Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Monthly Archives: June 2012

Etika Berbusana Ke Pura


Image by: Media Hindu

Mode selalu berubah dan berkembang,,tidak jarang model berbusana ke pura pun semakin modis, dan seksi. Pada dasarnya berbusana tentu akan lebih baik jika disesuaikan dengan aktifitas / kegiatan yang akan dilakukan. Bagi umat Hindu wanita sering kita jumpai mengenakan kebaya dengan bahan tranparan dengan kain bawahan(kamen) bagian depan hanya beberapa centi dibawah lutut melakukan persembahyangan. Pikiran setiap manusia tentu tidak sama, ada yang berpikir positif bahwa itulah trend mode masa kini. Tapi yang berpikiran negatif tentu tidak sedikit, inilah permasalahanya pikiran negatif, paling tidak busana terbuka akan mempengaruhi kesucian pikiran umat lain yang melihatnya sehingga mempengaruhi konsentrasi persembahyangan.

Menurut sastra, pikiran yang akan mengantarkan sembah bhakti kita kepada Hyang Widhi. Artinya: Jika dalam persembahyangan pikiran terfokus pada Hyang Widhi, maka sembah bhakti kita akan sampai pada-Nya, namun jika pikiran terpusat pada yang tidak patut, maka kesanalah angan kita dibawa. Jadi, dalam melakukan suatu kegiatan yadya atau persembahyangan selain syarat ketulus-ikhlasan, kesucian pikiran merupakan landasan konsentrasi(pikiran terpusat kepada-Nya.)

Akhirnya kembali kepada pemakai busana tersebut apa kata hati nurani(atmanasthuti)nya. Pantaskan sebuah trend busana tersebut dipakai untuk melakukan yadna atau persembahyangan? sedangkan untuk melakukan semua itu diperlukan pikiran yang suci umat. Diperlukan kesadaran semua umat untuk turut mensucikan pura antara lain dengan kesucian pikiran diri sendiri dan orang lain.

Artikel Terkait: Tips Berpenampilan ke Pura

Perkawinan Beda Agama


Secara esensial sebuah perkawinan adalah murni mempertemukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk mengikatkan diri secara lahir-bathin, material-spiritual guna membentuk sebuah keluarga yang sejahtera, bahagia dan langgeng. Jika kemudian ada semacam ketentuan yang mengandung potensi menghalangi, menghambat bahkan menggagalkan suatu perkawinan karena perbedaan agama,suku atau wangsa(misal pihak laki-laki berasal dari non Hindu(Bali) maka sesungguhnya perkawinan tersebut tidak perpijak pada esensi agama tetapi hanya berpedoman pada adat(tradisi lokal).

Keputusan untuk meneruskan proses sebuah perkawinan akhirnya terpulang pada sejauh mana pemahaman kita tentang amanat ajaran agama perihal perkawinan. Jika lelaki Hindu dengan kesadaran, keikhlasan yang tanpa paksaan mau mengikuti agama Hindu yang dianut calon istri, maka hendaknya jangan karena persoalan wangsa menghalangi/membatalkan proses perkawinan tersebut. Sudah saatnya umat Hindu(Bali) berpijak pada esensi agama dari pada dominasi tradisi yang terkadang justru berlawanan dengan petunjuk kitab suci. Di dalam kita Manusmrti 1 X.96 dijelaskan: “Untuk menjadi ibu maka diciptakanlah Wanita, untuk menjadi Ayah maka laki-laki diciptakan. Karena itu upacara ditetapkan dalam Weda untuk dilaksanakan oleh suami(Pria) bersama istri(Wanita)”.

Jadi cukup jelas penegasan kitab Manusmrti diatas yang hanya mensyaratkan sebuah perkawinan itu sebagai “pertemuan/ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang disahkan melalui upacara perkawinan(Wiwaha Samskara) menurut agama yang diyakininya. Agama mana haruslah dalam pengertian “suatu agama sehingga proses (pemuput) karya pewiwahannya juga melalui sradha yang tunggal.

Persoalan wangsa atau yang lebih populer dengan kasta memang masalah yang sangat serius bagi umat Hindu, padahal persoalan wangsa adalah persoalan adat, lebih tepatnya kesalahan masyarakat Bali yang salah menafsirkan dan merealisasikan konsep “warna” yang ada dalam Weda(Hindu) dimana konsep “warna” membagi golongan masyarat berdasarkan “guna-karma”(sifat dan pekerjaan/profesi) bukan berdasarkan “gen” atau keturunan.

Kasus seperti ini sering terjadi dan menimbulkan persoalan, solusinya adalah mengembalikan esensi sebuah perkawinan berdasarkan agama(Hindu) bukan berdasarkan adat(Bali).

Umat Hindu Peringati Hari Tumpek Landep


Denpasar (Antara Bali) – Umat Hindu Dharma di Bali akan menggelar ritual untuk memperingati hari “Tumpek Landep”, yakni persembahan suci yang khusus ditujukan untuk semua jenis benda yang terbuat dari besi, perak, tembaga dan jenis logam lainnya, Sabtu (30/6).

“Kegiatan ritual yang menggunakan kelengkapan sarana sesajen, rangkaian janur kombinasi bunga dan buah-buahan khusus ditujukan untuk berbagai jenis alat produksi dan aset, termasuk keris dan senjata pusaka,” kata Ketua Program Studi Pemandu Wisata Institut Hindu Dharma Indonesia (IHDN) Denpasar Dr Drs I Ketut Sumadi M.Par di Denpasar, Rabu.

Ia mengatakan, peringatan hari Tumpek Landep itu jatuh pada hari Sabtu, 30 Juni 2012, setelah sebelumnya umat Hindu memperingati hari lahirnya ilmu pengetahuan atau Hari Saraswati pada Sabtu (16/6) dan Hari Pagerwesi (20/6).

Aset yang mendapat persembahan khusus pada hari Tumpek Landep itu antara lain aneka jenis mesin, kendaraan, sepeda motor dan alat teknologi, termasuk perangkat komputer dan televisi.

Ketut Sumadi menjelaskan, kegiatan ritual itu dilakukan di tingkat rumah tangga dengan skala besar maupun skala kecil sesuai kemampuan dari masing-masing keluarga bersangkutan.

%d bloggers like this: