Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Tag Archives: jodoh

Poligami dan Poliandri Dalam Hindu


Secara umum mencintai orang lain selain istri atau suami sendiri dianggap umum sudah mengurangi kadar kesetiaan dalam perkawinan. Karena itu Hindu mengajarkan kepada umatnya untuk sejauh mungkin menghindari poligami dan poliandri.

Namun, dalam tradisi umat Hindu di Bali jodoh itu diyakini sebagai suatu buah karma yang disebut dengan istilah “jatu karma”. Dalam Chanakya Nitisastra IV.1 dinyatakan, kelahiran, jenis pekerjaan/pengetahuan, kekayaan, jodoh dan kematian sudah ditetapkan Tuhan saat manusia masih dalam kandungan. Hal itu ditetapkan Tuhan berdasarkan karma-karma pada penjelmaan sebelumya. Melakukan poligami atau poliandri bukan karena suatu harapan tetapi suatu kenyataan hidup buah dari karma masa lalu. Kalau karma masa lalu harus berbuahkan poligami atau poliandri hal itu tidak bisa dihindari karena buah karma.

Dalam Mantera Rg. Veda: X.85.42 ada doa yang isinya memohon Tuban semoga pasangan suami isteri itu tetap berdua selamanya dan hidup bahagia bersama anak dan cucunya dalam sebuah rumah. Permohonan itu mengandung makna, idealnya dalam perkawinan itu tidak ada poligami dan poliandri.

Rg Veda X.85.47 menyatakan doa permohonan kepada para Dewata yang isinya semoga para Dewata selalu menyatukan dengan kekal hati mereka sebagai suami istri. Kalau hati mereka sudah demikian bersatu tentunya tidak ada suami dan istri yang suka dimadu. Kalau ada yang hidup berpoligami atau berpoliandri, itu pasti karena tidak adanya jalan lain. Poligami bukan harapan hidup manusia yang normal tetapi suatu kenyataan hidup bagi orang-orang tertentu yang karena karma-nya tidak bisa menghindari poligami.

Dalam Manawa Dharmasastra IX.45 dinyatakan, seorang suami disebut hidup sempurna jika dalam keluarganya ada tiga unsur, yaitu ia(suami), istrinya seorang dan anaknya. Dalam sloka yang lainya dinyatakan, istri yang hanya seorang yang dimiliki seorang suami disebut “swadarani”. Swa berarti sendiri, dara berarti istri. Swadarani maksudnya hanya seorang istri yang dimiliki seorang suami.

Dalam Manawa Dhatmasastra 1X.102 ada ajaran kepada pasangan suami istri sbb: Pasangan suami istri hendaknya tidak jemu-jemunya mengusahakan agar mereka tidak bercerai dengan cara masing-masing, tidak melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lainnya.

Mengenai jodoh sebagai suatu buah karma ada mitologi dalam Lontar Angastia Prana. Isi singkatnya: Roh turun menjelma ke dunia karena karma-nya. Saat akan turun menjelma roh ini disebut “semara sunia”. Dalam perjalanan roh itu turun menjelma ke dunia akan menemui jalan simpang sembilan yang disebut: “Marga Sanga”. Roh itu bingung menentukan jalan mana yang menuju ke alam skala. Saat roh itu bingung tiba-tiba ada juga roh yang lainnya juga bingung. Roh-roh yang bingung di Marga Sanga itu saat bertemu hilang bingungnya karena mereka sudah dengan jelas menemukan satu di antara sembilan jalan yang menuju ke dunia ini. Pertemuan di Marga Sanga itulah konon yang nantinya akan menjadi jodohnya setelah berada di dunia. Kalau yang bertemu di Marga Sanga itu dua roh, setelah di dunia ini mereka menjadi pasangan jodoh yang tidak berpoligami dan berpoliandri.

Kalau yang bertemu ada tiga atau lebih roh terus hilang bingungnya, maka akan terjadilah poligami atau poliandri. Pertemuan roh-roh itu di Marga Sanga terjadi karena karma mereka. Ini sebuah mitologi, boleh percaya boleh tidak.
Dalam ajaran Hindu, poligami itu sesuatu keterpaksaan karena takdir. Takdir itu turun karena karma. Untuk menghindari poligami lakukanlah perbuatan-perbuatan yang mendorong kita terhindar dari poligami.

Dalam Slokantara Sloka-sloka dinyatakan tentang ditolerirnya poligami, bukan dibenarkan. Disebutkan ada tiga jenis Brahmacari yaitu Sukla Brahmacari, Sewala Brahmacari dan Krsna Brahmacari. Sukla Brahmacari, seorang Brahmacari lelaki yang tidak beristri selama hidupnya. Hidup tanpa istri itu dilakukan bukan karena tidak normal kelaki-lakiannya, tetapi sikap hidup yang benar-benar mengarahkan diri pada kehidupan yang khusus hanya menyangkut kerohanian demi dapat terfokus melayani masyarakat. Libido seksualnya diarahkan dengan kemampuan spiritual yang sangat kuat sehingga dapat diarahkan pada soal spiritual·tanpa seks.

Sewala Brahmacari, seorang lelaki yang hanya kawin dengan seorang istri selama hidupnya. Krsna atau Trsna Brahmacari, kawin dengan maksimal empat istri. Namun, dalam Sloka tersebut dinyatakan bagi mereka yang berpoligami ditolerir maksimal empat istri meniru Dewa Siwa dengan empat sakti-nya yaitu Dewi Uma, Dewi Gangga, Dewi Gauri, Dewi Durga.

Pernyataan sastra suci Slokantara ini sesungguhnya mengandung nilai pendidikan agar seorang suami tidak berpoligami, agar istri tidak berpoliandri. Sebab, untuk bisa berpoligami harus bisa meniru Dewa Siwa. Jelas, untuk bisa seperti Dewa Siwa bukan gampang. Untuk meniru Dewa Siwa berarti seorang suami harus menjadi seorang yang amat religius.

Pandawa, lima bersaudara punya istri satu, yaitu Dewi Drupadi. Kalau kita amati dengan baik ceritera Dewi Drupadi bersuamikan Pandawa Lima, sulit ditafsirkan hal itu sebagai suatu poliandri, Berdasarkan kisah Dewa Indra dalam Ceritera Markandia Purana diketahui bahwa Dewi Drupadi sesungguhnya bukanlah berpoliandri karena kelima suaminya adalah penjelmaan Dewa lndra.
Kesimpulannya, Hindu mengajarkan agar umat Hindu berusaha semaksimal mungkin menghindari poligami dan poliandri.

Oleh : Drs. I Ketut Wiana, M.Ag / Ketua Sabha Walaka Parisada Pusat

Jodoh: Takdir atau Karma?


Oleh: Gentha Apritaura

love-puzzle

Ilustrasi gambar: dari Kaskus

Om Swastiastu
Saya dibesarkan di lingkungan Islam. Saya memutuskan memilih agama Hindu ketika saya masih dalam usia –yang orang bilang- premature. Too early. Tapi bagi saya, tidak ada kata premature sebab Hindu telah menyentuh kebutuhan rohani saya yang paling dasar. Saya menemukan Hindu tanpa guru, tanpa bantuan orang lain, namun itulah yang membuat saya bangga karena dengan demikian, berarti saya mengambil keputusan besar ini tanpa intervensi siapapun.

Usia saya sekarang 22 tahun. Pada usia 21 tahun, saya jatuh cinta pada seorang cowok muslim. Sebut saja namanya Fre. Bukan orang baru, dia cinta pertama saya di sekolah menengah, sekaligus teman sejak SD. Bersamanya, saya merasakan cinta yang sungguh- sungguh terhadap seorang lelaki. Semua ego runtuh di hadapannya. Hampir setahun, saya mengalami masa penuh pergolakan, perang batin, jungkir balik tidak karuan. Saat itu, hidup hanya memberi saya dua pilihan. Jika saya pilih Hindu, saya harus melepaskan dia (dan mengecewakan keluarga sekali lagi). Jika memilih Islam, saya dapat melewatkan waktu bersamanya, sekaligus membahagiakan keluarga karena mereka mengharapkan saya kembali (namun dengan mempertaruhkan amanastuti saya sendiri).

Pada masa itu, saya berpikir keras, kenapa jalan hidup membawa saya pada situasi seperti ini? Dalam benak saya, ada pertanyaan yang sangat mengusik, “Jodoh, takdir atau karma?”. Ajaran agama sebelumnya jelasjelas menyatakan jodoh adalah takdir. Namun dalam hati masih terasa mengganjal. Memerlukan cukup waktu hingga akhirnya saya temukan jawaban ini (mohon maaf sebelumnya, pendapat ini bersifat subyektif ). Jodoh itu bukan takdir, tapi karmaphala!

Apa alasannya?
Saya, bisa saja meraih Fre dalam pelukan saya, lalu kembali pada ajaran keluarga sambil mengatakan, “ini sudah jalannya”. Tapi apa yang ada di balik itu? Sebuah kemunafikan besar, menggunakan ‘jalannya’ Tuhan untuk mengelak dan menempatkannya sebagai pembenar atas tindakan yang saya lakukan. Kenyataan ini seperti pecut yang menampar muka saya sendiri.

Dalam kondisi pikiran yang jernih, saya dapat mendengar suara dalam hati yang jelas-jelas mengatakan, “Aku tidak ingin menukar Tuhan dengan apapun!”. Sadarkah kita, kita seringkali mengabaikan suara hati ketika pikiran kita sedemikian fokus terhadap suatu target. Mungkin, ini jugalah yang disebut maya itu.

Saya sadar betul bahwa selalu ada konsekuensi dari tiap tindakan. Dan keputusan yang saya ambil adalah, saya mempertahankan keHinduan saya. Efeknya, saya tidak dapat melanjutkan hubungan saya dengan Fre, dan mungkin saya lagi-lagi mengecewakan Bapak, Ibu, adik-adik, serta segenap keluarga besar.

Saya menangis, tentu saja. Hati saya hancur kehilangan Fre, saya sedih melihat keluarga harus ikut menanggung dampak moral dan sosial atas tindakan yang saya lakukan. Tapi inilah keputusan saya. Dari pengalaman ini, saya percaya jodoh itu hasil perjuangan, bukan ketentuan Tuhan. Mengapa? Sebab, sebetulnya saya bisa memiliki Fre jika saya bersedia melakukan satu hal; melepaskan keHinduan saya. Namun tidak saya lakukan. Karena apa? Karena saya tidak mau. Itulah kuncinya.

Saudara-saudaraku sedharma, melalui catatan ini saya ingin berpesan pada Anda sekalian, terutama untuk temanteman yang sedang mencari pasangan hidup, yang sedang merantau di tengah lingkungan umat berkeyakinan lain, yang merasa berdiri sebagai minoritas, yang sedang mengalami sindrom rendah diri agama, atau bahkan bagi yang mungkin saat ini sedang menimbang-nimbang untuk pindah ke agama lain; sadarkah kita, Sanatana Dharma adalah permata yang dunia miliki. “Rahmatan Lil Alamin” (rahmat bagi sekalian alam) yang sesungguhnya, bukan hanya “Rahmatan Lil Hindu”. Brahman yang kita kenal adalah figur Tuhan yang tidak memilih, tidak pernah membeda-bedakan.

Mungkin, dari kalimat “tidak pernah membeda-bedakan”, saya bisa  menggunakannya sebagai dalih untuk pindah ke agama lain. Tapi dengan mengetahui kualitas Tuhan-Tuhan” dari agama lain itu, dengan tegas saya akan mengatakan, “Saya tidak mau memiliki Tuhan seperti itu!”. Om Ekam Evam Advityam Brahman. Hanya Brahman yang saya kenal sebagai sejatinya Tuhan. Tuhan bagi seluruh semesta, bukan hanya Tuhan satu kaum.

Teman, saya sungguh berharap catatan ini dapat memberikan sedikit manfaat bagi Anda yang membacanya. Saat ini, saya terus berusaha membuktikan pada keluarga bahwa keputusan saya memeluk Hindu bukanlah keputusan bodoh. Hindu telah merombak total mindset saya yang dulu penuh ego ahamkara.

Teman, banggalah menjadi seorang Hindu. Sebab kita tengah bernaung dalam ajaran induk dari semua ajaran. Saya yakin, setiap dari Anda pernah menghadapi situasi sulit yang memaksa Anda mengambil sebuah keputusan pahit. Tapi saya pun yakin, semuanya adalah proses untuk menjadikan kita lebih dewasa. Gita mengajarkan, orang bijak tidak terlalu terlarut dalam kesedihan ataupun kesenangan. Lihat sisi positif dari apapun yang kita hadapi. Daripada menyesali pintu yang sudah tertutup, bukankah lebih baik mencari pintu lain yang terbuka? Life must going on, apapun yang kita perjuangkan, karmapalanya akan kembali.

Mulai saat ini, semoga tidak pernah lagi terbesit dalam benak kita untuk cenderung menuding Tuhan atas apapun yang kita alami. Mulat sarira, rubah mindset Anda. Legowo menerima hasil dari perbuatan kita sendiri akan terasa jauh lebih melegakan sekaligus membentuk diri kita untuk lebih mampu bersikap ksatria. Mungkin benar, kita tidak tahu karma apa yang kita bawa dari masa lalu. Tapi minimal, kita bisa melihat hasil dari apa yang kita dapat merupakan hasil dari tindakan kita sekarang. Be positive, do positive. Tidak akan ada yang sia-sia. Om Santih Santih Santih Om.

**Tulisan ini telah dimuat/diposting di Website Media Hindu pada tanggal 26 Oktober 2010.

%d bloggers like this: