Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Daily Archives: July 19, 2012

Landasan Filosifis Ngaben


ngaben, sumber foto: iwandaniels

Manusia terdiri dari dua unsur yaitu Jasmani dan Rohani. Menurut Agama Hindu manusia ituterdiri dari tiga lapis yaitu Raga Sarira, Suksma Sarira, dan Antahkarana Sarira. Raga Sarira adalah badan kasar. Badan yang dilahirkan karena nafsu (ragha) antara ibu dan bapak. Suksma Sarira adalah badan astral, atau badan halus yang terdiri dari alam pikiran, perasaan, keinginan, dan nafsu (Cinta, Manah, Indriya dan Ahamkara). Antahkarana Sarira adalah yang menyebabkan hidup atau Sanghyang Atma (Roh).Ragha sarira atau badan kasar manusia terdiri dari unsur panca mahabhuta yaitu prthiwi, apah, teja, bayu, dan akasa. Prthiwi adalah unsur tanah, yakni bagian-bagian badan yang padat, apah adalah Zat Cair, yakni bagian-bagian badan yang cair ; seperti darah, kelenjar, keringat, air susu dll. Teja adalah api yakni panas badan (suhu), emosi. Bayu adalah angin, yaitu nafas. Dan yang Akasa adalah ether, yakni unsur badan yang terhalus yang menjadikan rambut, kuku.

Proses terjadinya Ragha Sarira atau badan kasar adalah sebagai berikut : sari-sari Panca Maha Bhuta yang terdapat pada berbagai jenis makanan terdiri dari enam rasa yang disebut sad rasa yaitu Madhura (manis), Amla (asam), Tikta (pahit), Kothuka (pedas) , kyasa (sepet) dan lawana (asin). Sad rasa tersebut dimakan dan diminum oleh manusia, dimana didalam tubuh diproses disamping menjadi tenaga, ia menjadi kama. Kama bang (Ovum / sel telur) dan kama putih (sperma). Dalam pesanggamaan kedua kama ini bertemu dan bercampur melalui pengentalan menjadilah ia janin, badan bayi. Sisanya menjadi air nyom, darah lamas (kakere) dan ari-ari.Percampuran kedua kama ini dapat menjadi janin, bilamana atma masuk atau turun kedalamnya. Konon atma ini masuk kedalam unsur kama yang bercampur ini, ketika ibu dan bapak dalam keadaan lupa, dalam asyiknya menikmati rasa. Disamping Panca Maha Bhuta yang kemudian berubah menjadi janin ikut juga Panca Tan Matra, yakni benih halus dari Panca Maha Bhuta itu. Panca Tan Matra ini dalam janin bayi juga memproses dirinya menjadi Suksma Sarira, yakni Citta, Manah, Indriya dan Ahamkara. Citta terdiri dari tiga unsur yaitu disebut Tri Guna, yaitu Sattwam, Rajas, Tama. Ketiga unsur ini membentuk akhlak manusia. Manah adalah alam pikiran dan perasaan, indriya alam keinginan dan ahamkara adalah alam keakuan. Unsur-unsur tersebut disebut Suksma Sarira. Alam transparan ini dapat merekam dan menampung hasil-hasil yang dikerjakan oleh badan atas pengendali Citta tadi. Bekas-bekas ini nantinya merupakan muatan bagi si Atma (roh) yang akan pergi ke alam pitra.Ketika manusia itu meninggal Suksma Sarira dengan Atma akan pergi meninggalkan badan. Atma yang sudah begitu lama menyatu dengan Sarira, atas kungkungan Suksma Sarira, sulit sekali meninggalkan badan itu. Padahal badan sudah tidak dapat difungsikan, lantaran beberapa bagiannya sudah rusak. Hal ini merupakan penderitaan bagi Atma (roh).Untuk tidak terlalu lama atma terhalang perginya , perlu badan kasarnya di upacarakan untuk mempercepat proses kembalinya kepada sumbernya dialam yakni Panca Maha Bhuta. Demikian juga bagi sang atma perlu dibuatkan upacara untuk pergi ke alam pitra dan memutuskan keterikatannya dengan badan kasarnya. Proses inilah yang disebut Ngaben.

ngaben

Kalau upacara ngaben tidak dilaksanakan dalam kurun waktu yang cukup lama, badan kasarnya akan menjadi bibit penyakit, yang disebut Bhuta Cuwil, dan Atmanya akan mendaptkan Neraka, seperti dijelaskan :“Yan wwang mati mapendhem ring prathiwi salawasnya tan kinenan widhi-widhana, byakta matemahan rogha ning bhuana, haro haro gering mrana ring rat, etemahan gadgad”Artinya“kalau orang mati ditanam pada tanah, selamnya tidak diupacarakan diaben, sungguhnya akan menjadi penyakit bumi, kacau sakit mrana di dunia, menjadi gadgad (tubuhnya)….”(lontar Tatwa Loka Kertti, lampiran 5a).

Landasan pokok ngaben adalah lima kerangka agama Hindu yang disebut Panca Sradha atau lima keyakinan itu adalah :Ketuhanan / Brahman : Brahman merupakan asal terciptanya alam semesta beserta isinya, termasuk manusia. Beliau juga merupakan tujuan akhir kembalinya semua ciptaan itu. Dalam Kekawin Arjuna Wiwaha dirumuskan secara singkat dengan kalimat Sang Sangkan Paraning Dumadi artinya beliau sebagai asal dan kembalinya alam semesta beserta semua isinya. Berdasarkan atas keyakinan inilah, upacara tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengembalikan semua unsur yang menjadikan manusia ke asalnya. Sebagaimana juga tujuan dari Agama Hindu yaitu Moksartham Jagad Hita Ya Ca Iti Dharma yang berarti bahwa tujuan tertinggi agama Hindu adalah mencapai Moksa. Dimana Moksa dapat diartikan sebagai proses menyatunya Atma dengan Brahman atau dengan istilah Atman Brahman Aikyam, konsep Agama Hindu adalah untuk kembali menyatu dengan sang pencipta (Brahman / Tuhan), dimana Tuhan merupakan asal semua kehidupan.Atman (roh) : Keyakinan akan adanya Atma pada masing-masing badan manusia. Ia yang menghidupkan semua mahkluk termasuk manusia. Atma merupakan setetes kecil (atum) dari Brahman. Suatu sat setelah tiba waktunya, ia pun akan kembali kepada asalnya yang suci, atma perlu disucikan. Hal inilah yang memerlukan upacara.Karma : Manusia hidup tidak bisa lepas dari kerja. Kerja itu ada atas dorongan suksma sarira (Budi, Manah, Indria, dan Aharalagawa) setiap kerja akan berpahala. Kerja yang baik (Subha karma) berpahala baik pula. Kerja yang buruk (Asubha karma) akan berakibat keburukan pula. Pahala karma ini akan menjadi beban atma akan kembali keasalnya. Lebih-lebih buah karma yang buruk. Ia merupakan beban atma yang akan menghempaskan ke alam bawah (Neraka). Oleh karena itu manusia perlu berusaha untuk membebaskannya. Bagi para Yogi ia mampu membebaskan dosa-dosanya tanpa bantuan sarana dan prasarana orang lain. Tapi bagi manusia biasa, ia memerlukan pertolongan. Hal-hal inilah yang menyebabkan perlunya upacara Ngaben itu, yang salah satu aspeknya akan menebus dan menyucikan dosa-dosa itu.Samsara : artinya penderitaan. Atma lahir berulang-ulang ke dunia ini. Syukur kalau lahirnya menjadi manusia utama, atau setidak-tidaknya menjadi manusia. Adalah sangat menderita kalau lahir menjadi binatang. Oleh karena itu perlu dilaksanakan upacara ngaben, yang salah satu tujuannya adalah untuk melepaskan atma untuk dapat kembali ke asalnya. Hal ini disimbolkan dengan tirtha pangentas dan aksara-aksara kelepasan lainnya seperti rurub kajang, recedana, dan lain-lain.Moksa : artinya kebahagiaan abadi. Inilah yang menjadikan tumpuan harapan semua manusia. Dan inilah menjadi tujuan Agama Hindu. Demi tercapainya moksa itu, atma harus disucikan. Dosa-dosanya harus dibebaskan. Keterikatannya dengan duniawi harus diputus, kemudian terakhir Ia harus dipersatukan dengan sumbernya. Inilah menjadi konsep dasar upacara ngaben, memukur dan terakhir Ngalinggihang Dewa Hyang pada sanggah Kamulan atau Ibu Dengen. Hal ini mengandung arti Atma bersatu dengan sumbernya (Kamulan Kawitan) atau kata lain mencapai Moksa (kendatipun ini hanyalah usaha dan khayalan pretisantana).

Ngaben


Pengertian Ngaben secara umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran mayat, kendatipun dari asal-usul etimologi, itu kurang tepat. Sebab tradisi ngaben tidak selalu dilakukan pembakaran mayat. Ngaben sesungguhnya berasal dari kata beya artinya biaya atau bekal, kata beya ini dalam kalimat aktif (melakukan pekerjaan) menjadi meyanin. Kata meyanin sudah menjadi bahasa baku untuk menyebutkan upacara sawa wadhana. Boleh juga disebut Ngabeyain. Kata ini kemudian diucapkan dengan pendek, menjadi ngaben. Ngaben atau meyanin dalam istilah baku lainnya yang disebut-sebut dalam lontar adalah atiwa-atiwa. Kata atiwa inipun belum dapat dicari asal usulnya kemungkinan berasal dari bahasa asli Nusantara (Austronesia), mengingat upacara sejenis ini juga kita jumpai pada suku dayak, di kalimantan yang disebut tiwah. Demikian juga di Batak kita dengar dengan sebutan tibal untuk menyebutkan upacara setelah kematian itu.Upacara ngaben atau meyanin, atau juga atiwa-atiwa, untuk umat Hindu di pegunungan Tengger dikenal dengan nama entas-entas. Kata entas mengingatkan kita pada upacara pokok ngaben di Bali. Yakni Tirta pangentas yang berfungsi untuk memutuskan hubungan kecintaan sang atma (roh) dengan badan jasmaninya dan mengantarkan atma ke alam pitara.

Image: Koleksi Pribadi, Ngaben di Sandakan, Petang Badung

Dalam bahasa lain di Bali, yang berkonotasi halus, ngaben itu disebut Palebon yang berasal dari kata lebu yang artinya prathiwi atau tanah. Dengan demikian Palebon berarti menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah itu ada dua cara yaitu dengan cara membakar dan menanamkan kedalam tanah. Namun cara membakar adalah yang paling cepat.Tempat untuk memproses menjadi tanah disebut pemasmian dan arealnya disebut tunon. Tunon berasal dari kata tunu yang berarti membakar. Sedangkan pemasmian berasal dari kata basmi yang berarti hancur. Tunon lain katanya adalah setra atau sema. Setra artinya tegal sedangkan sema berasal dari kata smasana yang berarti Durga. Dewi Durga yang bersthana di Tunon ini.Diantara pendapat diatas, ada satu pendapat lagi yang terkait dengan pertanyaan itu. Bahwa kata Ngaben itu berasal dari kata “api”. Kata api mendapat presfiks “ng” menjadi “ngapi” dan mendapat sufiks “an” menjadi “ngapian” yang setelah mengalami proses sandi menjadi “ngapen”. Dan karena terjadi perubahan fonem “p” menjadi “b” menurut hukum perubahan bunyi “b-p-m-w” lalu menjadi “ngaben”.

Dengan demikian kata Ngaben berarti “menuju api”.Adapun yang dimaksud api di sini adalah Brahma (Pencipta). Itu berarti atma sang mati melalui upacara ritual Ngaben akan menuju Brahma-loka yaitu linggih Dewa Brahma sebagai manifestasi Hyang Widhi dalam Mencipta (utpeti).Sesungguhnya ada dua jenis api yang dipergunakan dalam upacara Ngaben yaitu Api Sekala (kongkret) yaitu api yang dipergunakan untuk membakar jasad atau pengawak sang mati dan Api Niskala (abstrak) yang berasal dari Weda Sang Sulinggih selaku sang pemuput karya yang membakar kekotoran yang melekati sang roh. Proses ini disebut “mralina”.Di antara dua jenis api dalam upacara Ngaben itu, ternyata yang lebih tinggi nilainya dan mutlak penting adalah api niskala atau api praline yang muncul dari sang Sulinggih. Sang Sulinggih (sang muput) akan memohon kepada Dewa Siwa agar turun memasuki badannya (Siwiarcana) untuk melakukan “pralina”. Mungkin karena api praline dipandang lebih mutlak/penting, dibeberapa daerah pegunungan di Bali ada pelaksanaan upacara Ngaben yang tanpa harus membakar mayat dengan api, melainkan cukup dengan menguburkannya. Upacara Ngaben jenis ini disebut “bila tanem atau mratiwi”.

Jadi ternyata ada juga upacara Ngaben tanpa mengunakan api (sekala). Tetapi api niskala/api praline tetap digunakan dengan Weda Sulinggih dan sarana tirtha praline serta tirtha pangentas.Lepas dari persoalan api mana yang lebih penting. Khusus tentang kehadiran api sekala adalah berfungsi sebagai sarana yang akan mempercepat proses peleburan sthula sarira (badan kasar) yang berasal dari Panca Mahabutha untuk menyatu kembali ke Panca Mahabhuta Agung yaitu alam semesta ini. Proses percepatan pengembalian unsure-unsur Panca Mahabhuta ini tentunya akan mempercepat pula proses penyucian sang atma untuk bisa sampai di alam Swahloka (Dewa Pitara) sehingga layak dilinggihkan di sanggah/merajan untuk disembah. Tentunya setelah melalui upacara “mamukur” yang merupakan kelanjutan dari “Ngaben”.

I Kedis Gelatik


Ade tuturan satua kedis gelatik ajake nyama nyamane ane ngelah sebun di garasi. Dina anu, meme bape i kedis gelatik makeber ngalain sebunne ngalih amahan bange ken panak panak ne, jek kakaina panak panakne ento pedidian.

Buin kejepne Bapa Gelatik mebalik kesebunne.

“Ade ape ne?” petakon Bapa Gelatik, “nyen ane nyakitin cai cening? adi masemu takut keto!”

“Imi, Bapa,” panakne masaut, “ada raksasa gede tur jele mara teka ngenahne galak muah aeng, ye ningalin sebunne ene nganggon matane ane gede. Tiang takut gati!”

“Sajan?” Bapa Gelatik metakon buin, “Kija lakuna magedi ye?”

“Anu … kemu je asane pa!” panak-pamak gelatik mesaut.

“Nah antosan dini!” pituduh Bapa Gelatik, “lakar uber bape ye, de getap nah cening, lakar cak cak bape ye.”

Disubane neked di pengkolan ane katuju, sujatine ditu ade singa ane sedek majalan.

Sakewala i Bapa Gelatik sing takut. Iye mekeber tur enceg di tundun ne i singa lantas majeritan. “Anak ngujang cai mare teka ke sebun cange,” petakon i Bapa Gelatik, “Ngujan cai ngaru ngaruin panak-panak cange?” I singa sing ngerunguang lantas buin majalan.

Ento makada i Bapa Gelatik buin gedeg tur ngerasang majeritan. “Anak cai sing ada urusan ditu nawang! yen buin tawang cang ci kemu,” betne, “nah tingalin dogen nyanan buin yang nak sujatine sing bekite ngetoang,” ye buin mamunyi tur menekang batisne abesik, “yang lakar ngelungan tundun caine aji batis yange.”

Suud ento i Bapa Gelatik buin mewali ke sebunne.

“Nah sube peragat cening,” buin ye mamunyi, “Bapa sube nyak cak raksasane ento. Sing bani apa ye buin mai.”

 

 

 

%d bloggers like this: