Kehidupan seksual pada zaman Veda pada umumnya adalah heteroseksual (antara laki-laki dan perempuan). Homoseksual di antara sesama lelaki dan perempuan, selengkapnya tidak dikenal dan bila mungkin ada kasus tersebut, kitab suci Veda tidak pernah menyebutkan. “In this respect ancient India was far healtier than most other ancient culture” demikian kata-kata A.L. Basham dalam bukunya The Wonder That Was India yang di kutip kembali oleh Ivo Fiser (1989:64) dan menambahkan tidak pula ada informasi tentang hubungan manusia dengan binatang (bestiofilia) yang tercatat dalam literatur Sanskerta seperti fakta yang umum pada peradaban kuna seperti halnya kehidupan para nomadic tribes di era modern ini.
Dari keterangan tersebut di atas dapat diketahui bahwa kehidupan seksual yang diamanatkan dalam kitab suci Veda adalah kehidupan seksual yang normal, antara laki-laki dan perempuan dalam ikatan perkawinan. Lebih jauh A.L. Basham (1992:172) mengatakan bahwa kehidupan seksual adalah hal yang positif sebagai tugas keagamaan, tugas suci (religius duty), yang diamanatkan pada suaminya untuk menggauli istrinya pada masa delapan hari setelah istrinya menstruasi.
Ivo Fiser pada halaman yang sama di atas menyatakan: “Acccording to a later Hindu conception, the sex nature of woman was superior to that of men. In the Vedic Samhita, married woman often took initiative in the intercource and were given full credit of it.
A woman (jaya) prepares her yoni for her husband (pati, filled with desire (usali) and beautifull attired (RV. IV.3.2). She gives herself to her lord willingly (RV. IX.82.4); she is the home (astam), she is the yoni (RV.III.53.4). The wives (janayah) beauty themselves (sumbhante)(RV.I.85.1) and we often find them rushing into the arms of their husbands and appearing befor them all their beauty. There also two kind woman (bhadre) caressing a man (josayete)(RV.95.6). Married woman reward a bold man (RV. I.62.10). Filled with desire, they caress (sprisanti) a desiring husband (RV. I. 6.11); they incite him as loving woman sexually incite their loves (RV.I.71.1). A wife (jaya), lying on a couch , is ready for anything (or anyone)(RV.I.66.5).
Dalam uraian yang lain A.L. Basham (1992:172) menyatakan orang India pada umumnya, seperti halnya di belahan bumi lainya, menganut azas perkawinan monogami dan poligami tidak dikenal dalam Rigveda. Para raja dan pemimpin umumnya dalam beberapa variasi ada yang berpoligami. Dalam situasi yang normal poligami tidak dianjurkan ke dalam literatur yang lebih tua. Dalam Apastamba Dharma Sutra (II.5.11) secara tegas melarang menghamili istri yang kedua, bilamana istri pertama memiliki karakter yang baik dan melahirkan beberapa anak. Dalam Narada Dharma Sutra (I.I90) dinyatakan seseorang yang melakukan poligami tidak pantas dinyatakan untuk hadir dalam sidang pengadilan (penegakkan hukum). Dalam Arthasaatra (III.2) dinyatakan bahwa pelaku poligami dianggap ceroboh, dan keduanya diwajibkan membayar kompensasi kepada istrinya yang pertama. Yang menjadi contoh atau model perkawinan yang ideal adalah perkawinan Rama dengan dewi Sita yang sangat setia, saling mencintai, tidak pernah terusik oleh adanya istri yang kedua.
Di dalam kitab suci Veda gejala atau fenomena alam sering disimbolisasikan sebagai aktivitas seksual. Hujan sering disebut sperma, cairan mani (retah) yang menyuburkan tanah (RV. I.100.3;128.3 dst., AV. IV.15.11). Parjanya, dewa hujan disebut menyimpan spermanya pada milik istrinya yang tampak seperti sapi jantan (RV. III.55.17). Ia disebut juga retodha atau yang melahirkan semua tumbuh-tumbuhan.(RV. VII.101.6; dst.III. 56.3; AV. VIII.7.21). Ia disebut juga yang memberi kesegaran (yang memuaskan) bumi dengan spermanya. Aktivitas penciptaan alam kadang-kadang digambarkan sebagai hubungan seksual antara Dyauh (Bapak langit) dengan Prthivi (Ibu langit). Ia menjadi basah diresapi (garbharasa) dan ditusuk (nividdha) olehnya (RV. I.164.8). Ide berpasangan dalam berhubungan dinyatakan dalam bentuk kata majemuk ‘dvandva’ yakni dyavaprthivi (Fiser, 1969:44). Sesungguhnya sangat banyak gejala alam (natural phenomenal) yang digambarkan sebagai seksual intercourse yang dampaknya memberikan kesuburan kepada bumi.
Berikut adalah beberapa pandangan kitab suci Veda terhadap seorang perempuan, istri atau wanita dan laki-laki:
- Seorang gadis hendaknya suci, hendaknya berbudi luhur dan berpengetahuan tinggi (AV. XI.1.27).
- Seorang gadis menentukan sendiri pria idaman calon suaminya (svayamvara/RV. X.27.12). Mempelai wanita sumber kemakmuran (RV. X.85.36).
- Seorang lelaki yang terlalu banyak mempunyai anak selalu menderita (RV. I.164.32).
Terjemahan mantra ini menunjukan bahwa bila lelaki tidak merencanakan keluarganya (istrinya terlalu banyak melahirkan, atau suami banyak punya istri dan anak) tentunya sangat menderita. Pengendalian nafsu seks juga mendapat perhatian dalam kitab suci Veda. Lebih lanjut seorang wanita dituntut untuk percaya kepada suami, dengan kepercayaannya itu (patibrata), seorang istri dan keluarga akan memperoleh kebahagiaan (AV. XIV.1.42).
Dalam perkembangan ketika muncul pemujaan kepada ‘lingga dan yoni’ yang diduga akarnya berasal dari masa pra–Veda, maka visualisasi ‘lingga dan yoni’ baik yang tersamar (distilir) maupun yang natural dan bahkan yang vulgar mulai tampak sesudah zaman Veda dan berkembang dalam berbagai aspek budaya (seni arca, lukis) dan sebaginya.
Semoga bermanfaat, Silahkan share:
Like this:
Like Loading...
Related
Recent Comments