Sebenarnya sulit untuk menjelaskan moksha dalam kata-kata, akan tetapi ada penjelasan yang hampir MENDEKATI. Penjelasan yang hampir MENDEKATI ini termuat dalam banyak sekali teks-teks India seperti Yoga Sutra, Yoga Vasistha, Astavakara Gita, dsb-nya, maupun dalam teks-teks kuno warisan leluhur kita seperti lontar Dharma Sunia, lontar Wrhaspati Tattwa, dsb-nya.
Dalam penjelasan yang hampir mendekati, moksha atau mukti atau bebas, adalah moment ketika :
1. DI DALAM.
Keadaan “di dalam” atau kondisi yang muncul di dalam bathin kita :
– Ketenangan dan keseimbangan bathin yang sempurna. Apapun yang terjadi diluar, apapun yang kita hadapi, baik-buruk, salah-benar, bahagia-sengsara, suci-kotor, bathin kita tetap tenang, sejuk dan damai. Bathin yang kokoh dan setenang batu.
– Lenyapnya segala bentuk penilaian. Apapun yang terjadi diluar, apapun yang kita hadapi, baik-buruk, salah-benar, bahagia-sengsara, suci-kotor, bathin kita tanpa penilaian. Tanpa kata-kata, tanpa analisa, tanpa penghakiman, tanpa pembandingan. Hanya melihat semuanya apa adanya. Dalam bahasa yang lebih mudah dimengerti yaitu tidak ada sedikitpun prasangka buruk dan pikiran yang negatif. Bathin yang polos dan seputih kertas.
– Lenyapnya segala bentuk kegelapan bathin. Apapun yang terjadi diluar, apapun yang kita hadapi, baik-buruk, salah-benar, bahagia-sengsara, suci-kotor, tidak ada iri hati, tidak ada kemarahan, tidak ada dendam, tidak ada benci, tidak ada hawa nafsu, tidak ada keinginan, tidak ada keserakahan, tidak ada kesombongan, tidak ada kebingungan, tidak ada rasa jengah atau malu, tidak ada rasa sedih dan tidak ada rasa takut. Bathin yang telanjang dan sehening pohon.
– Lenyapnya rasa ke-aku-an dan identifikasi diri. Tidak ada ini aku, ini milikku, ini rumahku, ini agamaku, ini keluarga-ku, ini kelompok-ku, ini etnisku, ini bangsaku, ini badan fisik-ku, ini pendapatku, ini perasaanku, ini harga diriku, dsb-nya. Bathin yang seluas samudera tak bertepi.
2. KELUAR
Sikap bathin “keluar” atau sikap bathin kita kepada semua orang, semua mahluk dan alam semesta, yang ada hanya welas asih, kebaikan dan penuh pengertian yang tidak terbatas dan tanpa syarat.
Inilah ukuran bagaimana cara kita tahu kalau kita sudah mengalami moksha, dalam penjelasan yang hampir mendekati.
Kalau dalam keseharian kita selalu tekun melaksanakan dharma, sekali-sekali dalam hidup ini sangat mungkin kita bisa “sadar” dan mengalami moment BEBAS ini, walaupun secara sangat sementara.
Mungkin saat saat kita lebur dalam kedalaman meditasi, saat sembahyang di sebuah pura kuno, saat duduk tenang di puncak gunung atau di tengah hutan, atau bahkan mungkin saja bisa terjadi saat kita sedang duduk di depan komputer. Kalau ini terjadi kita bisa langsung menitikkan air mata. Bukan air mata kesedihan atau kebahagiaan. Melainkan seperti pulang ke rumah yang sudah sangat lama kita tinggalkan. Karena kita bersentuhan dengan atman, sadar akan hakikat realitas diri yang sejati yang sudah sangat lama kita lupakan.
Sesungguhnya kita sudah dan selalu bebas, hanya saja kita lupa, kita tidak menyadarinya. Kita lupakan karena kita terbelenggu oleh pikiran dan terbelenggu oleh badan fisik. Ketika belenggu ini lenyap, kita ingat, kita sadar.
Dan sesungguhnya belenggu pikiran dan belenggu badan fisik inipun tidak ada. Belenggu ini seolah ada karena kita tunduk dan terseret arus ahamkara [ke-aku-an]. Dan sesungguhnya ahamkara [ke-aku-an] inipun tidak ada, karena “kamu adalah tat” [tat tvam asi].
Inilah pentingnya dalam keseharian kita selalu tekun melaksanakan dharma. Karena dharma yang sudah dilaksanakan tidak saja adalah pelindung abadi kita dalam roda samsara , juga menjadi gerbang depan untuk memasuki dunia spiritual yang mendalam dan sekaligus [kalau tiba putaran waktunya] sangat mungkin kita bisa “sadar” dan mengalami moment BEBAS ini, walaupun secara sangat sementara. Dimana hal ini dapat membuka wawasan dan memberi kita banyak pemahaman akan tujuan hidup dan hakikat realitas diri yang sejati yang sudah sangat lama kita lupakan.
Itu adalah jawaban dari pertanyaan saudara kita tersebut.
MOKSHA [PEMBEBASAN SEMPURNA] / ATMA JNANA [KESADARAN SEMPURNA]
Bedanya antara kita dengan seorang jivan-mukta [orang yang telah bebas, moksha], kalau kita selalu tekun melaksanakan dharma sehingga sekali-sekali dalam hidup ini sangat mungkin kita bisa “sadar” dan mengalami moment BEBAS secara sangat sementara, sedangkan pada seorang jivan-mukta moment BEBAS ini sifatnya permanen.
Karena itu seorang sadhaka yang serius, selain selalu tekun melaksanakan dharma, dia juga tekun melaksanakan sadhana-nya. Ada yang berkelana naik-turun gunung, ada yang puluhan ribu jam melakukan meditasi, ada yang menjadi pertapa telanjang, ada yang bertahun-tahun melakukan upavasa [puasa] dan mona brata [puasa bicara], dsb-nya, ada banyak sekali metode-nya. Semua itu tujuannya hanya satu, membuat moment BEBAS ini menjadi permanen.
Moksha atau mukti dalam penjelasan tetua kita disebut “suka tan pawali duka”, kondisi bathin yang telah kembali pada kesempurnaan, yang tidak akan pernah kembali lagi pada kegelapan atau kesengsaraan. Ketika moment BEBAS ini menjadi permanen, “suka tan pawali duka”, bathin kita mengalami penyatuan kosmik dengan keseluruhan alam semesta.
Sumber: Rumah Dharma-Hindu Indonesia
Semoga bermanfaat, Silahkan share:
Like this:
Like Loading...
Recent Comments