Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Tag Archives: desa kala patra

Dudonan Upacara Memandikan Layon


BARU MENINGGAL(WAU LAMPUS)

  • Layon atau Sawa diletakkan di Bale layon dengan posisi kepala ke Ulu, yang termasuk ulu teben menurut konsep Rwabhineda adalah Barat dan Utara termasuk teben, Timur dan Selatan termasuk Ulu menurut perhitungan Bali Utara, sedangkan menurut perhitungan Bali Selatan, Timur dan Utara termasuk Ulu, Selatan dan Barat termasuk teben. Namun dalam Bahasa Bali Kaja, Kangin termasuk ulu sedangkan Kauh dan Kelod termasuk teben. Baru meninggal(Pegat Angkihan)patut diiringi dengan Doa/Mantram Pujantaka sebagai berikut:

OM SVARGANTU, MOKSANTU,SUNYANTU, MURCYANTU.

OM KSAMA SAMPURNA YA NAMAH SVAHA.

Artinya: Tuhan, semoga atmanya mendapat sorga bisa manunggal denganMu, mencapai keheningan, Tuhan ampunilah dia, Hormat kami kepadaMu yang Maha Sempurna.

  • Disamping Layon diletakkan sekedar suguhan berupa nasi, minuman, buah-buahan, jajan dll.

MEMANDIKAN LAYON(SAWA)

  • Sebelum dibawa ketempat pemandian terlebih dahulu diadakan upacara nanginin dengan menumandangkan kidung Pitra Yadna.
  • Peratalan mandi seperti sabun, pepaga, lulur dll hendaknya sudah disiapkan.
  • Kepala layon di Ulu, Leluhur dipasang diatas tempat memandikan serta peralatan lainnya ditempatkan di Ulu.
  • Pemimpin upacara membuka penutup dibagian kepala dengan menarik kearah leher serta mulai melakukan serangkaian pabersihan(sawa Preteka).

RANGKAIAN UPACARANYA:

  1. Memasang penutup kemaluan(tekep bhaga purus) oleh putra-putri atau keluarga terkecil dari yang diupacarai.
  2. Keramas(mambuh)dari bejekan daun pucuk, setelah itu baru dengan air tawar, disisir dengan suwah petat dengan mantram: OM BANYU KALAMUKAN BANYU PATRA PASAMAUH PAPA KLESA DANDA UPATA YA NAMAH SVAHA. Artinya: Tuhan, semoga air yang dipakai berkeramas dapat menghilangkan papa klesa danada dan upata. Setelah itu dilanjutkan dengan membilas dengan air kumkuman(kemudian diberi minyak wangi)
  3. Mencuci mulut atau berkumur dengan air biasa, setelah itu membersihkan giginya dengan sisig yang dibuat dari jaja gina yang dibakar, arengnya dipakai sebagai sisig dengan Mantram: OM WAJA SUDHA SPATHIKA PUSPADANTA YA NAMAH SVAHA.
  4. Cuci muka dengan air biasa, lalu diberikan bedak dari gamongan setelah kering, dengan Mantram: OM PARI PURNA YA NAMA SVAHA. Artinya: Tuhan, dengan bedak ini semoga menjadi sempurna.
  5. Sekujur tubuh dibersihkan dengan air biasa, kemudian diberi bedak atau boreh dengan bedak isen, dan kakinya dengan boreh kunyit, lalu meblanyoh putih kuning dibuat dari beras putih dan kuning. Beras putih untuk diatas dari muka ke kepala, beras kuning untuk dibawah dari leher ke kaki, serta makerik kuku tangan dan kaki dibungkus dengan daun sirih diletakkan di papaga, dengan Mantram: OM ASUCHIRWA SUCHIRWYAPI, SARWAKAMA GATOPIWAM, CHINTHAYED DEWAM ISANAM, SABAHYA BYANTARA SUCHIH. Artinya: Bila seseorang sudah suci atau tidak asal ia menghilangkan segala keinginan ketika ia memusatkan pikiran kepada Hyang Widhi, maka sucilah ia.
  6. Tubuh layon yang masih basah dikeringkan dengan kain putih atau kapas sampai kering terus tikar penggulungan diganti, disertai Mantram: OM SIKAPA PAMULUNE SANG WUS LAMPUS, LEMPUNG LEMUH YA NAMAH SVAHA. Artinya: Tuhan, semoga yang diupacarai putih dan lembut.
  7. Mesalin Busana.
  8. Meletakkan bantal kemudia mesasad dengan telur ayam, sabut kelapa, alang-alang yang dijepit dengan lidi dari ujung rambut sampai ujung kaki, Mantramnya: OM ANDA PAMARISUDHA SARWA BHUTA YA NAMAH SVAHA. Artinya: Tuhan, semoga dengan telur ini yang suci ini segala bhuta kala ruwat.
  9. Diperciki air kumkuman, tirtha panglukatan dan tirtha pangringkes.
  10. Melakukan persembahyangan sebagai penghormatan kepada layon.
  11. Memasang itik-itik.
  12. Mengenakan tekep bhaga/purus yang baru serta monmon dimulut.

MEMASANG KWANGEN

  1. Ubun-ubun, 1 buah kewangen + 11 uang kepeng
  2. Tangan kiri, 1 buah kewangen + 5 uang kepeng
  3. Tangan Kanan, 1 buah kewangen + 5 uang kepeng
  4. Dada, 1 buah kewangen + 11 uang kepeng
  5. Ulu Hati, 1 buah kewangen + 11 uang kepeng
  6. Kaki kiri, 1 buah kewangen + 5 uang kepeng
  7. Kaki Kanan, 1 buah kewangen + 5 uang kepeng
  8. Lambung kanan, 8 buah kewangen + 15 uang kepeng
  9. Lambung kiri, 8 buah kewangen + 15 uang kepeng
  10. Bantal tanpa kewangen dengan uang kepeng sebanyak 225 kepeng.

MEMASANG/MENGENAKAN WEWALUNGAN

  1. Cermin dipasang dikedua mata.
  2. Baja(waja) dipasang pada gigi.
  3. Daun Intaran dipasang di kening
  4. Daun Delem dipasang di pipi
  5. Bunga menuh dipasang di hidung.
  6. Bunga kelor dipasang di taring.
  7. Sebilah besi/paku dipasang pada kedua kaki.
  8. Lekesan sirih hitam di jeriji kedua tangan
  9. Lekesan sirih putih di jeriji kedua kaki.
  10. Daun tunjung di kemaluan wanita
  11. Lengis kapur anggen anget-anget
  12. Gempong(empol kelapa) dipakai menyembur sesuai arah mata angin(Timur, Selatan, Barat, Utara, Tengah, Atas, Bawah)
  13. Angkeb rai dipasang di wunwunan atau muka.
  14. Digulung terus meruruh
  15. Macek tikeh
  16. Ngeringkes terus memasukkan ke peti sawa.

NGERINGKES

Setelah dudonan upacara memandikan layon selesai dilakukan, selanjutnya dilakukan Ngeringkes Sawa dengan Mantram: OM SANG HYANG NILAGANDA ASRI PUDAK KASTURI, SANG HYANG GANDASONA ASARI MENUH ANGSANA, SANG HYANG PUDAK SATEGAL ASARI GAMBIR ERMAYA, GANDA LEPAS MULIH MARING DEWA, BAYU LEPAS MULIH MARING NILAWATI, BAYU SABDA IDEP TITIJATI PRALINA. Artinya: Nilaganda bersari bunga pudak sategal, gandasona bersari bunga menuh angsana, bunga pudak seladang bersari gambir ermaya, bahu lepas kembali kepada Dewa, Tenaga lepas kembali kepada Nilawati, Tingkah laku, Ucapan dan Pikiran merupakan jembatan sejati untuk menuju alam baka pralina.

Apabila sawa tidak langsung dikuburkan atau diaben, sawa tersebut disemayamkan di Bale Sawa. Perlu diingat bahwa dudonan upacara memandikan layon tentu berbeda disetiap desa sesuai dengan Desa, Kala, Patra dan Kula Dresta. Terlepas dari perbedaan tersebut semoga tulisan ini bermanfaat.

Sumber:

  1. Upadesa, PHDI
  2. Sawa Prateka, Ida Pedanda Made Kemenuh
  3. Lontar Eedan Upacara; Gedong Kertya Singaraja.

Meluruskan Pengertian Desa-Kala-Patra


Daatavyam iti yad daanam
diyate ‘nupakaarine.
desa kala ca paatre ca.
tad daanam saatvikam smrtam.

(Bhagavad Gita XVII.20)

Maksudnya: Dana punia yang diberikan dengan tulus ikhlas dengan tidak mengharapkan hasilnya, diyakini sebagai kewajiban suci dan diberikan sesuai dengan aturan setempat (desa), pada waktu yang tepat (kala) dan diberikan kepada orang yang tepat (patra). Pemberian yang demikian itu disebut Satvika Daana.

Penggunaan istilah desa kala patra di kalangan umat Hindu umumnya dan masyarakat Bali khususnya sudah sangat populer. Bahkan Pesta Kesenian Bali (PKB) pernah mengusung tema ”Desa Kala Patra: Adaptasi diri dalam multi kultur.” Pemilihan tema ini mungkin sebelumnya kurang didasari dengan pengertian yang benar tentang pengertian desa kala patra menurut pustaka suci. Pengertian desa kala patra yang dipahami pada umumnya tidak seperti pengertiannya dalam pustaka suci seperti Bhagavad Gita dan Sarasamuscaya.

Umumnya Desa Kala Patra itu dipahami sebagai pedoman menerapkan Agama Hindu dan budaya Bali yang dijiwai Agama Hindu. Desa diartikan tempat, kala waktu dan patra keadaan. Pengertian Desa Kala Patra menurut Sloka Bhagavad Gita XVII.20 di atas sangat berbeda dengan pengertian umum. Dalam Bhagavad Gita XVII.20 dinyatakan bahwa Desa Kala Paatra sebagai pedoman untuk berdaana punia. Daana Punia yang benar dan baik itu disebut Satvikadaana. Dana Punia yang benar dan baik itu adalah harus sesuai dengan petunjuk rohani yang berlaku di tempat tersebut. Petunjuk rohani yang berlaku setempat itulah disebut desa. Sedangkan kala artinya daana punia yang benar itu dilakukan pada waktu Satvika Kala. Waktu Satvika itu saat masih pagi. Sedangkan Paatra artinya daana punia itu harus diberikan pada orang yang tepat dan baik. Kalau diberikan pada orang yang tidak baik dan tidak tepat disebut Tamasika Dana. Dalam Bhagavad Gita XVII.22 orang yang tidak tepat diberikan daana punia itu disebut Apaatra.

Orang yang tepat diberikan daana punia disebut Paatra. Dalam Sarasamuscaya 271 dinyatakan ”Paatra ngarania sang yogia wehana daana” yang artinya Paatra namanya orang yang sepatutnya diberikan daana punia. Dalam Sarasamuscya sloka 181 juga sudah dinyatakan dengan istilah supaatra yang juga artinya orang yang baik dan seyogianya diberikan daana punia. Dalam kamus Sansekerta kata Paatra itu banyak artinya. Tetapi dalam kaitannya dengan Desa Kala Paatra dalam Bhagavad Gita dan Sarasamuscaya sudah sangat jelas artinya yaitu orang yang seyogianya diberikan daana punia. Sedangkan untuk mensukseskan pengamalan agama atau dharma sudah sangat jelas juga dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra VII.10. Ada lima dasar pertimbangan agar pengamalan agama atau dharma sukses. Dalam sloka Manawa Dharmasastra VII.10 disebut Dharmasidhiartha artinya suksesnya tujuan dharma atau agama. Ada lima dasar pertimbangan yang dinyatakan dalam sloka tersebut yaitu Iksha, Sakti, Desa, Kala dan Tattwa. Iksha artinya pandangan masyarakat, Sakti kemampuan masyarakat, Desa aturan rohani yang berlaku setempat, Kala artinya waktu. Tattwa artinya kebenaran Weda. Maksudnya Tattwa itulah diterapkan sesuai dengan Iksha, Sakti, Desa dan Kala. Inilah yang lebih tepat dimaknai sebagai dasar adaptasi diri dalam multi kultur. Hal ini menyebabkan bentuk luar tradisi beragama Hindu berbeda-beda antara daerah satu dengan daerah lainya. Tattwa itu yang mutlak, penerapannya yang dapat disesuikan dengan Iksha, Sakti, Desa dan Kala. Bagaikan makan nasi boleh pakai piring, pakai daun, kertas minyak maupun pakai rantang. Yang penting isinya sama yaitu nasi. Demikianlah Tattwa intisari Weda boleh dikemas dengan tradisi India, tradisi Kalimantan, tradisi Jawa, tradisi Bali dan sebagainya. Yang penting isi Tattwa inti Weda. Karena itu istilah Desa Kala Paatra itu dikembalikan hanya sebagai dasar melakukan Satvika Daana. Kalau adaptasi diri dalam multi kultur itu tanpa dasar Tattwa tentunya berbahaya.

Tattwa itu adalah sumber jati diri. Kalau Patra diartikan keadaan, Desa tempat dan Kala waktu dijadikan dasar melakukan adaptasi diri dalam multikultur bisa kebudayaan kita terombang-ambing terus mengikuti keadaan zaman tempat dan waktu yang terus berubah. Idealnya kitalah seyogianya merencanakan perubahan itu agar jati diri (Tattwa) tetap berlanjut sepanjang zaman. Dalam mengamalkan kebenaran atau Tattwa bentuknyalah yang disesuaikan dengan Iksa, Sakti, Desa dan Kala. Tattwa itu adalah kebenaran yang paling hakiki yang harus tetap ajeg tidak boleh berubah sepanjang zaman dan dimana pun. Seperti makanan unsur intinya harus tetap ada seperti karbohidrat, lemak, vitamin, protein, asam amino dll. Bentuk dan cara penyajianya boleh berubah-ubah, tetapi substansi makanan itu tetap kekal. Bentuk itu tidak boleh merubah fungsi. Seperti zat pewarna dalam makanan, jangan mengubah makanan itu menjadi racun. Manusia dari suku dan bangsa mana pun dia membutuhkan unsur-unsur itu seperti karbohidrat, protein, vitamin, asam amino. Demikian juga dalam hal kebudayaan Bali jangan menggunakan dasar Desa Kala Patra dalam arti tempat, waktu dan keadaan sebagai dasar membangun adaptasi diri dalam multikultur. Sebaiknya kembali pada pengertian yang benar menurut ketentuan kitab suci.

Kalau dipakai dasar pertimbangan Iksa, Sakti, Desa, Kala dan Tattwa sebagai mana dinyatakan dalam Manawa Dharma Sastra VII.10 adaptasi budaya dalam multikultur dapat mengikuti perubahan dengan tetap menguatkan jati diri kita tidak kehilangan Tattwa. Pada kenyataannya aspek Tattwa inilah yang sering ditinggalkan secara tidak sengaja oleh sementara pihak karena kurang cerdasnya kita menghadapi perubahan yang sudah pasti itu. Berbagai bentuk budaya spiritual Hindu di Bali dalam penampilannya ada sementara yang dieksistensikan jauh meninggalkan Tattwanya. Padahal dalam teks Lontar petunjuknya sudah amat jelas tersurat jelas apa yang semestinya dilakukan. Karena itu perlu ditumbuhkembangkan budaya baca di kalangan umat pendukung kebudayaan Hindu di Bali.

Desa Kala Patra


Bagi umat Hindu istilah ini bukanlah asing lagi. Istilah ini disebut-sebut sebagai faktor berbedanya praktik ritual Hindu disetiap daerah/wilayah. Sehingga timbul kesan bahwa penerapan agama Hindu yang berhubungan dengan upacara agama tidak memiliki standar.

Sejarah kelahiran agama Hindu dengan segenap ajarannya sering digambarkan sebagai gelindingan bola salju. Begitu segenggam salju diluncurkan dari ketinggian gunung, bola salju yang semula kecil kian lama kian besar dan selama proses luncur segala hal yang dilintasi pun terbawa bersamanya. Arti dari gambaran memberikan pemahaman bahwa ajaran Hindu yang berintikan Weda dalam penerapan atau praktek pengalamannya sepanjang berhubungan dengan “di luar inti” yaitu hakekat (Tattwa Darsana) dapat menyesuaikan dan mengharmoniskan diri dengan kondisi setempat. Ibarat telur, inti telur semuanya berwarna kuning, tetapi soal kulitnya berbagai warna telur dapat dijumpai. Bagi Hindu bukan kulit atau keanekaragaman pengalaman yang mutlak melainkan intisari ajaran yang mengacu pada Weda. Itulah sebabnya tidak ada kata “baku” dalam agama Hindu. Pijakan pelaksanaan agama Hindu bukan saja Weda dengan Sruti dan Smrtinya tetapi juga berpegangan pada sila(teladan prilaku orang-orang suci), Acara(tradisi/adat) dan Atmanastuthi(ketetapan hati/kepuasan bathin).

Umat Hindu yang memiliki tingkat pengetahuan, pemahaman dan penghayatan terhadap ajaran Weda dapat menjadikan salah satu pijakan/pegangan diatas sebagai wujud nyata dalam melaksanakan kewajiban agamanya. Di dalam Bhagawadgita dijelaskan ada 4(empat) jalan untuk merealisasikan sikap keagamaan umat Hindu yang disebut dengan Catur Marga, antara lain:

  • Bagi yang memiliki tingkat rohani atau spiritual yang tinggi dapat mewujudkan sikap religiusnya dengan menempuh Raja Marga, misalnya: dengan melakukan “tapa-brata-yoga-semadhi”.
  • Untuk yang merasa tinggi tingkat ilmu pengetahuannya bisa mewujudkan bhaktinya kepada Hyang Widhi dengan jalan Jnana Marga.
  • Dan bagi sebagian besar umat yang hanya merasa sebagai pelaku dan pencinta Tuhan, maka cara sederhana, alamiah dan penuh simbol dapat dilakukan dengan Karma dan Bhakti Marga.

Inilah yang menjadi dasar bervariasinya bentuk-bentuk ritualitas pelaksanaan upacara agama Hindu. Karena setiap wilayah/tempat(desa),waktu(kala), dan situasi/kondisi(patra) membuat beraneka ragamnya bentuk-bentuk ritual yang dilakukan.

Jadi, yang bersifat baku adalah yang berhubungan dengan intisari ajaran yang bersumber pada Weda, sedangkan pengalaman ajaran Weda sesuai dengan Catur Marga, tergantung pada tingkat kerohanian umat untuk siap melakukannya. Singkatnya agama Hindu bukan agama tidak mensyaratkan patokan baku/standar/dogma yang bersifat total tetapi hanya berkenaan dengan hal-hal essensial dimana untuk melaksanakannya pun tetap berpijak pada kondisi lokal(desa-kala-patra)

sumber: pustaka bali post.

 

 

 

%d bloggers like this: