembahyang, mebanten, upakara, dll, yang kita laksanakan, tanpa dilandasi oleh Tri Yadnya, kemungkinan besar hanya menjadi penyegaran spiritual atau rekreasi rohani yang sifatnya sementara saja atau bahkan tidak berguna. Vibrasi spiritual-nya lemah dan mudah lenyap. Akan tetapi bila sebaliknya, bhakti yoga tidak lagi menjadi aktifitas fisik belaka, tapi sudah menjadi satu dengan aktifitas jiwa. Ini yang akan membuat dalam bhakti kita akan mudah terhubung dengan wilayah-wilayah kemahasucian. Karena hanya yang suci akan tersambung dengan bagian dari Brahman yang juga suci.
Semoga bermanfaat, Silahkan share:
Like this:
Like Loading...
Recent Comments