Sistem kekeluargaan patrilineal (purusa) yang dianut oleh orang Bali-Hindu menyebabkan hanya keturunan berstatus kapurusa yang dianggap dapat mengurus dan meneruskan swadharma (tanggung jawab) keluarga, baik dalam hubungan dengan parahyangan (keyakinan Hindu), pawongan (umat Hindu), maupun palemahan (pelestarian lingkungan alam sesuai dengan keyakinan Hindu). Konsekuensinya, hanya keturunan yang berstatus kapurusa sajalah yang memiliki swadikara(hak) terhadap harta warisan, sementara keturunan yang berstatus pradana (perempuan), tidak mungkin dapat meneruskan swadharma, sehingga disamakan dengan orang yang meninggalkan tanggung jawab keluarga (ninggal kadaton), dan oleh karena itu, dianggap tidak berhak atas harta warisan dalam keluarga.

Image by: Made Batuan
Dalam perkembangannya, kenyataan dalam masyarakat menunjukkan bahwa ada orang ninggal kadaton tetapi dalam batas tertentu masih memungkinkan melaksanakan swadharma sebagai umat Hindu (ninggal kadaton terbatas), dan ada pula kenyataan orang ninggal kadaton yang sama sekali tidak memungkinkan lagi bagi mereka melaksanakan swadharma sebagai umat Hindu (ninggal kadaton penuh). Mereka yang dikategorikan ninggal kadaton penuh, tidak berhak sama sekali atas harta warisan, sedangkan mereka yang ninggal kadaton terbatas masih dimungkinkan mendapatkan harta warisan didasarkan atas asas ategen asuwun (dua berbanding satu). Mereka yang tergolong ninggal kadaton terbatas adalah sebagai berikut.
- Perempuan yang melangsungkan perkawinan biasa.
- Laki-laki yang melangsungkan perkawinan nyentana/nyeburin.
- Telah diangkat anak (kaperas sentana) oleh keluarga lain sesuai dengan agama Hindu dan hukum adat Bali.
- Menyerahkan diri (makidihang raga) kepada keluarga lain atas kemauan sendiri.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka Pasamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman Bali memutuskan mengenai kedudukan suami istri dan anak terhadap harta pusaka dan harta gunakaya sebagai berikut.
- Suami dan istrinya serta saudara laki-laki suami dan istrinya, mempunyai kedudukan yang sama dalam usaha untuk menjamin bahwa harta pusaka dapat diteruskan kepada anak dan cucunya untuk memelihara atau melestarikan warisan immateriil.
- Selama dalam perkawinan, suami dan istrinya mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta gunakaya-nya (harta yang diperoleh selama dalam status perkawinan).
- Anak kandung (laki-laki atau perempuan) serta anak angkat (laki-laki atau perempuan) yang belum kawin, pada dasarnya mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta gunakaya orangtuanya.
- Anak kandung (laki-laki atau perempuan) serta anak angkat (laki-laki atau perempuan) berhak atas harta gunakayaorangtuanya, sesudah dikurangi sepertiga sebagai duwe tengah (harta bersama), yang dikuasai (bukan dimiliki) oleh anak yang nguwubang (melanjutkan swadharma atau tanggung jawab) orangtuanya.
- Anak yang berstatus kapurusa berhak atas satu bagian dari harta warisan, sedangkan yang berstatuspradana/ninggal kadaton terbatas berhak atas sebagian atau setengah dari harta warisan yang diterima oleh seorang anak yang berstatus kapurusa.
- Dalam hal pembagian warisan, anak yang masih dalam kandungan mempunyai hak yang sama dengan anak yang sudah lahir, sepanjang dia dilahirkan hidup.
- Anak yang ninggal kadaton penuh tidak berhak atas harta warisan, tetapi dapat diberikan bekal (jiwa dana) oleh orangtuanya dari harta gunakaya tanpa merugikan ahli waris.
Sumber: Keputusan Majelis Utama Desa Pekraman(MUDP) Bali
Semoga bermanfaat, Silahkan share:
Like this:
Like Loading...
Related
Recent Comments