Oleh: I Wayan Westa | Puputan, Tragik Keikhlasan Manusia Bali
Pagi hari, tanggal 27 Mei 1904, sebuah perahu wangkang bernama Sri Kumala karam di Pantai Sanur. Pemiliknya seorang saudagar Cina dari Banjarmasin. Perahu yang berukuran 90,27 registerton itu mengantongi surat pas laut tertanggal 18 Maret 1904, no 16 – dengan kibaran bendera Belanda. Jadi pemiliknya adalah seorang jongos Belanda. Memang pagi itu, manakala Sri Kumala karam, gelombang laut selatan Pulau Bali sangat besar. Pemilik kapal dan nahkoda segara melaporkan karamnya perahu kepada syahbandar pantai Sanur, yang juga seorang Cina. Syahbandar melapor kepada punggawa Sanur dan dengan segera memerintahkah penjagaan terhadap bangkai kapal yang karam.
Beberapa minggu setelah perahu wangkang itu karam, pemilik kapal bernama Kwee Tek Tjiang, melapor pada residen Bali dan Lombok, J. Eschbach di Singaraja. Saudagar Cina ini mengadu, bahwa semua isi kapal amblas, dijarah rakyat Sanur. Apakah laporan ini mengada-ada, atau sengaja dipolitisi, tak jelas. Jika laporan Kwee Tek Tjiang ini benar, Raja Badung dapat disalahkan, karena melanggar pasal 11 perjanjian yang ditandatangani tanggal 13 Juli 1849. Inti perjanjian itu, Raja Badung berjanji untuk selama-lamanya melepas hak tawan-karang, dan memberi pertolongan pada semua kapal yang karam di perairan kerajaan.
Merasa tak terlindungi, pemilik kapal meminta ganti rugi kepada kerajaan. Ini kesempatan emas bagi Gubernur Jendral Van Heutz. Dengan perkara ini, ia dapat menekan Raja Badung takluk. Ternyata meleset, Raja tak mudah ditaklukan. Permintaan pemilik kapal meminta ganti rugi ditolak. Raja menyarankan pada pemiliknya, supaya kasus ini dibuktikan di Majelis Hakim Kerajaan ( Majelis Kerta). Dengan penolakan ini berarti sang raja telah menabur bara. Karena sejak dulu ada keinginan Belanda menguasai Bali. Tak urung karamnya Sri Kumala menjadi kasus yang blingsutan. Ditunggangi kepentingan kemaruk imperialisme Belanda.
H.H. Van Kol, anggota parlemen Belanda mengakui hal ini. Dalam catatan perjalanannya menulis: “Sri Kumala memang merupakan suatu sengketa yang dicari – cari oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai alasan melakukan politik imperialisme di Bali,”. Terlebih, lanjut Van Kol, “Tidak ada satu pun orang Bali yang ia wawancarai percaya bahwa dalam hal ini terjadi perampasan uang sebanyak f.7500,-”. Lagi pula, semua penduduk Sanur yang berjumlah 2800 telah bersumpah dihadapan Tuhan. Bahwa mereka tidak pernah merampas uang itu.
Lewat berbagai tekanan politis, Raja Badung tetap bersikukuh, tak mau membayar ganti rugi. Tanggal 6 Januari 1905, Belanda menggertak, dengan melakukan blokade di perairan kerajaan. Dua kapal milik Angkatan Laut Belanda unjuk gigi, dengan maksud mengembargo seluruh pemasukan dan pengeluaran barang dari kerajaan. Raja tetap tak bergeming. Sampai-sampai beberapa pemuka rakyat Badung dan beberapa saudagar Cina dengan tulus menyampaikan, bahwa rakyat sanggup mengumpulkan uang sejumlah f. 7500,- yang diminta Belanda, semata-mata demi keamanan negara.
Raja sempat berang, “Ini bukan persoalan uang, melainkan soal yang lebih penting dan prinsipiil, yakni soal kebenaran, keadilan dan tegaknya hukum di kerajaan Badung,” tandas I Gusti Made Agung. Suhu politik di kerajaan Badung kian memanas. Semua diplomasi yang dilakukan Belanda gagal. Ada tanda-tanda tidak enak di wilayah kerajaan. Akhir tahun 1905, Pura Uluwatu terbakar. Rakyat menghubungkan kejadian ini sebagai musibah dan malapetaka. Malam- malam bintang kukus senantiasa tampak di cakrawala. Ini sasmita buruk. Masyarakat percaya, dalam waktu tidak terlalui lama akan terjadi pertumpahan darah.
Entah sengaja atau kebetulan, setahun menjelang perang puputan, sang raja telah menulis Purwa Sangara (Awal Kehancuran). Agaknya, lewat karya sastra ini, pengarang telah menghamini tanda-tanda kehancuran itu. Menurut raja pandita ini, yang dapat selamat dari kehancuran itu hanya yang menegakkan kebenaran. Karena tidak oleh mantra, tidak juga oleh upacara kehancuran itu dapat dimenangkan. Yakni, oleh satu hal, yaitu: buddhi ening , hati yang besrsih. Maka penegasan raja kepada rakyatnya: “ tegakkan kebenaran,”.
Maka berkatalah Van Kol, siapa yang tidak secara sengaja menutup mata, akan berpendapat, bahwa raja-raja itu sadar akan kebenarannya, walau mereka yakin pula akan terpukul oleh pertempuran yang tidak seimbang. Karena mereka ingin mendapat kepuasan dalam rasa keadilan. Pemikiran utuk mencapai kemenangan fisik tidak jauh dalam benak mereka. Karena sebagai orang Bali yang telah memiliki peradaban tinggi, mereka mengenal kekuatan militer Belanda. Akan tetapi, kukuh kesadaran mereka mengenai keadilan dan kebenaran, apabila mereka akan bertahan sampai habis-habisan. “Hal itu, harus kita hormti,” tegas Koll.
Secara moral Van Koll agaknya condong membela kepentingan moral dan hati nurani rakyat Badung. Rakyat diibaratkan: layaknya seekor kijang di mana seekor ular menghancurkan tulang rusuknya tiap hari. Dan karena itu lebih memilih segera mencapai ajal ketimbang mati pelan-pelan. Oleh karena senantiasa mendapat tekanan, keputusan Raja Badung tak dapat dihindari: “Lebih baik mati saja daripada bertahta sebagai raja dengan cara begini…”.
Atas kegagalan diplomasi Belanda, dan kekukuhan Raja Badung, Belanda akhirnya memaksakan kehendak. Menggempur kerajaan. Sejumlah batalyaon mendarat di Pantai Sanur dan Padang Galak. Jumlah pasukan Belanda ketika itu mencapai 3053 orang. Pihak Badung juga tak kalah siap. Mereka siap mati demi raja, demi tanah airnya, dan demi kebenaran. Badung dikepung dari segala penjuru, sampai ke lorong-lorong jalan. Benar penilaian Van Koll, “bahwa akan terjadi perlawanan tidak seimbang,”.
Antara pukul 11.00 sampai 11.30, ketika surya bergerak menuju titik zenit, dan beberapa menit lagi tepat berada di atas kepala. Raja Badung meneriakkan, “Puputan.” Perang habis-habisan. Tragik yang dramatis tergelar di alun-laun kerajaan. Sebuah drama kemanusiaan yang memilukan. Puncak dari keikhlasan manusia Bali. Raja dan rakyat telah memilih cara mati yang benar. “Sungguh ngeri pertunjukkan kami lihat di sana. Tumpukan mayat ibarat gunung, pria dan wanita menikam dirinya dan anak-anaknya, sedang menjerit kesakitan dan mereka yang menghembuskan nafas terakhir terdengar di mana-mana,” tulis Dr.H.M. van Weede, seorang sipil Belanda yang menyaksikan perang hebat itu.
Weede yang menyaksikan langsung drama mengerikan itu, melihat iring-iringan raja seperti tengah melakukan upacara. Raja dengan para pangeran dengan para pengingkutnya memakai busana serba indah, bersenjatakan keris dengan ulu keris terbuat dari emas, dihiasi permata berkilauan. Semuanya berpakaian warna merah dan hitam. Rambut mereka diatur dengan rapi , ditaburi minyak wangi. Wanita-wanita berdandan dengan pakainan paling indah, semuanya memakai selendang putih. Raja memerintahkan membakar semua puri, dan menghancurkan semua barang yang dapat dirusak. Setiap pria dan wanita bersenjatakan keris atau tombak. Juga anak-anak turut memikul senjata, bayi-bayi digendong. Raja berada di garis depan, dipundak salah seorang pengikutnya.
Berhadapan seratus meter dengan pasukan Belanda, rombongan raja terus merangsek, berlari-lari bagai singa lapar. Dalam suasana paling menegangkan, raja rubuh tertembak. Prajurit Badung datang bagai air bah, semuanya ingin mati dihadapan rajanya. Wanita-wanita membuka dadanya untuk dihabisi nyawanya atau mendapat tikaman di pundaknya. Mereka menaburkan kepingan uang mas kepada pasukan Belanda. Seorang tua berdiri meringis, menikam kanan kiri prajurit yang sekarat – supaya tidak lama merasa tersiksa. “Banyak di antara mereka yang terluka menyeret dirinya mendekati jenazah raja untuk menutupinya dengan badan mereka,” kenang Weede.
Tragedi ini tak urung membuat hina pasukan Belanda. Di akhir laporan perjalanannya, Weede mencibir : “Orang tidak akan pernah membiasakannya, oleh karena suatu puputan, yang bukan saja membawa kematian prajurit-prajurit, tetapi juga wanita-wanita dan anak-anak, akan sangat merisaukan dan mengerikan sekalipun bagi mereka yang paling keras pendiriannya,” tulisnya.
Tampaknya peringatan Weede tak digubris Pemerintah Kolonial Belanda. Dua tahun kemudian, sejarah berulang di Klungkung. Belanda agaknya tak merasa berkuasa, sebelum bisa menundukan susuhunan raja-raja Bali, Dewa Agung Klungkung. Walau akhirnya gerakan ini juga dipaksakan Belanda, tak khayal menimbukan korban lebih besar. Dan meletuslah puputan Klungkung, 28 April 1908. Peristiwa ini menjadi cacatan kelam kaum humanis Belanda.
H.H. van. Koll melukiskan dengan jujur puncak peristiwa itu: “Suatu peristiwa yang sangat mengerikan dan menyayat hati serta menegangkan syaraf telah terjadi hanya berjarak 100 meter di depan serdadu-serdadu Belanda. Seorang raja mulia dan terpuji tergeletak di sana dengan tengkorak hancur dan otak keluar berhamburan. Sedikit agak ke depan terlihat para istri gugur dengan luka parah kena peluru,”.
Puputan memang menjadi drama peniadaan yang tragik, puncak keikhlasan manusia Bali. Karena dalam kenyataan, ia dipacu oleh spirit kultural. Bahwa mati untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan merupakan puncak pengorbanan tertinggi. Dalam sejumlah sastra kakawin, ia disebut sebagai Rana Yajna – sajian di medan perang. Dan ketika dialog kemanusiaan sudah dianggap tak penting , ia harus mengikhlaskan semuanya. Mati dengan jiwa besar, dan memenggal musuh secara berhadap-hadapan. Lalu adakah spirit itu masih melekat, atau ia mengeras dalam ego personal : idup kai mati iba.
Semoga bermanfaat, Silahkan share:
Like this:
Like Loading...
Related
Recent Comments