Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Monthly Archives: August 2012

Renungan Hari Raya Galungan


Umat Hindu kembali merayakan hari raya Galungan, Rabu (29/8) besok. Dalam era kekinian, bagaimana mestinya umat Hindu memaknai Galungan yang rutin datang setiap enam bulan tersebut?

DOSEN IHDN Denpasar Dr. Wayan Suarjaya mengatakan hari raya Galungan mesti mampu dimaknai dengan baik. Perayaan Galungan mesti dimaknai sejauh mana umat berhasil melawan sifat-sifat Tiga Kala (Kala Galungan, Kala Dungulan dan Kala Amangkurat). Dalam konteks sekala, kala-kala itu bisa berwujud hawa nafsu untuk memiliki harta berlebihan, mabuk kekuasaan, dan bersifat hedonis. ”Melalui perayaan Galungan kita diingatkan agar mampu mengendalikan hawa nafsu yang berlebihan,” kata mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Kemenag ini.

Ciri keberhasilan umat melawan ketiga kala itu adalah makin dekat dengan Tuhan (Ida Hyang Widhi Wasa) dan leluhur, rukun dalam keluarga dan lingkungan, dan melaksanakan swadharma dengan baik. Misalnya, sebagai penegak hukum, seseorang haruslah profesional, yakni menegakkan hukum dengan baik.

Ketua Umum Yayasan Dwijendra Pusat Denpasar Drs. Ida Bagus Gede Wiyana mengatakan, perayaan Galungan di bulan Agustus ini momentum yang baik, karena masih dalam suasana HUT Kemerdekaan RI dan perayaan hari keagamaan umat muslim yaitu Idul Fitri. Galungan merupakan hari kemenangan dharma melawan adharma, HUT Kemerdekaan RI adalah hari kemerdekaan (mahardika) dari penjajah dan Idul Fitri hari kemenangan melawan hawa nafsu.

Dikatakannya, momentum hari raya Galungan ini hendaknya mampu dimanfaatkan untuk menyelaraskan pikiran agar menjadi terang benderang dan berkesadaran tinggi. Inilah yang disebut sebagai implementasi kemenangan dharma melawan adharma. Menjadi orang yang mahardika (merdeka) yakni terbebas dari segela bentuk penjajahan, sekala-niskala, fisik atau batin yang tidak dicekoki oleh hal-hal negatif.

Momentum hari raya Galungan, kata Ketua FKUB Bali ini, juga sebagai bentuk pengendalian Sapta Timira yaitu tujuh macam kegelapan atau kemabukan, yaitu surupa (mabuk karena ketampanan), dhana (mabuk karena kekayaan), guna (mabuk karena kepandaian), kulina (mabuk karena keturunan), sura (mabuk karena meminum minuman keras), dan kasuran (mabuk karena kemenangan).

Dosen Unhi Denpasar Dr. Wayan Budi Utama mengatakan Galungan hendaknya dimaknai sebagai peringatan kepada umat agar menghargai dan mengelola waktu dengan sebaik-baiknya. Implementasinya adalah waktu lampau harus dijadikan cermin untuk melangkah ke waktu yang akan datang agar menjadi lebih baik. Kesempatan saat ini (waktu saat ini) sebaiknya digunakan untuk merancang masa depan yang lebih baik.

Salah satu fondasi penting yang harus dimaknai melalui perayaan Galungan adalah disiplin. Disiplin waktu, disiplin di jalan, serta disiplin dalam mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Hal ini bisa dilakukan melalui pendidikan. Karena itu investasi melalui pendidikan mutlak menjadi prioritas umat Hindu saat ini jika ingin menyongsong masa depan yang lebih baik.

”Melalui Galungan ini mudah-mudahan makin banyak umat Hindu yang memaknainya dengan memperhatikan perbaikan kualitas SDM Hindu melalui jalur pendidikan,” katanya.

Kekuatan sang Kala Tiga Galungan, menurutnya, harus dimaknai bahwa masa depan (waktu yang akan datang) harus lebih baik dari saat ini, sehingga kualitas kehidupan menjadi lebih baik, kualitas keimanan meningkat, sehingga tercipta kesalehan sosial dalam masyarakat.

Sumber: Bali Post, 28 Agustus 2012 | Renungan Galungan Menjadi Orang ”Mahardika”

 

 

 

Permintaan Dupa Meningkat Menjelang Galungan


REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR — Permintaan dupa sebagai sarana perlengkapan upacara meningkat empat hari menjelang Hari Raya Galungan yang jatuh pada 29 Agustus mendatang.

“Menjelang Galungan, penjualan dupa rata – rata meningkat sepuluh hingga 15 persen, jika dibandingkan hari biasanya,” kata Anak Agung Raka Suartini, seorang produsen dupa di Denpasar, Sabtu.

Produsen dupa dari usaha rumah tangga yang terletak di Jalan Panglima Besar Sudirman Denpasar itu menuturkan bahwa, pembelian dupa tidak hanya datang dari masyarakat, melainkan pula beberapa pedagang yang menjual dupanya kembali.

Saat ini dupa sudah banyak memiliki variasi aroma tertentu sesuai dengan permintaan konsumen baik langsung maupun melalui pemesanan “online”, di antaranya aroma aromaterapi seperti cendana, gaharu, sakura, melati, hingga akasia.

Ia mengatakan, meski terjadi peningkatan namun presentase itu tidak terlalu signifikan karena sebagian besar masyarakat Hindu di Bali biasanya telah membeli dupa dua minggu atau bahkan sebulan sekali untuk keperluan upacara sehari-hari.

Meskipun terjadi peningkatan karena menjelang Galungan yang jatuh setiap enam bulan sekali itu, namun pihaknya tidak menaikkan harga. Harga setiap dupa, lanjut Suartini, bervariasi tergantung aroma yang diminati, seperti untuk cendana, dihargai Rp 100 ribu, Gaharu per kilogramnya Rp 110 ribu, sakura Rp 110 ribu, dan melati Rp 90 ribu.

Sedangkan untuk harga eceran dijual bervariasi mulai Rp 4.000 hingga Rp 12.500.

Sementara di tingkat para pedagang dupa di Pasar Badung Denpasar, sejumlah pedagang mengungkapkan permintaan dupa harum memang meningkat sejak beberapa hari terakhir.

“Permintaan dupa harum sudah mulai meningkat sejak seminggu belakangan, karena ada beberapa rangkaian upacara seperti ‘Sugihan Jawa dan Bali,” kata Dewa Anom, seorang penjual dupa.

Meskipun ada peningkatan namun harga dupa tersebut tidak mengalami kenaikan. Untuk dupa kemasan dijual bervariasi tergantung aroma, dan banyaknya isi dupa mulai dari Rp 6.000 hingga Rp35 ribu.

 

 

 

Arti dan Filosofi Penjor Galungan


Penjor merupakan salah satu sarana upakara dalam hari Raya Galungan. Penjor adalah simbol dari naga basukih, dimana Basukih berarti kesejahteraan dan kemakmuran.
Maka dari itu bahan-bahan untuk penjor banyak berasal dari hasil pertanian, seperti plawa (daun-daunan), palawija (biji-bijian seperti padai atau jagung), pala bungkah (umbi-umbian), pala gantung (kelapa, pisang, mentimun).

Keberadaan bahan-bahan pembuat penjor tersebut tentu memiliki arti dan filosofinya masing-masing. Berdasarkan lontar Tutur Dewi Tapini menyebutkan :
“Ndah Ta Kita Sang Sujana Sujani, Sira Umara Yadnva, Wruha Kiteng Rumuhun, Rikedaden Dewa, Bhuta Umungguhi Ritekapi Yadnya, Dewa Mekabehan Menadya Saraning Jagat Apang Saking Dewa Mantuk Ring Widhi, Widhi Widana Ngaran Apan Sang Hyang Tri Purusa Meraga Sedaging Jagat Rat, Bhuwana Kabeh, Hyang Siwa Meraga Candra, Hyang Sadha Siwa Meraga “Windhune”, Sang Hyang Parama Siwa Nadha”

Artinya : Wahai kamu orang-orang bijaksana, yang menyelenggarakan yadnya, agar kalian mengerti proses menjadi kedewataan, maka dari itu sang Bhuta menjadi tempat/tatakan/dasar dari yadnya itu, kemudian semua Dewa menjadi sarinya dari jagat raya, agar dari dewa semua kembali kepada hyang widhi, widhi widhana (ritualnya) bertujuan agar sang Tri Purusa menjadi isi dari jagat raya, Hyang Siwa menjadi Bulan, Hyang Sadha Siwa menjadi windu (titik O), sang hyang parama siwa menjadi nadha (kecek), yang mana kesemuanya ini merupakan simbol dari Ong Kara.

“Sang Hyang Iswara Maraga Martha Upaboga, Hyang Wisnu Meraga Sarwapala (buah-buahan), Hyang Brahma Meraga Sarwa Sesanganan (bambu & jajanan), Hyang Rudra Meraga Kelapa, Hyang Mahadewa Meraga Ruaning Gading ( janur kuning), Hyang Sangkara Meraga Phalem (buah pala), Hyang Sri Dewi Meraga Pari (padi), Hyang Sambu Meraga Isepan (tebu), Hyang Mahesora Meraga Biting (semat).”

Dari petikan bait lontar di atas dapat disimpulkan bahan-bahan pembuat penjor antara lain :

  • Bambu
  • Plawa (dedaunan)
  • Palawija (biji-bijian seperti padi dan jagung)
  • Palabungkah (umbi-umbian)
  • Palagantung (kelapa, pisang, timun)
  • Senganan (Jajanan)
  • Uang kepeng/logam 11 biji
  • Sanggar Ardha Candra simbol dari Ong Kara.
  • Sampian penjor yang berisi porosan (tembakau, daun sirih, kapur, buah pinang, buah gambir) dan bunga.

Oleh : Pinandita Pasek I Ketut Adi Wibardi | Jeroan Manik Mas, Padang Sambian

Rahajeng Nyangra Galungan Lan Kuningan.

 

 

 

%d bloggers like this: