Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Tag Archives: umat hindu

Umat Hindu Dan Ajeg Bali Di Era Globalisasi


Stitidharma.org | Agama Hindu bukanlah agama dogmatik, bukan agama yang berdasarkan atas dogma. Hindu adalah agama yang berdasarkan dharma. Hindu juga disebut sanatana dharma, atau kebenaran yang abadi.

Apakah dogma? Dogma adalah kepercayaan yang tidak boleh dipertanyakan dan yang selalu harus diyakini sebagai kebenaran, bahkan jika itu tidak masuk akal atau irasional.

Misalnya:

  • kepercayaan bahwa semua manusia telah berdosa sejak lahir
  • kepercayaan tentang kebangkitan tubuh setelah mati
  • kepercayaan bahwa suatu agama telah memonopoli kebenaran
  • bahwa hanya pemeluk agama tersebut yang bisa masuk sorga
  • kepercayaan bahwa setiap manusia telah ditentukan nasibnya oleh Tuhan secara sepihak
  • kepercayaan boleh membunuh manusia lain yang tidak seagama demi untuk membela serta mengunggulkan agama yang dianutnya

Itulah contoh-contoh dogma yang irasional dari suatu agama tertentu namun harus diyakini oleh pemeluknya sebagai suatu kebenaran.

Dharma adalah prinsip kebenaran universal dan kebenaran hukum alam abadi. Dharma adalah hukum universal yang dapat ditemukan melalui penyelidikan objektif.

Sebagai contoh, dharma sebagai sifat api suci; seseorang tidak dapat membayangkan api yang tidak membakar; dalam kaitan ini dharma akan selalu membakar atau memusnahkan adharma.

Dharma mempunyai prinsip-prinsip etika dan spiritual antara lain: dasar-dasar Yoga seperti: tidak menyakiti (ahimsa), kebenaran (satya) pengendalian diri (tapa), serta etika dan kewajiban manusia yang diulas dalam Yama dan Niyama-brata.

Prinsip dharma yang lain adalah hukum karma-phala, yakni buah dari segala perbuatan yang pasti akan diterima kembali oleh manusia baik di masa kini, di kehidupan kemudian, dan di dunia niskala.

Dengan berpegang pada hukum karma-phala manusia dibimbing untuk berbuat (kayika), berbicara (wacika), dan berpikir (manacika) yang baik.

Agama-agama dogmatik sangat menekankan pada iman yang harus diyakini secara bulat. Pemeluk agama jenis ini bisa mengatakan: “Percayalah, atau masuklah agama kami, maka kalian akan selamat dan masuk sorga”.

Tetapi Hindu sebagai agama yang berdasarkan dharma, akan selalu menekankan pada perilaku yang baik dalam berbuat, berkata, maupun berpikir. Seorang Hindu akan senantiasa menganjurkan: “Lakukanlah perbuatan, perkataan, dan pemikiran yang baik, maka kalian akan selamat.”

Akibat kaidah yang demikian pada kehidupan manusia adalah: Pemeluk agama-agama dogmatik memisahkan antara ibadah dengan perilaku, karena cukup dengan percaya saja dan taat melakukan ibadah sesuai kitab sucinya, sudah menjadi “jaminan” akan masuk sorga, atau dapat saja ibadah dianggap sebagai penghilang dosa.

Mereka bersifat sangat eksklusif, merasa memonopoli kebenaran, mempunyai kecenderungan untuk menaklukkan, menguasai, dan mengendalikan. Sebagai konsekuensinya, disadari atau tidak, sering menganjurkan kebencian. Dari kebencian lahir kekerasan terhadap orang-orang beragama lain.

Sebaliknya pemeluk sanatana dharma menyatukan keyakinan, ibadah, dan perilaku yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip yang jelas, Hindu mengajarkan bahwa dosa-dosa dalam kehidupan tidak dapat dihapuskan hanya dengan kepercayaan dan ibadah saja, namun harus pula diimbangi dengan perilaku dharma.

Bagaikan sinar matahari yang terik, maka bila ada hembusan angin dan awan, teriknya tak terasa, demikianlah dosa yang telah tertutup oleh dharma.

Agama yang berdasarkan dharma tidak memiliki ambisi untuk menaklukkan dan menguasai karena tujuan agama bukan untuk menjadi imperialisme politik dan budaya, tetapi untuk mencapai kesadaran diri atau pencerahan spiritual. Itulah agama universal yang sesungguhnya.

Ajaran Veda dalam Hinduism yang demikian humanis membuat Hindu menjadi agama terbesar di dunia, karena ia melayani keperluan setiap manusia, apapun suku, bangsa, dan agamanya. Ia tidak hanya sekedar suatu agama, tetapi ia adalah jalan spiritual dan cara hidup.

Veda adalah wahyu Tuhan kepada umat manusia karena itu ajaran-ajarannya akan hidup sepanjang masa. Veda memberikan jalan yang terbuka bagi umat manusia yang ingin mencapai kebahagiaan lahir bathin dalam pola hidup sederhana namun berpikiran tinggi dan mulia, atau populer dengan istilah: “simple living high thinking”.

Veda tidak menginginkan umat manusia bertindak hanya di atas landasan keberadaan tubuh (just on the bodily platform of existence), tetapi Veda lebih menekankan pada tendensi kesehatan spiritual.

Dari aspek spiritual yang sehat akan terwujudlah emosional yang sehat, serta intelegensial dan physical yang sehat pula. Ajaran Veda yang mulia ini banyak dikutip oleh psikolog terkemuka dengan istilah: “living healthy” sebagai kondisi mutlak bagi kesehatan yang menyeluruh bagi umat manusia.

Tanpa disadari, umat Hindu telah memiliki sesuatu yang sangat bernilai, sangat mulia, dan kekal-abadi.

Kita telah mempunyai prinsip-prinsip jati diri yang tiada taranya. Sejarah Indonesia telah membuktikan bahwa dengan berpedoman pada prinsip-prinsip ajaran Veda, masyarakat Hindu dapat mencapai mokshartam jagaditaya ca iti dharmah.

Lihatlah Nusantara di zaman keemasan Majapahit dengan rajanya Tribuwana Tunggadewi sampai Hayam Wuruk; Bali di zaman keemasan Kerajaan Gelgel dengan rajanya yang terkenal Dalem Waturenggong sampai Dalem Seganing.

Sejarah pula membuktikan bahwa kerajaan-kerajaan yang pernah berjaya itu memudar dan akhirnya runtuh, karena rakyat dan para pemimpinnya kehilangan jati diri ke-Hindu-an.

Ajaran-ajaran Veda banyak ditinggalkan atau dimanipulasi untuk kepentingan sesaat; para Pendeta dan kelompok rohaniawan tidak mendapat kedudukan yang wajar serta petuah-petuahnya tak dihiraukan.

Penyimpangan-penyimpangan perilaku masyarakat makin lama makin meluas seiring dengan kemajuan iptek dan informasi.

Jaman bergulir menuju kaliyuga, di mana masyarakat mengalami kemajuan yang pesat dalam aspek-aspek material namun semakin miskin dalam aspek spiritual. Masyarakat yang dinamis ini terperangkap pada masalah-masalah keduniawian.

Era globalisasi mempersempit dunia dan menjadikannya tanpa batas, dalam artian informasi apapun yang ada, baik di bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya, segera berpengaruh ke seluruh dunia.

Ciri utama globalisasi adalah perubahan yang sangat cepat dalam segala bentuk tatanan dan nilai-nilai kehidupan, sehingga disimpulkan bahwa barang siapa yang tidak mengikuti perubahan akan tertinggal, bahkan tergilas oleh zaman.

Masyarakat yang hidup dalam dunia global harus memiliki kekuatan untuk melanjutkan kehidupan dan kekuatan untuk berubah.

Ke manakah arah perubahan itu, dan sudahkah diutarakan dalam kitab suci Hindu?

Pandangan Hindu memberikan ruang bagi perubahan-perubahan yang esensial. Kitab Parasara Dharmasastra 1.33 menyebutkan:

YUGE YUGE CA YE DHARMAS TATRA TATRA CA YE DVIJAH, TESAM NINDA NA KARTTAVYA YUGA RUPA HI TE DVIJAH

Aturan dan etika yang berlaku pada setiap zaman selalu berbeda; kaum cendekiawan yang memimpin perubahan masyarakat di suatu zaman tertentu tidak bisa disalahkan karena sesungguhnya dari perubahan itulah suatu zaman terwujud.

Walaupun demikian, perubahan yang dimaksud dalam kitab-kitab suci Hindu, tetap mengingatkan bahwa ajaran Veda tidak membolehkan pelanggaran dharma, dan senantiasa menganjurkan kedamaian, kerukunan hidup bermasyarakat, menghindari ketegangan, dan mencegah konflik.

Meski prinsip-prinsip dharma mengandung kebenaran hakiki sehingga ia dinamakan sanatana dharma, tetapi peraturan-peraturan mengalami perubahan dari masa ke masa karena merupakan produk waktu dan juga akan selalu digantikan oleh waktu.

Oleh karena itu dharma tidak dapat diidentikkan dengan institusi-institusi tertentu. Dharma tetap bertahan karena berakar pada kealamiahan manusia dan akan tetap hidup abadi.

Metoda dharma adalah metoda perubahan eksperimental. Semua institusi adalah eksperimen, bahkan kehidupan ini adalah eksperimen.

Manusia sebagai agent of development tidak dapat mentransfer kebiasaan-kebiasaan dari suatu masa ke masa yang lainnya begitu saja, tanpa mengadakan perubahan dan penyesuaian.

Gagasan-gagasan moral mengenai hubungan-hubungan sosial tidak bersifat absolut, tetapi bersifat relatif terhadap kebutuhan dan kondisi dari jenis masyarakat yang berbeda. Walaupun dharma bersifat kekal, tetapi ia tidak mempunyai isi yang absolut sehingga mampu menembus batas waktu.

Satu-satunya yang kekal dengan moralitas manusia adalah hasrat manusia untuk menjadi lebih baik. Akan tetapi waktu dan kondisi yang menentukan ‘apa yang lebih baik’ dalam setiap situasi.

Bentuk-bentuk tindakan dianggap baik atau buruk pada tahapan peradaban manusia berbeda, bergantung apakah itu meningkatkan atau menghambat kebahagiaan manusia.

Fleksibilitas sosial telah menjadi karakter utama Hindu-Dharma. Maka oleh karena itu mempertahankan sanatana dharma tidaklah dilakukan dengan berdiam diri saja, tetapi dengan menguasai prinsip-prinsip vital dan menerapkannya dalam kehidupan modern.

Suatu bangsa yang maju akan senantiasa mampu memberikan makna bagi pegalaman-pengalamannya di masa lalu. Prinsip-prinsip dharma dalam skala nilai harus dipertahankan di dalam dan melalui tekanan-tekanan pengalaman baru.

Hanya dengan jalan itu akan terbuka kemungkinan untuk mencapai kemajuan sosial yang integral dan seimbang.

Kaum intelektual Hindu harus mampu memperkenalkan perubahan-perubahan, mengelola sedemikian rupa sehingga membuat Hindu-Dharma relevan pada situasi-situasi modern.

Perubahan-perubahan itu adalah dampak masuknya kekuatan-kekuatan baru ke dalam masyarakat antara lain: industrialisasi ke dalam sektor agraris, penghapusan hak istimewa dengan pola kemanfaatan bersama, masuknya orang-orang non Hindu ke dalam masyarakat Hindu, emansipasi wanita versus otoritas lelaki, dan percampuran ras/ suku/ agama melalui perkawinan.

Masyarakat yang maju dalam iklim perubahan akan tercapai bila kondisi ideal yang ingin dicapai lebih baik dari kondisi aktual. Artinya pemikiran-pemikiran cemerlang dari kaum intelektual mampu membuahkan gagasan baru, inovasi dan kreasi, baik dalam iptek maupun dalam tatanan sosial.

Mereka hendaknya selalu berorientasi pada pelayanan masyarakat dengan integritas intelektual.

Berbekal pada pemahaman uraian di atas, jika melihat situasi dan kondisi umat Hindu di Bali dewasa ini, maka wacana “Ajeg-Bali” sangat patut dilontarkan ke tengah-tengah masyarakat yang tak luput dari pengaruh-pengaruh globalisasi baik yang sifatnya positif, maupun yang negatif.

Pada tataran individu, Ajeg-Bali dimaknai sebagai kemampuan manusia Bali untuk memiliki cultural confidence, yaitu keyakinan untuk memegang keteguhan jati diri yang bersifat kreatif meliputi segala aspek, dan tidak hanya terpaku pada hal-hal fisikal semata.

Pada tataran lingkungan budaya, Ajeg-Bali dimaknai sebagai terciptanya ruang hidup budaya Bali yang bersifat inklusif, multi kultur dan selektif terhadap pengaruh-pengaruh luar.

Pada tataran proses kultural, Ajeg-Bali adalah interaksi manusia Bali dengan ruang hidup budaya Bali untuk melahirkan produk-produk atau penanda-penanda budaya baru melalui sebuah proses berdasarkan nilai-nilai moderat, non dikotomis, berbasis pada kearifan lokal serta memiliki kesadaran lingkungan di saat yang tepat.

Dari ketiga tataran di atas, disepakati bahwa Ajeg-Bali bukanlah suatu konsep yang stagnan, melainkan sebuah upaya pembaharuan terus menerus yang dilakukan secara sadar oleh manusia Bali.

Tujuannya jelas untuk menjaga identitas, jati diri, ruang, serta proses budaya Bali. Upaya ini akan bermuara pada peningkatan kekuatan manusia-manusia Bali agar tidak jatuh di bawah penaklukan hegemoni budaya global.

Ajeg-Bali bukanlah sebuah proses involusi, tetapi sebuah proses evolusi yakni pengembangan dan kreasi dari keunggulan-keunggulan local-genius, kearifan, pengetahuan tradisionil yang dilandasi oleh sanatana dharma sehingga terjadi pelestarian yang dinamis.

Dengan demikian Bali yang ajeg akan muncul sebagai sebuah keunggulan budaya yang sanggup bertahan dan bersaing dalam dunia global.

Upacara Pabayuhan Sapuh Leger


Umat hindu terutama di Bali sangat meyakini, bahwa orang yang lahir pada Wuku Wayang (lebih lebih pada Tumpek Wayang) merupakan hari kelahiran yang cemer, mala serta melik (kepingit). Dan kebanyakan orang tua yang mempunyai anak lahir pada wuku wayang merasakan ketakutan dan was was atas kelanjutan kehidupan anaknya. Kebanyakan yakin dengan adanya cerita Geguritan Suddamala yang menceritakan ; Dewa Siwa pura pura sakit keras, dan mengutus Dewi Uma mencari Lembu Putih dialam fana sebagai obat. Dan sebelum susu didapat Dewi Uma tidak dipekenankan kembali ke Siwaloka, Sang dewi sangat patuh melaksanakan perintahnya, singkat cerita Dewi Uma menemukan Lembu Putih tersebut, ternyata untuk mendapatkan susu lembu dewi uma harus melakukan hal yang tidak terpuji yaitu harus mengorbankan kehormatannya dengan si gembala . Dan atas perbuatannya itu Dewa Siwa mengutuk Dewi Uma menjadi Dewi Durga, berujud raksasa dan tinggal di Setra Gandamayu. Dan selanjutnya dari hubungan itu lahirlah seorang anak bermasalah yaitu Dewa Kala sosok makhluk raksasa yang menyeramkan yang konon lahir pada Sabtu Kliwon Wuku Wayang (terkenal dengan Tumpek Wayang). Putra dari Dewa Siwa yang menyamar sebagai pengembala, merasa bertanggung jawab dengan penyamarannya mengakui Dewa Kala putranya. Atas pertanyaan Dewa Kala makanan apa yang bisa disantap, Dewa Siwa memberi Ijin kepada putranya orang yang lahir menyamai kelahiran Dewa Kala sendiri dan. Ternyata, putra siwa berikutnya yakni Rare Kumare lahir di Tumpek Wayang. Maka Dewa Kala pun harus menyantap Rare Kumare meskipun adik kandungnya sendiri, Nah cerita ini berkembang disebut Sapuh Leger.

sapuh leger

Image by: Jawa Post

Kata Sepuh Leger berasal dari kata Sepuh dan Leger yang artinya pembersihan dari kekotoran dan masyarakat lakon ini ditampilkan melalui pertunjukkan wayang, secara keseluruhan “ Wayang Sapuh Leger adalah drama ritual dengan sarana pertunjukkan wayang kulit yang bertujuan untuk pembersihan atau penyucian diri seorang akibat tercemar atau kotor secara rohani.

Di masyarakat berkembang adanya suatu pertanyaan sekaligus pendapat tentang hal itu, yaitu yang benar dan patut tentang “dalang brahman atau brahmana dalang”. untuk hal itu, disamping sebagai wujud bhakti kehadapan Ida Bhatara Kawitan dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan juga sebagai pelaksanaan bhakti sosial kehadapan umat hindu juga untuk memberikan pemahaman kehadapan umat hindu tentang pelaksanaan upacara Sapuh Leger baik dari segi tata laksana proses dan yang berhak dan berkewenangan untuk “muput”.

Sesuai dengan apa yang disebutkan di depan tentang pemberian suatu pemahaman perihal pelaksanaan upacara Sapuh Leger, pada kesempatan ini disampaikan beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang Amengku Dalang (baca: Dalang Mpu Leger) yang berkewenangan sebagai pemuput dan dibantu oleh yang lainnya, adalah sebagai berikut :
Dalang seharusnya seorang Dalang Brahmana yaitu seorang Pandita sebagai Dalang dan atau yang berlatar belakang dalang yang disebut Ida Mpu Leger.
Beliau adalah seorang Mpu Leger yang mampu dan paham serta menguasai Ketattwaning / Dharma Pewayangan.
Beliau juga tahu dan paham serta menguasai mantram pengelukatan seperti : Agni Nglayang, Asta Pungku, Dangascharya, Sapuh Leger serta mantram pengelukatan lainnya.
Beliau memang benar-benar mampu dan menguasai Gagelaran sebagai seorang Pandita (Mpu Leger) dan dalam segala tindak tanduk dan tingkah laku tiada terlepas dari Sesana Kawikon (siwa sesana) antaranya sebagai Sang Satya Wadi, Sang Apta, Sang Patirthan Dan Sang Penadahan Upadesa (siwa-sadha siwa-parama siwa).

UPAKARA

Sesuai dengan apa yang disebutkan dalam beberapa lontar penunjang, khususnya Lelampahan Wayang Sapuh Leger disamping juga atas petunjuk dan hasil wawancara (baca: Nunasang) kehadapan Ida Pandita Mpu Leger tentang pelaksanaan Upacara Bebayuhan Weton Sapuh Leger, maka dapat disebutkan bahwa untuk upacaranya sebagi berikut :

1. Umum.

Untuk upakara dimaksud adalah dihaturkan kehadapan-Nya bagi sang maweton secara keseluruhan antaranya :

  • Ngadegang Sanggar Tuttuan / Tawang (sanggar tawang ).
  • Ring Sor Surya : Caru mancasata

Banten Panebasan Sang Maweton :

  • Banten arepan Kelir :
  • Ring Lalujuh Kelir
  • Banten Sang Dalang Mpu Leger : Bebangkit Asoroh
  • Genah tirtha Mpu Leger, Sangku Suddhamala
  • Tebasan Sungsang Sumbel
  • Tebasan Sapuh Leger :
  • Tebasan Tadah Kala :
  • Tebasan Penolak Bhaya :
  • Tebasan Pangenteg Bayu :
  • Tebasan Pengalang Hati :
  • Sesayut Dirghayusa ring Kamanusan :
  • Daksina Panebusan Bhaya :

Medudus Luwun setra lan luwun pempatan, luwun pasar,gumpang injin,gumpang ketan,gumpang padi , rambut Ida Pandita lan menyan, dengan upakara suci pejati lan segehan panca warna ditempatkan di pane . semua proses ini dilakukan didepan angkul angkul baru dilanjut kan dengan pelukatan secara bersama sama ring pemedal lebuh..

Tirta pemuput :

  • Tirta Kelebutan
  • Tirta Campuan
  • Tirta Segara
  • Tirta Melanting
  • Tirta Pancuran
  • Tirta Tukad Teben Seme/Setra
  • Tirta Padmasari ring Sekrtariat
  • Tirta Merajan soang soang
  • Tirta Pengelukatan Wayang
  • Tirta Jagat Nata
  • Tirta Pemuput/ Sulinggih

Khusus.
Disamping upakara secara umum di atas, untuk masing-masing dari mereka yang dibayuh dibuatkan upakara khusus sesuai hari kelahiran, antaranya berupa : Suci pejati, Praspengambean tumpeng 7 asoroh, daksina gede sesuai urip kelahiran, sesayut pengenteg bayu,merta utama, pageh urip dan disurya munggah Suci pejati, Bungkak Nyuh Gading lan pengeresik jangkep dan dilengkapi sesayut-sesayut sesuai dengan kelahiran ; :

  • Wetu Redite : Sesayut Sweka Kusuma –
  • Wetu Soma : Sesayut Nila Kusuma Jati / Citarengga
  • Wetu Anggara : Sesayut Jinggawati Kusuma / Carukusuma –
  • Wetu Budha : Sesayut Pita Kusuma Jati / Purnasuka
  • Wetu Wraspati : Sesayut Pawal Kusuma Jati / Gandha Kusumajati –
  • Wetu Sukra: SESAYUT RAJA KUSUMA JATI / WILET JAYA RAJA DIRA
  • Wetu Saniscara : Sesayut Gni Bang Kusuma Jati / Kusuma Gandha Kusuma

Beberapa tattwa atau filsafat yang dipakai rujukan pada pelaksanaan Upacara Bebayuhan Sapuh Leger ini salah satunya rujukan dari:

  • Lontar Kala Purana ( Pusdok Denpasar lembaran 1 s/d 89).
  • Lelampahan Wayang Sapuh Leger (K 2244) 1 s/d 100 dan bebantenannya.
  • Kidung Sapuh Leger (645).
  • Pedoman Pelaksanaan Bebayuhan Sapuh Leger Oleh Ida Bgs Puja
  • Warespati Tatwa lan Bebayuhan Oton
  • Upacara Bebayuhan Weton Sapuh Leger MGPSSR Kecamatan Gianyar 2010
  • Wayang Sapuh Leger Fungsi dan Maknanya dalam Masyarakat Bali Oleh I Dewa Ketut Wicaksana.

Umat Hindu di Malang, Membangun Diri


Dari segi kuantitas jumlah umat Hindu di Kabupaten Malang, kurang lebih 23.871 orang (survey tahun 2006). Persebaran umat Hindu di kawasan Kabupaten Malang umumnya berpola enclaves atau mengantong di antara umat heterogen. Kantong-kantong umat Hindu di Kabupaten Malang adalah di daerah Wagir, Pakisaji, Ngajum, Kalipare, Ampelgading, Kasembon, Singosari.
Dari segi sosial ekonomi, secara umum sebagian besar umat Hindu di Kabupaten Malang masih hidup secara sederhana dan bekerja di sektor pertanian, sebagian kecil telah memasuki sektor modern, seperti sektor birokrasi, militer, pendidikan dan swasta. Tingkat pendidikan dari umat Hindu rata-rata ialah SD.

Aktivitas kerohanian Hindu di Kabupaten Malang didukung oleh sarana prasarana spiritual, yaitu Pura dan Sanggar Pamujaan yang jumlahnya mencapai kurang lebih 50 bagunan pura dan sanggar. Dengan kondisi fisik bangunan rata-rata masih memerlukan pemeliharaan. Sedangkan aktivitas pendidikan Hindu secara formal ditunjang oleh keberadaan 5 TK, 2 SMP dan 1 SMA yang berbasis Hindu. Untuk pendidikan informal ditunjang dengan kegiatan pasraman di kantong-kantong umat Hindu.

Sementara itu, sebagaimana diketahui, bahwa pembentukan karakter seseorang yang berwawasan global dan berkepribadian lokal bisa dilakukan melalui pendidikan yang berjenjang, berkualitas, berkelanjutan. Dengan pendidikan seseorang mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang luas. Pendidikan bisa didapatkan melalui lembaga pendidikan formal, informal dan nonformal. Kualitas manajemen lembaga pendidikan sangat mempengaruhi kualitas pendidikan yang diberikan. Tersedianya fasilitas yang memadai juga bisa memberikan nilai tambah terhadap kualitas pendidikan yang diberikan.

Pasraman Dharma Widya
Pembentukan Pasraman Dharma Widya dimotori oleh sekelompok generasi muda Hindu Desa Jedong yang independent dan mempunyai kepedulian terhadap perkembangan dan peningkatan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) Hindu serta keinginan untuk berbuat yang nyata dan bermanfaat bagi sesama.

Akhirnya generasi muda Hindu Desa Jedong ini membentuk sebuah wadah yang bisa mewadahi lembaga pendidikan Hindu nonformal dalam bentuk perkumpulan Dharma Siddhi Group. Lembaga yang dimaksud adalah lembaga yang memberikan layanan pembinaan pendidikan Hindu berupa Pasraman. Setelah melakukan rapat koordinasi dan sosialisasi akhirnya disepakati sebuah nama untuk pasraman yang ada di Desa Jedong. Nama pasraman tersebut adalah Pasraman Dharma Widya.

Adapun makna dari Pasraman Dharma Widya adalah: Kata “Pasraman “ berasal dari kata “Asrama” (sering ditulis dan dibaca ashram) yang artinya tempat berlangsungnya proses belajar mengajar atau pendidikan. Kata Asrama mendapat awalan “pa” dan akhiran “an”, di dalam bahasa Jawa Kuno dan Bali berarti tempat berlangsungnya pendidikan, yang maknanya sama dengan kata Ashram di atas. Pendidikan Pasraman menekankan pada disiplin diri, pengembangan pemikiran mulia dan sifat – sifat rajin, suka bekerja keras, pengekangan hawa nafsu dan gemar menolong orang lain.

Konsep Pasraman diadopsi dari sistem pendidikan Hindu jaman dahulu di India sebagaimana disuratkan dalam kitap suci Veda. Sistem ashram menggambarkan hubungan yang akrab antara para guru (acarya) dengan para siswanya (sisyanya), bagaikan dalam keluarga, oleh karena itu sistem ini dikenal pula dengan nama sistem pendidikan “gurukula”. Proses pendidikan Pasraman itu masih tetap berlangsung sampai saat ini dikenal pula dengan istilah lainnya yakni Sampradaya atau Parampara, yang di Jawa dan Bali dikenal dengan istilah Padepokan atau Aguron – guron. Kata Dharma mempunyai arti kebenaran dan kewajiban. Sedangkan kata Widya mempunyai arti ilmu pengetahuan suci. Jadi Pasraman Dharma Widya mempunyai makna tempat mendidik dan mendapatkan ilmu pengetahuan suci berdasarkan Dharma.

Pasraman Dharma Widya diresmikan oleh Bapak Sujud Pribadi selaku Bupati Malang, Bapak Agus Supriyono selaku Pembimas Hindu Propinsi Jawa Timur dan Bapak Ida Bagus Suardika selaku Ketua PHDI Kabupaten Malang pada tanggal 25 Oktober 2007.

Untuk menjalankan aktifitasnya, Pasraman Dharma Widya memiliki 9 orang dewan guru yang mengajar berbagai mata pelajaran, seperti, Agama Hindu, Moderator dan Dharma Wacana, Bahasa Inggris, Bahasa Sanskerta, Karawitan, Upakara, Pengkajian Weda, Mantra, Bahasa Jawa, dan lain-lain.

Sehubungan dengan semakin meningkatnya kebutuhan, mengingat Pesraman ini kini mendidik takkurang dari 91 siswa, maka direncanakan melakukan pengembangan prasarana Pesraman. Di antaranya meliputi pengadaan, ruang belajar, komputer, internet, koperasi, bangku, gamelan, dan lain-lain. Diperkirakan pengembangan ini membutuhkan dana sekitar Rp 156.550. 000. Maka melalui kesempatan ini, umat Hindu Malang berharap uluran tangan umat se dharma untuk ikut bahu membahu menyukseskan yadnya ini.

Untuk informasi lebih lanjut saudara se dharma bisa mengontak: Pasraman “ DHARMA WIDYA” Wiyata Graha Dharma Widya. Sekretariat: Dusun Sawun RT 01 RW 03 Desa Jedong Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang Propinsi Jawa Timur 65158. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP): 31.186.363.3-654.000. Nomor Rekening BRI: 6368.01.006281.531 An. Pasraman Dharma Widya. Telephone : (0341) 863-2010 CP 081-555-217-91. Email: pasraman_dharmawidya@yahoo.co.id

 

 

 

%d bloggers like this: