Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Tag Archives: catur marga

Pratima dalam Hindu


Pratima merupakan simbol Dewa/Bhatara yang dipergunakan sebagai alat untuk memuja Sanghyang Widhi Wasa. Penggunaan Pratima atau arca sebagai alat memuja Tuhan berlangsung sebelum kerajaan Singasari dan Majapahit. Kini penggunaan pratima sudah jarang dilakukan, pratima dan arca saat ini merupakan sebagai pusaka yang dikeramatkan. Dalam ajaran agama Hindu terdapat 4 (empat) jalan untuk mencapati kesempurnaan hidup atau jalan menuju Tuhan yang disebut Catur Marga. Salah satu dari 4(empat) jalan untuk menuju Tuhan adalah Bhakti Marga.

Bhakti Marga merupakan jalan yang paling mudah untuk dilakukan untuk semua umat Hindu, Bhakti Marga sering juga disebut sebagai ajaran yang alamiah. Dalam kenyataannya Bhakti Marga terdiri dari:

  1. Apara Bhakti, adalah Cinta kasih dari seseorang yang belum mempunyai tingkat kesucian yang tinggi.
  2. Para Bhakti, adalah cinta kasih dari seorang yang sudah memiliki tingkat kesucian yang tinggi.

Bagi seorang Bhakta tidak pernah berpikir bagaimana Tuhan itu, namun seorang Bhakta senantiasa memiliki iman yang teguh percaya bahwa Hyang Widhi ada dan Tunggal(esa).

Dalam mewujudkan cinta kasih seorang Apara Bhakti memerlukan sebuah objek sebagai alat untuk memuja Hyang Widhi. Dan dari sinilah dikenal Pratima sebagai alat perwujudan atau gambaran agar pikiran seorang Apara Bhakti dapat terpusat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pratima yang digunakan hanya sebagai alat untuk memusatkan pikiran kepada Hyang Widhi, bukan sebagai benda yang disembah seperti dugaan agama-agama lain. Seorang Apara Bhakti pun hendaknya menyadari bahwa Pratima atau Arca bukanlah Dewa atau Tuhan. Hindu bukanlah politheisme tidak juga penyembah batu, patung, dll. Dalam Kitab suci dinyatakan: Ekam Ewa Adwityam Brahman. Artinya: Hanya ada satu Tuhan, Tidak ada duanya.

Penggunaan Pratima diperkirakan sudah berkembang sejak abad ke IX dan berakhir sampai abad ke XIII. Pada jaman kerajaan singasari dan Majapahit penggunaan pratima/objek pemujaan sudah banyak berkurang. Sedangkan yang kita jumpai saat ini hanya merupakan alat kelengkapan Pura/Sanggah.

**Dari berbagai sumber.

Menghindari Dosa


Sebelum melakukan tindakan/perbuatan ingatlah Karma Phala, Karma Phala adalah hasil subha karma atau perbuatan baik dan asubha karma(perbuatan buruk). Karma Phala dipandang sebagai srada yang ampuh mengendalikan perbuatan manusia.

bija-nenek-ibtk2018

Image by: Koleksi Pribadi. Besakih 08 April 2018.

Paham karma phala  menegaskan bahwa dosa tidak dapat ditebus atau dihapus. Oleh karena itu Hindu mengajarkan agar manusia waspada dan mencegah perbuatan-perbuatan dosa.

Rambu-rambu untuk menghindarkan manusia berbuat dosa sangat banyak, sangat luas, dan dapat dilakukan oleh siapa saja.

