Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Daily Archives: July 26, 2012

Catur Dresta


Dalam praktek keagamaan, umat Hindu melaksanakan ajaran agamanya dengan lebih berpijak pada “acara”(tradisi). Tradisi mana tentunya tetap mengacu pada sumber tertinggi yaitu Sruti, namun dalam pengamalannya lebih ditampilkan wujud prilaku(etika) dan wujud materi(upacara/upakara jadya). Sedangkan wujud ide/nilai berupa pengetahuan(Jnana) cenderung dikesampingkan(gugon tuwon). Itulah sebabnya, dalam hal menjalankan tradisi keagamaan umat Hindu dapat  benar-benar dapat dengan tekun/kuat mempertahankan tetamian leluhur itu. Tradisi leluhur dalam hal menerapkan ajaran agama Hindu inilah yang kemudian berkembang menjadi “dresta” yang arti dan maknanya lebih luas yaitu sebagai pandangan dari suatu masyarakat mengenai tata krama dalam menjalankan hidup dan kehidupa dimasyarakat(desa pekraman). Dan karena setiap masyarakat dalam lingkup desa/wilayah berbeda latar belakangnya(sosial,ekonomi,budaya,sifat keagamaannya) maka meski tidak mencolok, yang namanya perbedaan dalam penampilan selalu muncul dan mewarnai perilaku kehidupan antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Munculah istilah pembenaran untuk suatu perbedaan itu seperti: desa-kala-patra(perbedaan menurut tempat,waktu dan keadaan), desa mawa cara(setiap wilayah mempunyai cara/kebiasaan yang berlainan), negara mawa tata(setiap negara memiliki tata cara tersendiri) dan lahir pula istilah “dresta”.

Dresta terdiri dari 4(empat) jenis dengan acuan pembenarannya bervariasi, yaitu:

  1. Purwa Dresta; sering juga disebut Kuna Dresta, adalah suatu pandangan lama yang muncul sejak dahulu dan terus dijadikan sebagai pedoman dari generasi  pelaksanaan Nyepi dengan catur bratanya.
  2. Loka Dresta; adalah suatu pandangan lokal yang hanya berlaku pada suatu daerah/wilayah. Contohnya: tradisi tidak membakar mayat di daerah/wilayah Trunyan(Bali Aga).
  3. Desa Dresta, tidak jauh berbeda dengan loka dresta, dimana suatu pandangan yang sudah mentradisi dan hanya berlaku disuatu desa tertentu saja. Misal: tradisi Ngusaba umumnya dilakukan di desa-desa Bali timur, sedang di Bali Barat tidak begitu lumrah.
  4. Sastra Dresta, merupakan suatu pandangan yang dasar pijakannya adalah sastra atau pustaka-pustaka agama yang mengacu pada kitab suci Weda. Misalnya: Manawadharmasastra, Sarassamuscaya, Bhagawadgita, dll. termasuk lontar-lontar yang berisi petunjuk praktis dari pelaksanaan upacara yadnya.

Dilihat dari sumber pijakan atau acuannya, maka diantara ke empat dresta tersebut diatas yang menempati posisi tertinggi sebagai pedoman dalam melaksakan ajaran agama adalah Sastra Dresta baik yang berstatus Sruti maupun Smrti, dimana keduanya merupakan Dharma Sastra–> sumber kebenaran agama dan wahyu Tuhan.

 

 

 

Doa Sarana Banten


Setiap hari sebagai umat Hindu menghaturkan persembahan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa dengan berbagai manifestasiNya. Persembahan yang kita haturkan itulah kita kenal dengan Bebantenan atau Banten.

mebanten

Image by: Sastra Bali

Banten terdiri dari bahan pokok: daun, bunga, buah, air dan api. Seperti penjelasan dalam artikel sebelumnya banten mempunyai fungsi penting sebagai sarana upacara bagi umat Hindu, dalam setiap kegiatan yang berhubungan dengan banten pun ada Do’a-do’a yang wajib diucapkan untuk melengkapi upacara yang dilakukan. Berikut adalah Doa-doa yang ada kaitannya dengan sarana banten:

  1. Nunas lugra, Om ksama swamam mahadewa ya namah swaha.
  2. Doa membersihkan bekas banten sebelumnya, Om sri suketing busandari, katempuh muksah alah anyar ya namah.
  3. Doa memasang plawa, gantungan dll, Om kalasa gumelar, sarwa suci sukla ya namah swaha.
  4. Doa ngunggahang canang sari, sarwa banten: Om ta molah panca upacara guru paduka ya namah swaha.
  5. Doa ngunggahang dupa; Om ang dupa dipastra ya namah swaha.
  6. Doa ngaturang toya anyar; Om pakulun bhatara, ngulun angaturaken tirtha andawasuh tangan mwang suku ya namah swaha.
  7. Doa ngaturang segehan putih kuning di natar atau dibawah sanggah; Om sarwa bhuta preta byo namah.
  8. Doa ngaturang segehan agung, ditengah natar pekarangan, halaman rumah; Om sarwa kala preta byo namah.
  9. Doa ngaturang segehan manca warna, dilebuh, pemedal, pintu gerbang pekarangan rumah atau diperempatan jalan; Om sarwa durgha preta byo namah.
  10. Doa pada tiap2 segehan dengan metetabuh; Om ibek segara, ibek danu, ibek bayu premananing hulun.
  11. Ngayabang dupa/pasepan; Om agnir agnir, jyotir jyotir, om dupam samarpayami.
  12. Doa nyiratang toya anyar/tirtha; Om mang parama siwa amertha ya namah swaha.
  13. Doa ngayabang atau ngaturang banten; Om dewa amukti sukam bhawantu, namo namah swaha.
  14. Ngelungsur tirtha; Om suksma sunya sangkanira, suksma sunia paranira.
  15. Ngetisang toya anyar/tirtha; Om, mang parama siwa ya namah swaha.
  16. Ngelungsur bebanten; Om suksma sunia lebar ya namah swaha.
  17. Yadnya sesa (mejot/mesaiban) kepada Dewa-dewi, di tempat air, api, nasi dan surya; Om atma tat twatma sudhamam swaha. Swasti swasti sarwa dewa sukha pradhana ya namah swaha.
  18. Yadnya sesa (mejot/mesaiban) kepada bhuta, yaitu di pertiwi/tanah; Om atma tat twatma sudhamam swaha. Swasti swasti sarwa bhuta,kala,durgha sukha pradhana ya namah swaha.
  19. Doa memulai makan; Om anugraha amrtha sanjiwani ya namah swaha.

Menghaturkan banten tidak hanya sekedar meletakkan banten yang kita persembahkan untuk Hyang Widhi tapi dalam setiap persembahan yang kita lakukan dengan sarana banten hendaknya diikuti dengan Doa-doa agar apa yang kita persembahkan tidak menjadi yadnya yang sia-sia.

artikel lain: Doa Sehari-hari agama Hindu

%d bloggers like this: