Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Daily Archives: August 4, 2012

Menyembah atau Menghormati Pohon?


Banyak orang yang menilai bahwa kita, umat Hindu menyembah pohon(tumbuhan), penilaian atau lebih tepatnya tuduhan ini sangat tidak tepat. Dan biasanya ini dikarenakan ketidaktahuan dari mereka.

Avir vai nama devata,
rtena-aste parivrta,
tasya rupena-ime vrksah,
harita haritasrajah.
(Atharvaveda X.8.31).

Artinya: Warna hijau pada daun tumbuh-tumbuhan karena mengandung klorofil di dalamnya. Zat khlorofil itu menyelamatkan hidup. Hal itu ditetapkan oleh Rta yang ada dalam tumbuh-tumbuhan. Karena adanya zat itu tumbuh-tumbuhan menjadi amat berguna sebagai bahan makanan dan obat-obatan.

Ada tiga makhluk hidup penghuni bumi ini yaitu stavira (tumbuh-tumbuhan), janggama (hewan) dan manusia yaitu makhluk hidup yang memiliki “manu”. Manu berasal dari kata “man” artinya manah atau pikiran.

Tiga makhluk hidup penghuni bumi ini menurut Bhagawad Gita III.10 akan bisa hidup seimbang berdasarkan yadnya. Tumbuhan-tumbuhan dan hewan beryadnya pada manusia dan sebaliknya manusia pun harus beryadnya kepada tumbuhan dan hewan. Manusia memiliki idep yaitu akal budhi, maka manusialah yang seyogianya paling cerdas melakukan hidup untuk saling beryadnya pada stavira dan janggama.

Agama Hindu telah memberikan petunjuk pada manusia agar melakukan bhuta yadnya. Agastia Parwa menyatakan sebagai berikut: ‘’Bhuta yadnya ngarania taur muang kapujan ring tuwuh.’’ Maksudnya: Butha Yadnya bermakna mengembalikan kemurnian unsur-unsur alam dengan cara menghormati tumbuh-tumbuhan.

Mengapa tumbuhan tumbuhan demikian dihormati dalam ajaran Agama Hindu? Sebab, tumbuh-tumbuhan demikian besar peran dan fungsinya dalam kehidupan makhluk lainnya terutama manusia. Hal itu dinyatakan dalam kutipan Atharvaveda X.8.31 di atas. Manusia dan hewan tidak bisa hidup tanpa tumbuh-tumbuhan, karena tumbuh-tumbuhan berfungsi sebagai bahan makanan dan juga bahan obat-obatan. Apalagi tanaman hutan memiliki fungsi yang amat kompleks bagi kehidupan makhluk hidup terutama manusia. Dari tanaman hutan itulah akan berhembus oksigen yang tidak boleh absen dalam diri manusia. Kalau oksigen absen dalam tubuh manusia, maka manusia akan mati. Demikian juga zat klorofil yang dikandung oleh hijaunya daun dari tumbuh-tumbuhan itu amat berguna bagi kehidupan manusia. Mengapa demikian besar kegunaan khlorofil dari tumbuh-tumbuhan itu sudah ditetapkan oleh Rta yaitu hukum alam yang diciptakan Tuhan. Atharvaveda XVIII.I.17 menyatakan bahwa tumbuh-tumbuhan atau Osadha dinyatakan sebagai salah satu dari Tri Chanda yaitu tiga lapisan yang melindungi bumi dan yang paling utama dari bumi ini. Karena tanpa tiga lapisan yang melindungi bumi ini semua makhluk tidak akan bisa hidup. Tri Chanda yang lainnya adalah Apah dan vaataa yaitu air dan udara. Merusak eksistensi Tri Chanda adalah merupakan kejahatan yang terbesar di bumi ini. Dalam Sarasamuscaya 135 dinyatakan untuk mensukseskan empat tujuan hidup manusia maka terlebih dahulu yang wajib disejahterakan adalah alam lingkungan. Mensejahtrakan alam lingkungan sebagai hal yang pertama harus diperhatikan. Menurut Sarasamuscaya 135 itu dinyatakan dengan istilah Bhuta Hita. Bhuta artinya lima unsur yang membentuk alam, hita artinya sejahtera. Bhuta Hita artinya kewajiban untuk mensejahtrakan alam sebagai langkah awal mendapatkan kesejahteraan hidup. Menyangkut tumbuh-tumbuhan ruang hidupnya semakin didesak oleh pertumbuhan penduduk. Dahulu tumbuhan bisa lestari karena jumlah penduduk masih sedikit dan keinginannya pun masih sedikit. Dewasa ini penduduk semakin banyak keinginannya pun semakin banyak. Hal inilah yang menyebabkan tumbuh- tumbuhanpun semakin terdesak.

Tumbuh-tumbuhan yang dimanjakan oleh manusia adalah tumbuhan yang dirasakan memberi manfaat langsung secara kasat mata. Tumbuhan seperti tanaman hutan yang memberikan oksigen dan kesejukan sering kurang dimanjakan. Tumbuhan bahan makanan seperti sayuran dan buah-buahan dimanjakan tetapi ada beberapa jenis yang dirusak sebagai bahan makanan. Disemprot dengan pembasmi hama dan ada yang diberi lem perekat agar hemat dengan pembasmi hama. Dengan demikian akan lebih menguntungkan secara ekonomi bagi sementara petani dan pedagang sayur dan buah. Tetapi akan merugikan konsumen, karena konsumen harus makan sayur dan buah yang mengandung zat kimia berbahaya. Inilah sebagai akibat ketidakseimbangan penerapan ilmu eksakta dengan ilmu humaniora dan spiritual. Kok sampai hati demi keuntungan ekonomi meracuni sesama umat manusia dan tidak merasa berdosa. Ini bukan kesalahan tumbuh-tumbuhan dan ilmu eksakta. Tetapi semata-mata kesalahan manusia yang tidak menguatkan rasa kemanusiaanya dengan nilai spiritual agama yang dianutnya sehingga sampai hati demi keuntungan sendiri merugikan masyarakat luas.

Kerena demikian luasnya kegunaan tumbuh-tumbuhan seyogianya semua umat manusia sebagai apapun dia wajib melindungi tumbuh-tumbuhan apapun jenisnya demi kelangsungan kehidupan yang sehat dan bahagia di bumi ini.

Dalam pustaka Panca Wati dinyatakan adanya tiga zonasi sebagai areal mengembangkan tumbuhan yang disebut stavira itu. Tiga zonasi itu disebut Tri Vana yaitu Maha Vana, Tapa Vana dan Sri Vana. Maha Vana sebagai zona mengeksistensikan secara baik, benar dan tepat tanaman hutan. Tanpa hutan bumi ini akan menjadi gurun pasir. Tapa Vana areal untuk mengembangkan tanaman yang indah bentuk, baik batang, daun, bunga dan buahnya. Dalam areal Tapa Vana inilah idealnya dibangiun tempat pemujaan, pasraman, diorama kerokhanian, dharma sala dan bangunan lainya yang memperkuat penanaman nilai-nilai spiritual pada umat. Sri Vana adalah areal pemukiman yang wajib dieksistensikan tanaman produksi untuk memenuhi konsumsi masyarakat dan juga keteduhan serta kesejukan pada mereka yang bermukim di Sri Vana. Sayangnya di Sri Vana semakin tidak seimbang antara bangunan gedung dengan tanaman yang berfungsi sebagai taman indah di pemukiman.

Umat Hindu di Bali selalu melakukan rasa syukur atas besarnya manfaat tanaman(pohon) bagi kehidupan baik sebagai sumber makanan maupun oksigen. Dengan Tumpek Wariga yang selalu diperingati setiap 210 hari diharapkan umat Hindu selalu ingat untuk selalu menjaga kelestarian tananam untuk kelangsungan hidup.

Artikel terkait:

  1. Upacara, Etika dan Filosofi Tumpek Wariga
  2. Menyembah atau Menghormati Pohon?

Upacara, Etika dan Filosofi Tumpek Wariga


Image by: courtesy facebook | Ilustrasi adat dan budaya

Avir vai nama devata,
rtena-aste parivrta,
tasya rupena-ime vrksah,
harita haritasrajah.
(Atharvaveda X.8.31).

Artinya: Warna hijau pada daun tumbuh-tumbuhan karena mengandung klorofil di dalamnya. Zat khlorofil itu menyelamatkan hidup. Hal itu ditetapkan oleh Rta yang ada dalam tumbuh-tumbuhan. Karena adanya zat itu tumbuh-tumbuhan menjadi amat berguna sebagai bahan makanan dan obat-obatan.

Hari ini, Sabtu Kliwon Wuku Wariga(04/08) merupakan hari Tumpek Wariga/Tumpek Pengatag/Tumpek Bubuh yang selalu dirayakan selama peradaban Umat Hindu di Bali. Ini merupakan ungkapan rasa syukur kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa atas anugerah berupa berbagai tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan berbagai jenis makanan baik untuk manusia maupun makhluk lainnya.

Dipandang dari aspek upacara, hari raya yang diperingati umat Hindu setiap 210 hari sekali ini sebagai bentuk pemujaan pada Sanghyang Sangkara sebagai dewa yang berstana atau memberikan kehidupan pada seluruh tanaman/tumbuh-tumbuhan.

Dari Sisi Etika, umat Hindu pada hari ini tidak diperbolehkan menebang pohon. Umat pun pada Tumpek Wariga tidak mau memetik buah, bunga, dan daun. Justru mereka diharapkan menanam pohon. Artinya, secara etika, umat Hindu ingin menyerasikan dirinya dengan alam, baik melalui upacara maupun tindakan nyata.

Makna filosofis Tumpek Wariga sebagai bentuk pemujaan kepada Sangyang Sangkara yang merupakan manifestasi dari Tuhan sesungguhnya bermakna bagaimana memelihara alam melalui tumbuh-tumbuhan sehingga kebutuhan oksigen dari seluruh makhluk hidup bisa terpenuhi.

Tumbuh-tumbuhan yang dinikmati oleh umat manusia memiliki arti yang sangat penting bagi kelangsungan hidup. Karena itu, harus ada timbal balik yang harus diberikan terhadap tumbuh-tumbuhan itu. Bentuknya, bisa saja dalam wujud upacara atau ritual sebagaimana yang dilakukan pada saat hari Tumpek Bubuh/Tumpek Wariga/Tumpek Pengatag ini.

Tumpek Wariga


Tumpek Wariga jatuh setiap 6(enam) bulan sekali atau 210 hari. Tumpek Wariga juga dikenal sebagai Tumpek Bubuh(bubuh=bubur) dan juga sering disebut sebagai Tumpek Pengatag(tumpek ngatag). Tumpek Wariga/Tumpek Bubuh/Tumpek Pengatag selalu jatuh pada hari Sabtu Kliwon Wuku Wariga. Bentuk upacara Tumpek Wariga berupa banten selamatan, yakni peras, tulung sesayut tumpeng, bubur gendar, tumpeng agung, penyeneng, tetebus dan serba harum-haruman. Banten tersebut dilengkapi ikan dari gulung babi atau itik. Sarana Upacara tersebut diatas terdapat juga widhi-widhana untuk badan sendiri pada upacara ini juga menggunakan sesayut cakrageni, dan dupa harum. Sesayut itu ditatab dengan cipta menjernihkan segenap pikiran menuju ketenangan batin yang mengakibatkan timbulnya Adnyana Sandhi.

Image by: facebook

Apa makna Tumpek Wariga? Tumpek Wariga merupakan refleksi rasa syukur kepada Hyang Widhi(Tuhan Yang Maha Esa) dengan manifestasiNya sebagai Dewa Sangkara atas karuniaNya berupa tumbuh-tumbuhan sebagai sumber makanan. Kita semua tentu mengetahui manfaat tumbuh-tumbuhan sangat besar bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Tumpek Wariga sesungguhnya mengingatkan kita bahwa manusia harus merawat alam. Manusia tak akan bisa hidup dengan baik tanpa didukung oleh lingkungan alam yang sehat. Lingkungan hidup yang baik adalah sumber kehidupan bagi manusia. Oleh karena itu agama Hindu selalu mengingatkan tentang hal ini melalui perayaan Tumpek Wariga.

Tumpek Wariga merupakan momentum untuk menyadarkan kita akan betapa pentingnya tanam-tanaman dalam arti luas, sebagai sumber makanan dan sumber zat asam yang sehat bagi kelangsungan hidup manusia. Cintailah lingkungan kita demi generasi muda yang sehat dan cerdas. Tindakan nyata yang bisa dilakukan adalah menyelamatkan pertanian kita. Tiap orang wajib menanam dan merawat tanamannya. Terpenting lagi agar tanaman bisa menghasilkan sumber makanan yang sehat bagi tubuh manusia, kendalikanlah penggunaan pestisida dan zat kimia lainnya. Kita perlu kembali ke pertanian organik dalam rangka mengembalikan kesehatan tanah yang pada akhirnya berpengaruh baik bagi kesehatan manusia.

Semoga tumbuh-tumbuhan senantiasa subur dan memberikan sumber kehidupan bagi semua makhluk hidup. Odalan yang jatuh bertepatan dengan Tumpek Wariga antara lain: Odalan di Pura Manik Besakih, Pura Agung Wira Dharma Samudra Cilandak Jakarta Selatan, Odalan di Pura Tri Buana Agung Depok Jawa Barat, Odalan di Pura Puseh Desa Batuan Sukawati, Odalan di Merajan Pasek Bendesan Kekeran Mengwi.

Artikel terkait:

  1. Upacara, Etika dan Filosofi Tumpek Wariga
  2. Menyembah atau Menghormati Pohon?