Sumber sastra yang dapat dikumpulkan antara lain:

1. Catur Asrama. Kehidupan manusia dibagi dalam empat tahap, yaitu:

  • Brahmacari (masa belajar)
  • Grahasta (masa berumah tangga)
  • Wanaprasta (masa mensucikan diri)
  • Saniyasin (masa menjadi rohaniawan)

2. Pancasrada. Lima keyakinan Hindu:

  • Widhi tattwa (percaya pada Ida Sanghyang Widhi Wasa)
  • Atma tattwa (percaya pada adanya roh leluhur)
  • Karmaphala (percaya pada hukum tentang sebab akibat perbuatan)
  • Samsara (percaya pada reinkarnasi/ kelahiran berulang-ulang)
  • Moksa (bebas dari ikatan keduniawian)

3. Trikayaparisudha. Tiga kelompok besar yang patut dijaga, yaitu:

  • Kayika (perbuatan yang benar: tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzina)
  • Wacika (perkataan yang benar: tidak mencaci, tidak berkata keras, tidak memfitnah, tidak ingkar janji)
  • Manacika (pikiran yang benar: tidak menginginkan sesuatu yang adharma, tidak berpikir buruk pada orang/ mahluk lain, percaya adanya karmaphala)

4. Caturpurusartha. Empat tujuan hidup:

  • Dharma (kebaikan di jalan Ida sanghyang Widhi Wasa)
  • Artha (pemenuhan kebutuhan benda-benda duniawi)
  • Kama (kenikmatan hidup)
  • Moksa (kebebasan abadi)

5. Caturmarga. Empat jalan manusia bersujud ke Ida Sanghyang Widhi Wasa:

  • Bhaktimarga (pasrah)
  • Karmamarga (kerja)
  • Jnanamarga (belajar agar mengetahui kebesaran-Nya)
  • Rajamarga (menggelar tapa-brata-yoga-samadi)

6. Yamabrata: Usaha-usaha mengendalikan diri, yaitu:

  • Anrsamsa (tidak egois)
  • Ksama (memaafkan)
  • Satya (jujur)
  • Ahimsa (tidak menyakiti)
  • Dama (sabar)
  • Arjawa (tulus)
  • Pritih (welas asih)
  • Prasada ( berpikiran suci)
  • Madhurya (bermuka manis)
  • Mardawa (lemah lembut)

7. Niyamabrata: Janji pada diri sendiri untuk berlaku dharma, yaitu:

  • Dana (dermawan)
  • Ijya (bersembahyang)
  • Tapa (mengekang nafsu jasmani)
  • Dhyana (sadar pada kebesaran Ida Sanghyang Widhi Wasa)
  • Swadhyaya (belajar)
  • Upasthanigraha (mengendalikan nafsu sex)
  • Brata (mengekang indria)
  • Upawasa (mengendalikan makan/ minum)
  • Mona (mengendalikan kata-kata)
  • Snana (menjaga kesucian lahir bathin)

8. Sadripu: mengendalikan enam musuh yang ada di diri sendiri:

  • Kama (nafsu)
  • Lobha (tamak)
  • Kroda (marah)
  • Mada (mabuk)
  • Moha (angkuh)
  • Matsarya (dengki irihati)

9. Sadatatayi: menghindari enam kekejaman:

  • Agnida (membakar)
  • Wisuda (meracun)
  • Atharwa (menenung)
  • Sastragna (merampok)
  • Dratikrama (memperkosa)
  • Rajapisuna (memfitnah)

10. Saptatimira: menghindari kemabukan-kemabukan karena

  • Surupa (cantik/ tampan)
  • Dana (kaya)
  • Guna (pandai)
  • Kulina (wangsa)
  • Yowana (remaja)
  • Kasuran (kemenangan)
  • Sura (minuman keras)

Bila manusia terlanjur berbuat dosa, petunjuk-petunjuk yang ada pada beberapa kitab-kitab/ lontar di bawah ini dapat digunakan sebagai pegangan:

Kitab Parasara Dharmasastra yang dianggap cocok untuk zaman kaliyuga sekarang ini, memuat beberapa ketentuan bila seseorang terlanjur berbuat dosa yang disebabkan antara lain karena:

  • Kelahiran dan kematian yang tidak wajar
  • Berzina
  • Digigit binatang tertentu
  • Membunuh
  • Mencederai sapi
  • Makan makanan terlarang

Ketentuan yang diatur dalam kitab itu hanyalah proses pensucian diri, bukan penebusan dosa.

Lontar Wrhaspati Tattwa menyatakan tiga kegiatan pokok yang perlu dilakukan bila seseorang ingin mencapai kelepasan:

  • Jnanabhyudreka: mengetahui semua tattwa Agama.
  • Indriyayogamarga: tidak tenggelam dalam kesukaan hawa nafsu.
  • Trsnadosaksaya: menghilangkan pahala dari perbuatan baik dan buruk.

Kitab Upanisad Utama, Brahmana ke-15 bagi manusia yang akan meninggal dunia, ucapkan mantram-mantram ini di telinganya:

HIRANMAYENA PATRENA SATYASYAPIHITAM MUKHAM
TAT TVAM, PUSAN, APARNU, SATYA DHARMAYA DRSTAYE

Artinya: wajah kebenaran ditutup oleh piring emas; bukalah ini o Pusan sehingga aku yang mencintai kebenaran bisa melihat.

PUSANN, EKARSE, YAMA, SURYA, PRAJA-PATYA
VYUHA RASMIN SAMUHA TEJAH
YAT TE RUPAM KALYANATAMAM
TAT TE PASYAMI YO SAV ASAU PURUSAS, SO HAM ASMI

Artinya: Pusan yang tunggal melihat, pengendali, o matahari putra dari prajapati sebarkanlah sinarmu dan kumpulkanlah sinarmu yang gemerlapan sehingga aku melihat di-Kau dalam bentukmu yang paling indah.

VAYUR ANILAM AMRTAM ATHEDAM BHASMANTAM SARIRAM
AUM KRTO SMARA, KRTAM SMARA, KRATO SMARA, KRTAM SMARA

Artinya: semoga hidup ini memasuki nafas yang abadi kemudian semoga tubuh ini berakhir menjadi abu, o buddhi ingatlah, ingatlah apa yang telah diperbuat.

AGNE NAYA SUPATHA, RAYE ASMAN, VISVANI, DEVA, VAYUNANI VIDVAN, YUYODHY ASMAJ JUHARANAM ENO, BHUYISTHAM TE NAMAUKTIM VIDHEMA

Artinya: agni tuntunlah kami pada jalan yang baik kearah kekekalan, o Tuhan yang mengerti semua perbuatan-perbuatanku, ambilah semua dosa dariku, kami akan menghadap-Mu.

Lontar Siwaratrikalpa karangan Mpu Tanakung yang diilhami oleh Purana-purana sanskerta: Padma, Siwa, Skanda, dan Garuda, menokohkan Lubdhaka sebagai orang yang sadar pada dosa-dosanya di masa lalu.

Kemudian di hari Siwaratri (panglong ping 14 tileming kapitu) tanpa sengaja ia membangun tapa-brata-yoga-samadi, dianggap sebagai langkah kesadaran dharma karena membangun tapa-brata-yoga-samadi bersamaan dengan waktu Bethara Siwa beryoga samadi untuk kesejahteraan jagat raya beserta isinya.

Setelah Siwaratri, Lubdhaka tidak pernah lagi melakukan perbuatan-perbuatan adharma. Ketika Lubdhaka meninggal dunia, kesadaran dharmanya dinilai positif oleh Bethara Yama sehingga Lubdhaka masuk sorga. Manusia Hindu diharap meniru apa yang dilakukan Lubdhaka.

KESIMPULAN

Dosa tidak dapat ditebus atau dihapus, namun dosa atau perbuatan adharma dapat diimbangi dengan perbuatan dharma sehingga diharapkan terjadi keseimbangan yang relatif lebih mengunggulkan dharma.

Diibaratkan dosa itu bagai sinar matahari yang terik, bila berhembus angin rasa panasnya akan berkurang. Angin itu ibarat perbuatan-perbuatan dharma.

Sarasamuscaya sloka ke-16:

YATHADITYAH SAMUDYAN WAI TAMAH, SARWWAM WYAPOHATI, EWAM KALYANAMATISTAM SARWWA, PAPAM WYAPOHATI

Laksana sifat surya, begitu terbit melenyapkan gelapnya dunia, demikianlah orang yang mengusahakan dharma akan menghilangkan segala macam penderitaan.

**stitidharma.org

Desa Kala Patra


Bagi umat Hindu istilah ini bukanlah asing lagi. Istilah ini disebut-sebut sebagai faktor berbedanya praktik ritual Hindu disetiap daerah/wilayah. Sehingga timbul kesan bahwa penerapan agama Hindu yang berhubungan dengan upacara agama tidak memiliki standar.

Sejarah kelahiran agama Hindu dengan segenap ajarannya sering digambarkan sebagai gelindingan bola salju. Begitu segenggam salju diluncurkan dari ketinggian gunung, bola salju yang semula kecil kian lama kian besar dan selama proses luncur segala hal yang dilintasi pun terbawa bersamanya. Arti dari gambaran memberikan pemahaman bahwa ajaran Hindu yang berintikan Weda dalam penerapan atau praktek pengalamannya sepanjang berhubungan dengan “di luar inti” yaitu hakekat (Tattwa Darsana) dapat menyesuaikan dan mengharmoniskan diri dengan kondisi setempat. Ibarat telur, inti telur semuanya berwarna kuning, tetapi soal kulitnya berbagai warna telur dapat dijumpai. Bagi Hindu bukan kulit atau keanekaragaman pengalaman yang mutlak melainkan intisari ajaran yang mengacu pada Weda. Itulah sebabnya tidak ada kata “baku” dalam agama Hindu. Pijakan pelaksanaan agama Hindu bukan saja Weda dengan Sruti dan Smrtinya tetapi juga berpegangan pada sila(teladan prilaku orang-orang suci), Acara(tradisi/adat) dan Atmanastuthi(ketetapan hati/kepuasan bathin).

Umat Hindu yang memiliki tingkat pengetahuan, pemahaman dan penghayatan terhadap ajaran Weda dapat menjadikan salah satu pijakan/pegangan diatas sebagai wujud nyata dalam melaksanakan kewajiban agamanya. Di dalam Bhagawadgita dijelaskan ada 4(empat) jalan untuk merealisasikan sikap keagamaan umat Hindu yang disebut dengan Catur Marga, antara lain:

  • Bagi yang memiliki tingkat rohani atau spiritual yang tinggi dapat mewujudkan sikap religiusnya dengan menempuh Raja Marga, misalnya: dengan melakukan “tapa-brata-yoga-semadhi”.
  • Untuk yang merasa tinggi tingkat ilmu pengetahuannya bisa mewujudkan bhaktinya kepada Hyang Widhi dengan jalan Jnana Marga.
  • Dan bagi sebagian besar umat yang hanya merasa sebagai pelaku dan pencinta Tuhan, maka cara sederhana, alamiah dan penuh simbol dapat dilakukan dengan Karma dan Bhakti Marga.

Inilah yang menjadi dasar bervariasinya bentuk-bentuk ritualitas pelaksanaan upacara agama Hindu. Karena setiap wilayah/tempat(desa),waktu(kala), dan situasi/kondisi(patra) membuat beraneka ragamnya bentuk-bentuk ritual yang dilakukan.

Jadi, yang bersifat baku adalah yang berhubungan dengan intisari ajaran yang bersumber pada Weda, sedangkan pengalaman ajaran Weda sesuai dengan Catur Marga, tergantung pada tingkat kerohanian umat untuk siap melakukannya. Singkatnya agama Hindu bukan agama tidak mensyaratkan patokan baku/standar/dogma yang bersifat total tetapi hanya berkenaan dengan hal-hal essensial dimana untuk melaksanakannya pun tetap berpijak pada kondisi lokal(desa-kala-patra)

sumber: pustaka bali post.

 

 

 

%d bloggers like this: