Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Daily Archives: July 26, 2012

Desa Kala Patra


Bagi umat Hindu istilah ini bukanlah asing lagi. Istilah ini disebut-sebut sebagai faktor berbedanya praktik ritual Hindu disetiap daerah/wilayah. Sehingga timbul kesan bahwa penerapan agama Hindu yang berhubungan dengan upacara agama tidak memiliki standar.

Sejarah kelahiran agama Hindu dengan segenap ajarannya sering digambarkan sebagai gelindingan bola salju. Begitu segenggam salju diluncurkan dari ketinggian gunung, bola salju yang semula kecil kian lama kian besar dan selama proses luncur segala hal yang dilintasi pun terbawa bersamanya. Arti dari gambaran memberikan pemahaman bahwa ajaran Hindu yang berintikan Weda dalam penerapan atau praktek pengalamannya sepanjang berhubungan dengan “di luar inti” yaitu hakekat (Tattwa Darsana) dapat menyesuaikan dan mengharmoniskan diri dengan kondisi setempat. Ibarat telur, inti telur semuanya berwarna kuning, tetapi soal kulitnya berbagai warna telur dapat dijumpai. Bagi Hindu bukan kulit atau keanekaragaman pengalaman yang mutlak melainkan intisari ajaran yang mengacu pada Weda. Itulah sebabnya tidak ada kata “baku” dalam agama Hindu. Pijakan pelaksanaan agama Hindu bukan saja Weda dengan Sruti dan Smrtinya tetapi juga berpegangan pada sila(teladan prilaku orang-orang suci), Acara(tradisi/adat) dan Atmanastuthi(ketetapan hati/kepuasan bathin).

Umat Hindu yang memiliki tingkat pengetahuan, pemahaman dan penghayatan terhadap ajaran Weda dapat menjadikan salah satu pijakan/pegangan diatas sebagai wujud nyata dalam melaksanakan kewajiban agamanya. Di dalam Bhagawadgita dijelaskan ada 4(empat) jalan untuk merealisasikan sikap keagamaan umat Hindu yang disebut dengan Catur Marga, antara lain:

  • Bagi yang memiliki tingkat rohani atau spiritual yang tinggi dapat mewujudkan sikap religiusnya dengan menempuh Raja Marga, misalnya: dengan melakukan “tapa-brata-yoga-semadhi”.
  • Untuk yang merasa tinggi tingkat ilmu pengetahuannya bisa mewujudkan bhaktinya kepada Hyang Widhi dengan jalan Jnana Marga.
  • Dan bagi sebagian besar umat yang hanya merasa sebagai pelaku dan pencinta Tuhan, maka cara sederhana, alamiah dan penuh simbol dapat dilakukan dengan Karma dan Bhakti Marga.

Inilah yang menjadi dasar bervariasinya bentuk-bentuk ritualitas pelaksanaan upacara agama Hindu. Karena setiap wilayah/tempat(desa),waktu(kala), dan situasi/kondisi(patra) membuat beraneka ragamnya bentuk-bentuk ritual yang dilakukan.

Jadi, yang bersifat baku adalah yang berhubungan dengan intisari ajaran yang bersumber pada Weda, sedangkan pengalaman ajaran Weda sesuai dengan Catur Marga, tergantung pada tingkat kerohanian umat untuk siap melakukannya. Singkatnya agama Hindu bukan agama tidak mensyaratkan patokan baku/standar/dogma yang bersifat total tetapi hanya berkenaan dengan hal-hal essensial dimana untuk melaksanakannya pun tetap berpijak pada kondisi lokal(desa-kala-patra)

sumber: pustaka bali post.

 

 

 

Merajan


Sebagai masyarakat Hindu Bali kita tentu tidak asing dengan istilah Sanggah Pamerajan, berasal dari kata: Sanggah, artinya Sanggar/tempat suci; Pamerajan berasal dari Praja yaitu keluarga. Jadi Sanggah Pamerajan artinya  tempat suci bagi suatu keluarga tertentu. Untuk singkatnya orang menyebut secara pendek : Sanggah, atau Merajan. Tidak berarti bahwa Sanggah untuk orang Jaba, sedangkan Merajan untuk Triwangsa. Yang satu ini kekeliruan di masyarakat sejak lama, perlu diluruskan.

Menurut bentuknya Sanggah Pamerajan, ada tiga versi:

a Yang dibangun mengikuti konsep Mpu Kuturan Trimurti maka pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah pelinggih Kemulan (Rong Tiga, Dua, Satu), tidak mempunyai pelinggih Padmasana/ Padmasari.
b Yang dibangun mengikuti konsep Danghyang Nirarta Tripurusha maka pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah pelinggih Padmasana/ Padmasari, sedangkan pelinggih Kemulan tidak berada di Utama Mandala
c Kombinasi keduanya biasanya dibangun setelah abad ke-14, maka pelinggih Padmasana/ Padmasari tetap di ‘hulu’, namun di sebelahnya ada pelinggih Kemulan

Trimurti, adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Ang – Ung – Mang (AUM = OM) atau Brahma, Wisnu, Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi horizontal, dimana Brahma di arah Daksina, Wisnu di Uttara, dan Siwa di Madya.

Tripurusha, adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi vertikal, dimana Parama Siwa yang tertinggi kemudian karena terpengaruh Maya menjadilah Sada Siwa, dan Siwa.

Yang mana yang baik/ tepat ?

  1. Menurut keyakinan anda masing-masing.
  2. Namun ada acuan, bahwa konsep Mpu Kuturan disebarkan di Bali pada abad ke-11. Konsep Danghyang Nirarta dikembangkan di Bali sejak abad ke-14, berdasarkan wahyu yang diterima beliau di Purancak/ Jembrana.
  3. Memakai kedua konsep, atau kombinasi a dan b adalah yang tepat karena kita menghormati kedua-duanya, dan kedua-duanya itu benar, mengingat Sanghyang Widhi ada di mana-mana, baik dalam kedudukan horizontal maupun dalam kedudukan vertikal.

Namun demikian tidaklah berarti Sanggah Pamerajan yang sudah kita warisi berabad-abad lalu dibongkar, karena dalam setiap upacara, toh para Sulinggih sudah ‘ngastiti’ Bhatara Siwa Raditya (Tripurusha) dan juga Bhatara Hyang Guru (Trimurti)

1. Sanggah Pamerajan dibedakan menjadi 3 :

  1. Sanggah Pamerajan Alit (milik satu keluarga kecil)
  2. Sanggah Pamerajan Dadia (milik satu soroh terdiri dari beberapa ‘purus’ (garis keturunan)
  3. Sanggah Pamerajan Panti (milik satu soroh terdiri dari beberapa Dadia dari lokasi Desa yang sama),

2. Pelinggih di Sanggah Pamerajan :

a Sanggah Pamerajan Alit
  • Padmasari
  • Kemulan Rong Tiga
  • Taksu
b Sanggah Pamerajan Dadia
  • Padmasana
  • Kemulan Rong Tiga
  • Limas Cari
  • Limas Catu
  • Manjangan Saluang
  • Pangrurah
  • Saptapetala
  • Taksu
  • Raja Dewata
c Sanggah Pamerajan Panti Sanggah Pamerajan Dadia ditambah dengan Meru atau Gedong palinggih Bhatara Kawitan

Palinggih-palinggih lainnya yang tidak teridentifikasi seperti tersebut di atas, disebut ‘pelinggih wewidian’ yaitu pelinggih yang berhubungan dengan sejarah hidup leluhur di masa lampau, misalnya mendapat paica, atau kejumput oleh Ida Bhatara di Pura lain, misalnya dari Pura Pulaki, Penataran Ped, Bukit Sinunggal, dll, maka dibuatkanlah pelinggih khusus berbentuk limas atau sekepat sari.

Pada beberapa Sanggah Pamerajan sering dijumpai pelinggih wewidian ini jumlahnya puluhan, berjejer. Namun disayangkan karena leluhur kita di masa lampau terkadang lupa menuliskan riwayat hidup beliau, sehingga keturunannya sekarang banyak yang tidak tahu, pelinggih apa saja yang ada di Sanggah Pamerajannya.

Pelinggih-pelinggih umum yang terdapat di Sanggah Pamerajan adalah stana dalam niyasa Sanghyang Widhi dan roh leluhur yang dipuja :

1 Padmasana/ Padmasari Sanghyang Tri Purusha, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa.
2 Kemulan rong tiga Sanghyang Trimurti, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Brahma – Wisnu – Siwa atau disingkat Bhatara Hyang Guru. Ada juga kemulan rong 1 (Sanghyang Tunggal), rong 2 (Ardanareswari), rong 4 (Catur Dewata), rong 5 (Panca Dewata)
3 Sapta Petala Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai pertiwi dengan tujuh lapis : patala, witala, nitala, sutala, tatala, ratala, satala. Sapta petala juga berisi patung naga sebagai symbol naga Basuki, pemberi kemakmuran.
4 Taksu Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Bhatari Saraswati (sakti Brahma) penganugrah pengetahuan.
5 Limascari dan limascatu Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai ardanareswari : pradana – purusha, rwa bhineda.
6 Pangrurah Sanghyang Widhi sebagai manifestasi Bhatara Kala, pengatur kehidupan dan waktu.
7 Manjangan Saluwang pelinggih sebagai penyungsungan Mpu Kuturan, mengingat jasa-jasa beliau yang mengajegkan Hindu di Bali.
8 Raja-Dewata pelinggih roh para leluhur (dibawah Bhatara Kawitan)

Trend Kamar Suci Umat Hindu


Banyak umat Hindu yang mampu secara financial membuat sebuah kamar khusus untuk melakukan persembahyangan yang trend disebut kamar suci. Apa beda merajan dengan kamar suci? jika ada yang disebut kamar suci, lalu kamar yang lainnya yang letaknya bersebelahan (hanya dipisahkan oleh tembok) yang juga dipasang pelangkiran, tidak dianggap suci??

Suci atau tidak suci, sesungguhnya siapakah yang tahu? adakah manusia biasa yang mampu menilai? yang jelas, secara umum dalam pandangan awam, pura atau tempat ibadah digolongkan tempat suci. Sedangkan rumah bukanlah sebagai tempat suci. Begitu pula sebuah keris, tombak atau barong yang ditempatkan di pura termasuk benda suci berbeda jika benda-benda tersebut terpajang di art shop maka benda-benda tersebut bukanlah benda suci. Proses pembuatan suatu benda sering dipakai sebagai ukuran kesucian suatu benda atau tempat. Jika pada proses pembuatanya dilakukan upacara khusus atau sakralisasi maka benda atau tempat tersebut bisa dikatakan suci. Banyak umat yang hanya bisa melihat sebatas ini.

Terlepas dari pengertia suci, adanya trend mendirikan kamar suci merupakan fenomena yang menarik. Banyak hal-hal positif yang terkandung didalamnya. Merajan memang merupakan tempat sembahyang atau tempat melakukan pemujaan, namun merajan sering dipandang sebagai tempat pemujaan roh leluhur keluarga yang bersangkutan. Sehingga ada orang yang tidak mau sembahyang di merajan orang lain. Kamar suci dipandang sebagai hal yang lebih pas jika ada tamu yang datang ke sebuah keluarga dan ingin bersembahyang.

Mendirikan kamar suci sepanjang untuk meningkatkan spiritual dan tidak mengganggu orang lain bukan suatu hal yang salah, namun kamar suci bukanlah sebuah keharusan tapi tidak salah jika dibuat. Merajan tidak harus dibuat jika dilihat dari filosofis. misalnya sebuah keluarga yang tinggal di rumah susun.

Umat Hindu diluar etnis Bali lebih-lebih yang tinggal diluar pulau Bali banyak yang tidak membuat merajan, hal ini tidak dapat dipandang bahwa mereka tidak melakukan pemujaan terhadap Tuhan dan Leluhur. Merajan atau tempat suci apapun namanya, hanyalah benda budaya sebagai media untuk melakukan pemujaan. Karena berupa media boleh ada boleh juga tidak. Disini faktor budaya sangat mendukung, jika umat Hindu di jawa mendirikan merajan disetiap rumahnya mungkin tetangga sesama umat Hindu akan bertanya. namun jika umat Hindu di Bali tidak mendirikan merajan di rumah juga pasti akan di pertanyakan tetangga kiri kanan. Jadi faktor desa-kala-patra sangat menentukan kehidupan beragama seseorang.

Kualitas spiritual seseorang tidak dapat dinilai dari megahnya pemerajan atau mewahnya kamar suci. Pada akhirnya kualitas seseorang bisa dilihat dari tingkah lakunya.

Sumber: pustaka bali post.

%d bloggers like this: