Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Tag Archives: hari raya galungan

Tentang Sugihan dan Makna Filosofisnya


Sebelum Hari Raya Galungan, umat Hindu di Bali melakukan beberapa kegiatan sebagai rangkaian persiapan untuk perayaan rahinan jagad galungan. Dimulai dengan hari Tumpek Wariga dan selanjutnya menjelang seminggu sebelum Galungan, dikenal dengan sugihan. Sugihan termasuk salah satu rangkaian upacara menyongsong Galungan. Sugihan terdiri atas tiga jenis yaitu :

1. Sugihan Pangenten atau Sugihan Tenten,
2. Sugihan Jawa
3. Sugihan Bali.

Masing-masing sugihan datang tiap 210 hari sekali. Ketiga sugihan secara berturut-turut dimulai dari Buda Pon wuku Sungsang disebut Sugihan Pangenten atau Sugihan Tenten. Setelah Sugihan Pangenten, diikuti dengan Sugihan Jawa dan Sugihan Bali.

Image By: http://adaadi-disini.blogspot.sg | Tradisi Ngelawang

Makna Filosofis Sugihan

Sugihan Pangenten bermakna ngingetin atau mengingatkan. Dalam mitologinya berhubungan dengan keadaan Mpu Bradah ke Bali menghadap pada Empu Kuturan dan usaha untuk mengangkat salah satu putra Raja Erlangga untuk menjadi raja di Bali. Namun, Empu Kuturan menolak permintaan tersebut dan Empu Baradah pun tersinggung lalu langsung meninggalkan tanpa permisi untuk kembali ke Daha.

Ketersinggungan Mpu Baradah ini menimbulkan bhuta sebagai akibat lepasnya pengendalian diri. Karena itulah, diingatkan supaya pengendalian diri itu jangan sampai lepas agar bhuta kala dapat dikendalikan. Sejak Sugihan Pangenten inilah mulai dimasukkan sebagai Nguncal Balung yaitu dari wuku Sungsang sampai wuku Pahang, terutama sejak wuku Dungulan sampai dengan Buda Kliwon Pahang.

Nguncal balung artinya tulang sebagai pengukuh tubuh pada manusia dan binatang serta tempat melekatnya otot dan daging. Tanpa tulang, tubuh tidak akan mempunyai kekuatan. Nguncal balung maksudnya melepaskan kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif yang mudah dipengaruhi oleh godaan sang kala tiga, dengan sifat-sifat kalanya, sehingga kembali ke wujud semula atau Sang Hyang Tiga Wisesa.

Dalam Siwaisme disebut Siwa, kala dalam hal ini berarti energi atau kekuatan. Sang Hyang Kala Tiga dalam wujud purusha (Kala Rudra) maupun dalam wujud pradana (Durga Murti), sehingga kembali dalam keadaan somia (tenang). Keadaan somia akan berpengruh terhadap semua ciptaannya.

Oleh sebab itu, pada saat nguncal balung ini kurang baik melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu seperti membuat rumah, tempat pemujaan termasuk penyuciaannya, membangun rumah tangga (kawin) dan sebagainya. Di samping itu, ada pula yang tidak mau membeli ternak untuk dipelihara atau dijadikan bibit.

Demikianlah pantangan-pantangan selama nguncal balung, yang pada dasarnya lebih banyak bertujuan mengurangi aktivitas-aktivitas jasmani agar dapat meningkatkan aktivitas rohani. Misalnya yang dilakukan oleh pertapa atau yogi. Orang kebanyakan dalam mengurangi aktivitas fisiknya dan lebih menekankan pada kegiatan ritualnya dapat melakukan kegiatan yang bersifat menambah pengetahuan tentang agama, kesenian, dan kemasyarakatan. Dengan kegiatan ini diharapkan umat Hindu dapat mengurangi hal-hal yang mengarah pada pemuasan hawa nafsu yang berlebih-lebihan.

Sehari setelah Sugihan Pangenten disebut Sugihan Jawa.. Makna sugihan ini adalah hari penyucian bhuwana agung yang disimbolkan dengan melakukan pemujaan di tempat-tempat suci dan perumahan. Penyucian dimaksud dilakukan secara sekala dan niskala. Bagi para wiku, sadaka, hal ini dilakukan dengan mengucapkan japa mantra. Sedangkan para yogin melakukan yoga semadi.

Selain penyucian juga dilaksanakan pamretistan Batara kabeh, dengan upacara marerebu di sanggah atau pemerajan yang dilengkapi dengan upacara pembersihan atau pangeresikan. Memakai sarana bunga harum. Adapun tujuannya adalah menstanakan para dewa dan pitara.

Upakara-upakaranya disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan bangunan suci yang ada. Untuk palinggih termasuk di dalamnya padmasana, meru, sanggah kemulan, taksu, panunggun karang dan lain-lainnya yang sejenis memakai pembersih (pangeresikan) berupa canang burat wangi lenga wangi, tirtha, dupa dilengkapi dengan ajuman dan daksina (disesuaikan dengan desa kala patra)

Palinggih yang lebih kecil memakai canang burat wangi lenga wangi. Sementara penyucian secara umum memakai pangerebuan yang terdiri atas satu tumpeng guru dengan alas kulit sesayut yang puncaknya diisi telur itik rebus, 3, 5, 7 buah tumpeng biasa dilengkapi dengan jajan, buah-buahan dan sampyan nagasari, sampyan peras. Dua sorohan alit 9 peras, tulung, sesayut) sangga urip, penyeneng, lis, bebuu, pangeresikan, canang genten, lauk, pauk/rerasmen yang terdiri atas daging ayam dipanggang, guling itik atau babi yang disesuaikan dengan kemampuan.

Jumlah tumpeng dan dagingnya disesuaikan dengan jumlah palinggih yang akan diupacarai marerebu. Misalnya untuk padmasana, sanggah kemulan dan sejenisnya menurut tradisi tidak dibenarkan memakai daging atau babi guling. Setelah dilaksanakan pembersihan secara sekala barulah dilaksanakan pembersihan secara niskala yaitu mengaturkan upacara pangerebuan. Apabila mempergunakan sebuah pangerebuan, diusahakan memakai guling itik yang terlebih dahulu diaturkan dari bangunan suci yang paling utama. Misalnya dari padamasana kemudian meru gedong taksu dan seterusnya sampai pada bangunan yang kecil-kecil terakhir dilebar di jaba atau halaman paling luar, disertai dengan segehan dan tetabuhan arak berem.

Sugihan Bali merupakan hari penyucian terhadap diri sendiri bhuwana alit. Upacara khusus pada hari ini sebenarnya tidak ada. Meski demikian, pada hari ini perlu dilaksanakan upacara memohon tirtha pangelukatan kehadapan sang sadaka atau sulinggih. Selain itu umat Hindu juga hendaknya melakukan sembah sebagaimana layaknya pada hari-hari kajeng kliwon yang lainnya. Semua pelaksanaan kegiatan sugihan ini hendaknya dapat dilaksanakan sesuai desa kala patra.

artikel ini diolah dari : Bali Post

Rangkaian Hari Raya Galungan


Suasana Hari Raya Galungan, Sumber: Balikami

Sebelum hari raya galungan, ada beberapa rangkaian hari raya suci yang dirayakan umat Hindu dimana hari raya tersebut sebagai persiapan menyambut hari raya galungan.

  1. Sugihan Tenten, jatuh pada Buda Pon Wuku Sungsang atau tujuh hari sebelum Hari Raya Galungan. Sugihan ini disebut Sugihan Tenten karena merupakan hari ngentenin atau memperingatankan, mengingatkan umat manusia bahwa sebelum Kemenangan Dharma tiba Bhuta Tiga akan hadir untuk menggoda umat manusia.
  2. Sugihan Jawa atau Sugihan Jaba.
    Sebuah upacara dalam rangka menyucikan bhuana agung (makrocosmos) yang jatuh pada hari Kamis Wage Sungsang. Kata Sugihan berasal dari urat kata Sugi yang artinya membersihkan dan Jaba artinya luar, dalam lontar sunarigama dijelaskan sebagai berikut: bahwa Sugihan Jawa merupakan “Pasucian dewa kalinggania pamrastista bhatara kabeh” (pesucian dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara dimasing-masing tempat suci.
  3. Sugihan Bali, Bali dalam bahasa sansekerta berarti kekuatan yang ada dalam diri. Jadi Sugihan Bali memiliki makna yaitu menyucikan diri sendiri sesuai dengan lontar sunarigama: “Kalinggania amrestista raga tawulan” (oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing-masing /mikrocosmos) yaitu dengan memohon tirta pembersihan /penglukatan.
  4. Panyekeban, Jatuh pada hari Minggu Pahing Dungulan. Panyekeban artinya mengendalikan semua indrya dari pengaruh negatif, karena hari ini Sangkala Tiga Wisesa turun ke dunia untuk mengganggu dan menggoda kekokohan manusia dalam melaksanakan Hari Galungan. Dalam Lontar Sunarigama disebutkan: “Anyekung Jnana” artinya mendiamkan pikiran agar tidak dimasuki oleh Bhuta Galungan dan juga disebutkan “Nirmalakena” (orang yang pikirannya yang selalu suci) tidak akan dimasuki oleh bhuta galungan.
  5. Penyajan, Artinya hari ini umat mengadakan Tapa Samadhi dengan pemujaan kepada Ista Dewata. Penyajan dalam lontar Sunarigama disebutkan: “Pangastawaning Sang Ngamong Yoga Samadhi” upacara ini dilaksanakan pada hari Senin Pon Dungulan.
  6. Penampahan, Berasal dari kata tampah atau sembelih artinya; bahwa pada hari ini manusia melakukan pertempuran melawan Adharma, atau hari untuk mengalahkan Bhuta Galungan dengan upacara pokok Mabyakala yaitu; membayar kepada Bhuta Kala. Makna sesungguhnya dari hari penampahan ini adalah membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri, bukan semata-mata membunuh hewan korban, karena musuh sebenarnya ada didalam diri, bukan di luar dan termasuk sifat hewani tersebut. Ini sesuai dengan lontar Sunarigama yaitu; “Pamyakala kala malaradan” artinya membayar hutang kepada ruang dan waktu. Bhuta = ruang, Kala = waktu, jadi Bhuta kala adalah ruang dan waktu, jadi harus diharmonisasi karena kita hidup diantara keduanya termasuk Atma hidup diantara ruang dan waktu jasmani ini.
  7. Galungan, Inilah puncak rahina jagat. Hari kemenangan dharma terhadap adharma setelah berhasil mengatasi semua godaan selama perjalan hidup ini, dan merupakan titik balik agar manusia senantiasa mengendalikan diri dan berkarma sesuai dengan dharma dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan dalam usaha mencapai ananda atau jagadhita dan moksa serta shanti dalam hidup sebagai mahluk yang berwiweka.
  8. Manis Galungan, Setelah merayakan kemenangan, manusia merasakan nikmatnya (manisnya) kemenangan dengan mengunjungi sanak saudara dengan penuh keceriaan.
  9. Pemaridan Guru, Jatuh pada hari Sabtu Pon Dungulan, maknanya pada hari ini dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirgayusan yaitu; hidup sehat umur panjang dan hari ini umat menikmati waranugraha dari dewata. Demikian makna Hari Raya Galungan sebagai hari pendakian spritual dalam mencapai kemenangan/wijaya dalam hidup ini ditinjau dari sudut pelaksanaan upacara dan filosofisnya.
  10. Kuningan, Akhirnya pada hari raya Kuningan merupakan hari yang sangat berbahagia bagi umat manusia di Bumi dan alam Semesta. Ida Bhatari Durga Nawa Ratri sedang turun ke Bumi mengunjungi umat manusia yang memuja dan berbakti kepada Beliau serta menganugrahkan kasih sayang kepada alam marcapada dan isinya.

**Semua rangkaian hari suci diatas hendaknya dilalui dengan kesucian hati dan pikiran, melakukan pensucian bhuwana agung dan bhuwana alit bagi terciptanya keharmonisan alam.

Artikel: diolah dari Puri Agung Dharma Giri

Renungan Hari Raya Galungan


Umat Hindu kembali merayakan hari raya Galungan, Rabu (29/8) besok. Dalam era kekinian, bagaimana mestinya umat Hindu memaknai Galungan yang rutin datang setiap enam bulan tersebut?

DOSEN IHDN Denpasar Dr. Wayan Suarjaya mengatakan hari raya Galungan mesti mampu dimaknai dengan baik. Perayaan Galungan mesti dimaknai sejauh mana umat berhasil melawan sifat-sifat Tiga Kala (Kala Galungan, Kala Dungulan dan Kala Amangkurat). Dalam konteks sekala, kala-kala itu bisa berwujud hawa nafsu untuk memiliki harta berlebihan, mabuk kekuasaan, dan bersifat hedonis. ”Melalui perayaan Galungan kita diingatkan agar mampu mengendalikan hawa nafsu yang berlebihan,” kata mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Kemenag ini.

Ciri keberhasilan umat melawan ketiga kala itu adalah makin dekat dengan Tuhan (Ida Hyang Widhi Wasa) dan leluhur, rukun dalam keluarga dan lingkungan, dan melaksanakan swadharma dengan baik. Misalnya, sebagai penegak hukum, seseorang haruslah profesional, yakni menegakkan hukum dengan baik.

Ketua Umum Yayasan Dwijendra Pusat Denpasar Drs. Ida Bagus Gede Wiyana mengatakan, perayaan Galungan di bulan Agustus ini momentum yang baik, karena masih dalam suasana HUT Kemerdekaan RI dan perayaan hari keagamaan umat muslim yaitu Idul Fitri. Galungan merupakan hari kemenangan dharma melawan adharma, HUT Kemerdekaan RI adalah hari kemerdekaan (mahardika) dari penjajah dan Idul Fitri hari kemenangan melawan hawa nafsu.

Dikatakannya, momentum hari raya Galungan ini hendaknya mampu dimanfaatkan untuk menyelaraskan pikiran agar menjadi terang benderang dan berkesadaran tinggi. Inilah yang disebut sebagai implementasi kemenangan dharma melawan adharma. Menjadi orang yang mahardika (merdeka) yakni terbebas dari segela bentuk penjajahan, sekala-niskala, fisik atau batin yang tidak dicekoki oleh hal-hal negatif.

Momentum hari raya Galungan, kata Ketua FKUB Bali ini, juga sebagai bentuk pengendalian Sapta Timira yaitu tujuh macam kegelapan atau kemabukan, yaitu surupa (mabuk karena ketampanan), dhana (mabuk karena kekayaan), guna (mabuk karena kepandaian), kulina (mabuk karena keturunan), sura (mabuk karena meminum minuman keras), dan kasuran (mabuk karena kemenangan).

Dosen Unhi Denpasar Dr. Wayan Budi Utama mengatakan Galungan hendaknya dimaknai sebagai peringatan kepada umat agar menghargai dan mengelola waktu dengan sebaik-baiknya. Implementasinya adalah waktu lampau harus dijadikan cermin untuk melangkah ke waktu yang akan datang agar menjadi lebih baik. Kesempatan saat ini (waktu saat ini) sebaiknya digunakan untuk merancang masa depan yang lebih baik.

Salah satu fondasi penting yang harus dimaknai melalui perayaan Galungan adalah disiplin. Disiplin waktu, disiplin di jalan, serta disiplin dalam mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Hal ini bisa dilakukan melalui pendidikan. Karena itu investasi melalui pendidikan mutlak menjadi prioritas umat Hindu saat ini jika ingin menyongsong masa depan yang lebih baik.

”Melalui Galungan ini mudah-mudahan makin banyak umat Hindu yang memaknainya dengan memperhatikan perbaikan kualitas SDM Hindu melalui jalur pendidikan,” katanya.

Kekuatan sang Kala Tiga Galungan, menurutnya, harus dimaknai bahwa masa depan (waktu yang akan datang) harus lebih baik dari saat ini, sehingga kualitas kehidupan menjadi lebih baik, kualitas keimanan meningkat, sehingga tercipta kesalehan sosial dalam masyarakat.

Sumber: Bali Post, 28 Agustus 2012 | Renungan Galungan Menjadi Orang ”Mahardika”

 

 

 

%d bloggers like this: