Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Daily Archives: March 5, 2018

Pertanian dalam Budaya Bali


Meski sudah memasuki zaman modern dengan peralatan pertanian yang canggih, sejumlah petani di Tabanan masih mengandalkan alat-alat pertanian tradisional. Pola tanamnya juga mengikuti tradisi yang diwariskan para leluhur, lengkap dengan rentetan ritualnya. Made Joni (50), salah seorang petani di wilayah Kecamatan Penebel, Tabanan mengakui, para petani di Tabanan masih eksis melakukan beragam upacara yang berkaitan dengan pertanian.

“Kami percaya melalui ritual pertanian ini akan diberikan kemudahan dan kelancaran mulai dari proses tanam hingga masa panen,” ujarnya. Beragam upacara pertanian tetap dilakukan, mulai dari upacara Mapag Toya, yaitu upacara menjemput air ke sumber mata air. Upacara ini biasanya diikuti oleh seluruh anggota subak dan dilakukan pada Sasih Ketiga atau sekitar bulan September. Selanjutnya, Kempelan, yaitu kegiatan membuka saluran air ke sumber aliran air di hulu subak, selanjutnya air mengaliri sawah (bulan September).

Kemudian upacara Ngendag Tanah Carik, yaitu upacara memohon keselamatan kepada Tuhan saat membajak tanah sawah dan dilakukan oleh masing-masing anggota subak. Prosesi ini masih dilaksanakan pada Sasih Ketiga (bulan September). Ngurit, yaitu upacara pembibitan yang dilakukan oleh semua anggota subak pada masing-masing tanah garapannya. Biasanya dilakukan pada Sasih Kelima (sekitar bulan November).

Lalu, upacara Ngerasakin, yaitu upacara membersihkan kotoran (leteh). Konom ketika melakukan pembajakan sawah ada leteh (kotor) dan prosesi ini dilakukan setelah pembajakan selesai di masing-masing tanah garapan pada awal Sasih Kepitu (awal bulan Januari). Upacara Pangawiwit, yaitu upacara mencari hari baik untuk mulai tanam padi yang juga dilakukan sekitar Sasih Kepitu.

Upacara Ngekambuhin, yaitu upacara meminta keselamatan anak padi yang baru tumbuh yang dilakukan pada saat padi berumur 42 hari pada Sasih Kewulu (bulan Februari). Upacara Pamungkah, yaitu upacara memohon keselamatan agar tanaman padi dapat tumbuh dengan baik. Upacara ini juga dilakukan pada Sasih Kawulu. Upacara Penyepian, yaitu upacara memohon keselamatan agar tanaman padi terhindar dari hama/penyakit dan dilakukan Sasih Kesanga sekitar bulan Maret.

Pangerestitian Nyegara Gunung, yaitu melaksanakan upacara nyegara gunung yang dilakukan di Pura Luhur Petali dan Pura Luhur Pekendungan. Biasanya dilaksanakan di bulan Maret atau April. Kemudian, upacara Masaba, yaitu upacara sebelum panen yang dilakukan Sasih Kedasa oleh anggota subak di sawahnya masing-masing. Lalu, Ngadegang Batari Sri (Batara Nini), yaitu upacara secara simbolis memvisualisasikan beliau sebagai Lingga-Yoni. Upacara Nganyarin, yaitu upacara mulai panen yang dilakukan pada Sasih Sada (bulan Juni) oleh anggota subak pada masing-masing sawahnya. Baru akhirnya Manyi, yaitu kegiatan memanen padi di bulan Juli.

Tahapan-tahapan upacara tersebut tidak hanya hingga padi siap dipanen. Usai kegiatan panen padi pun para petani juga melakukan sejumlah ritual upacara seperti upacara Mantenin, yaitu upacara menaikkan padi ke lumbung atau upacara menyimpan padi di lumbung yang dilaksanakan pada Sasih Karo atu bulan Agustus. “Sebenarnya ini rutinitas dilakukan oleh petani di areal garapan mereka. Hanya mungkin tidak bersamaan,” ujar Made Joni.

Kegiatan bertani yang masih mempergunakan cara-cara tradisional seperti mencangkul, nampadin (membersihkan pematang sawah), membajak sawah, meratakan tanah sawah, bahkan kegiatan nandur atau tanam padi.

Sumber: Puspawati l Majalah Bali Post Edisi 105 Hal. 48

PURA BATU BOLONG DI LOMBOK BARAT


Pura Batubolong berlokasi di Jalan Raya Senggigi kurang lebih 13 Km dari Kota Mataram dan dibangun diperkirakan pada pertengahan abad ke‑XV oleh Danghyang Nirartha. Beliau datang ke Lombok untuk kedua kalinya pada tahun 1533 Masehi menggunakan Perahu Layar milik seorang Nelayan Suku Sasak‑Lombok yang terdampar di Pantai Ponjok Batu Desa itulah perbatasan antara Kabupaten Beleleng dan Karangasem‑Bali.

Pada saat itu seorang nelayan ditemukan dalam kondisi kritis karena berhari‑hari tidak makan kemudian perahunya rusak dan bocor terombang‑ambing arus gelombang laut serta angin kencang akhirnya nelayan tersebut selamat atas pertolongan Sang Resi dan masyarakat pesisir Pantai. Kemudian bermodal Perahu Layar yang rusak dan bocor tadi Sang Resi bersama seorang Nelayan tersebut dapat menyebrangi Selat ­Lombok dengan menyisir pantai utara Pulau Lombok. Anehnya selama perjalanan, air laut betul­betul landai dan tenang serta ditambah dengan hembusan angin barat sehingga dalam waktu sekejap Sang Resi dan seorang Nelayan tadi sampai di Pesisir Pantai Enjung Ukur/Bukur Dusun Malimbu Desa Malaka Kecamatan Pemenang Lombok‑ Utara Kabupaten Lombok Barat.

Image by: Manacikapura

Disana beliau beristirahat dan melaksanakan semadi sehingga sampai sekarang ada kita jumpai Pura Tanjung Ukur/Bukur dan 2 km arah tenggara kita jumpai Pura Teluk Sekedik dimana sampai saat ini tetap ajeg sering dikunjungi umat.

Dari Teluk Sekedik beliau melanjutkan perjalanan kearah utara sampai di Enjung Kaprus karena disaat air laut pasang disana dapat kita jumpai sebuah gua kecil bila kena deburan ombak yang keras akan mengeluarkan semburan air ke atas dengan ketinggian bisa mencapai sepuluh meteran sehingga pura yang ada disana disebut Pura Kaprusan.

Beranjak dari Pura Kaprusan Sang Resi menyisir pantai arah timur kurang lebih 3 km dan sampailah beliau di Karang Bolong untuk beristirahat. Dalam peristirahatan itulah beliau mendirikan Pelinggih di Enjung Karang Bolong untuk melaksanakan Semadi dan sekarang kita kenal dengan sebutan Pura Batubolong karena di Enjung itu terdapat Batu besar yang berlubang atau bolong.

Batu besar yang berlubang/bolong tersebut sering dijadikan jalan penyebrangan oleh masyarakat setempat dari Pantai Duduk ke Pantai Ejung Karang Bolong pada saat‑saat air surut karena pada abad ke‑XVIII jalan raya sekarang ini belum ada. Beranjak dari Karang Bolong Sang Resi kembali menyisir pantai ke arah tenggara melalui kokol meniti (Kali Meninting) dan Kokol Jangkok (Kali Jangkok) kemudian dari Ampenan Sang Resi melanjutkan perjalanannya menuju Karang Medain, Lingsar dan Suranadi.

Di Suranadi Sang Resi banyak memberikan pelajaran kerohanian kepada masyarakat setempat tentang Kalpasastra dan Phalakerta serta ajaran keseimbangan hidup yang di kenal dengan Sukerta Tata Pawongan, Sukerta Tata Palemahan dan Sukerta Tata Pagaman.
Artinya keharmonisan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungannya dan manusia dengan Tuhan Pencipta jagad raya ini yang sering disebut TRIHITA KARANA.
Sejalan dengan konsep ajaran Sang Resi sampai sekarang dapat kita jumpai ditengah-tengah masyarakat Suku Sasak dan Suku Bali ada di‑Lombok tetap dapat menjalin rasa persatuan dan kesatuan serta budaya gotong-royong terutama pada saat acara‑acara kekeluargaan.

Selanjutnya kembali kita menengok Pura Batubolong bahwa keberadaannya sesuai dengan konsep Khayangan Jagad di‑Bali yang selalu mengambil tempat di gunung dan di tepi pantai dekat laut, karena secara kasat mata gunung dan laut memberikan nuansa panorama yang indah dan segar tetapi mampu memberikan getaran spriritual yang berdimensi kearah kesucian, kekhusukan dan kedamaian.

Secara filosofis, konsepsi segara gunung adalah simbol Purusa‑Predana sebagai lambang kehidupan jasmani dan rohani yang seimbang sehingga dapat mendorong kearah penghayatan dan keheningan dalam mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.
Apabila dilihat dari sisi tempat Pura Batubolong sangat ideal sekali karena perpaduan antara gunung dan laut menjadi satu kesatuan yang utuh sehingga tidak mengherankan Pura Batubolong sangat dikenal dan banyak dikunjungi, tidak saja oleh umat Hindu sendiri tapi touris-­touris domestik maupun mancanegara.

Melihat keberadaan Pura Batubolong yang indah dan alami pada pertengahan abad ke‑XVI secara berangsur‑angsur terus dibenahi oleh umat yang berdomisili di Karang Ujung Ampenan dan Kampung Tanambet artinya masyarakat‑nya sebagian besar melek aksara sehingga sekarang lebih dikenal dengan sebutan Dusun Tanah Embet Desa Batulayar Kecamatan Batulayar Kabupaten Lombok Barat.
Kemudian bila kita membaca Awig‑awig Banjar Tanah Embet yang sudah ada sejak 1782 Masehi, di Dusun ini banyak tokoh‑tokoh agama/ masyarakat yang sudah mengabdikan diri mengadakan perbaikan‑perbaikan atau renopasi di Pura Batubolong seperti ; I Wayan Kusamba, I Made Pedoman dan I Gde Sari pada jaman nyeneng Anak Agung Dewata Sakti.
Kemudian I Wayan Siman dan I Wayan ‘Sari pada jaman nyeneng Anak Agung Dewata Ring Rum dan I Gde Nakti, Mangku Gde Subrata, Mangku Gde Drawi, Mangku Made Nagging dan I Made Teges pada jaman nyeneng Anak Agung Ngurah awal abad ke‑XIX.
Selanjutnya di era tahun 1970‑1980‑an sampai sekarang Pujawali Pura Batubolong dilaksanakan setiap tahunnya pada Purnamaning Kasa atau Srewana sekitar bulan Juni dan Juli.
Sedangkan pelaksanaan upacara dan upakara Pujawali di emong oleh 7 krama banjar yang ada di kecamatan Batulayar dan dikoordinir oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia Kecamatan Batulayar.

Fakta Menarik

  • Dapat melihat Gunung Agung di Pulau Bali dari atas Pura Batu Bolong.
  • Pura Batu Bolong kerap dijadikan sebagai obyek wisata spiritual.
  • Terdapat mata air berupa telaga dengan air jernih berwarna biru.
  • Sumber mata air yang berada di Pura Batu Bolong diyakini mampu menyembuhkan beberapa penyakit kulit, seperti gatal-gatal, panu juga jenis penyakit kulit lainnya.

Mitos
Menurut legenda masyarakat setempat, dahulu sering diadakan upacara pengorbanan seorang perawan untuk dipersembahkan kepada hiu sang penguasa lautan kala itu. Legenda lain mengisahkan bahwa banyak wanita yang patah hati menerjunkan diri ke laut di tempat ini. Menarik bukan, jika kita membayangkan seorang perawan diterjunkan dari puncak karang ini dan disambut oleh seekor hiu di bawahnya. Wuiiih, seram!

Terima kasih: Leak Bali

Merayakan Nyepi dengan Khidmat


Image by: Info Denpasar

Sebagai umat Hindu kita harus menyadari dan mengerti bagaimana merayakan Nyepi dengan khidmat. Beberapa waktu lalu PHDI Bali mengeluarkan himbauan untuk tidak selfi pada saat Nyepi dan mengunggahnya ke media sosial seperti facebook, instagram, twitter dll. Himbauan ini tentu bukan tanpa alasan dari tahun ke tahun kita selalu mendapati perayaan Nyepi tidak sebagaimana mestinya. Adanya pelecehan terhadap Hari Raya Nyepi bukan tidak mungkin disebabkan kita sebagai umat Hindu tidak mengerti bagaimana seharusnya Nyepi dilaksanakan.

Nyepi yang merupakan perayaan suci agama Hindu dan sekaligus Tahun Baru Saka yang jatuh pada “Penanggal Ping Pisan Sasih Kadasa” menurut sistem kalender Hindu Nusantara, yaitu di saat Uttarayana (hari pertama matahari dari katulistiwa menuju ke garis peredaran di lintang utara), merayakannya dengan sepi yang kemudian bernama nyepi artinya membuat suasana hening, tanpa kegiatan (amati karya), tanpa menyalakan api (amati agni), tidak keluar rumah (amati lelungan), dan tanpa hiburan (amati lelanguan), yang dikenal dengan istilah Catur Brata Penyepian.

Selama meyambut hari raya nyepi, berbagai kegiatan yang di lakukan masyarakat untuk mempersipakan segala sesuatu, baik sarana maupun prasarana dalam proses upacara nanti seperti Tawur Agung Kesanga yang dilakukan sehari sebelun perayaan nyepi keesokan harinya. Upacara ini dilakukan tentu saja untuk persembahan manusia kepada para Bhuta Yadnya agar terjadi keseimbagan dan keharmonisan dalam menjaga hubungan erat antara manusia dengan alam sekitar (palemahan). Namun terkadang acara tersebut dipandang sebelah mata hanya dipersepsikan sebagai formalitas dan pelengkap hari raya nyepi. Hal tersebut bisa kita amati khususnya di Bali yang kental akan berbagai jenis upacaranya (ritualnya).

Selain itu hiruk-pikuk dalam perayaan nyepi sering sekali terjadi kejanggalan dan ketidak sesuain dengan konteks hari rayanya. Banyak masyarakat (Bali-Hindu) yang acuh tak acuh, merayakannya penuh dengan kemewahan, berpesta poria, minum-minuman keras di setiap gang-gang perumahan maupun balebanjar atupun wantilan dan yang sangat memprihatinkan sekali yaitu bahkan ada masyakat yang memanfaatkan moment ini (nyepi) untuk berjudi, karna hari ini merupakan hari libur nasionl yang ditetapkan oleh pemerintah, sehingga masyarakat(Bali-Hindu) menggunakan waktu senggang ini untuk bersenang-senang. Sangat lucu dan sekaligus mengherankan. Perayaan suci (nyepi) yang sangat disakralkan dan di hormati disambut dengan penuh kegemerlapan duniawi yang tak habis-habisnya sepanjang tahun. Kemungkinan banyak umat non Hindu di luar sana yang mengetahuinya dan berfikir, kenapa bisa seorang masyarakat Bali-Hindu yang taat dan disiplin akan ritual keagamaaan bisa-bisanya menyambut hari rayanya sendiri penuh dengan foya-foya dan bersenang-senang dengan berbagai kegiatan hiburan ?

Memang tidak bisa dipungkiri arus pariwisata global telah mengubah pola pikir dan karakter masyarakat. Tentu saja disini mereka tidak bisa menahan diri dalam arus materi yang diorientasikan demi untuk mencukupi kebutuhan hidup yang semakin kompleks dan menggila. Terlebih dari sektor itu berdampak signifikan dalam merusak alam Bali yang menjunjung tinggi ajaran Tri Hita Karana. Bali yang sekarang bukanlah Bali yang dikenal seperti dahulunya. Bangunan yang super megah dengan ketinggian yang melebihi peraturan yang diberikan telah di langgar dan sekaligus disepakati dengan jalan damai(kompromi), tanpa memperhitungkan dampak dari apa yang telah di sepakatinya tersebut. Semuanya itu hanyalah keteledoran manusianya sendiri, mau terjebak dalam dunia fana yang penuh dengan sajian keduniawiaan.

Sungguh ironis sekali, ketika ketidakberdayaan manusia dalam menahan hawa nafsu(kama) maka terjerumuslah ia dalam lembah muara keterpurakan yang meyesatkan. Tanpa menyadari ia sejatinya hanyalah manusia biasa yang merupakan ciptaan Tuhan yang penuh dengan kelemahan. Dalam hakikatnya menyambut perayaan agama seperti perayaan nyepi yang merupakan hari raya yang dijunjung tinggi umat Hindu-Bali sebenarnya harus dihormati dan di sambut dengan penuh kedamaian, keheningan, intropeksi diri dan menyelami sambil mempelajari kesalahan-kesalahan yang kita lakukan sebelumnya bukan meyambut dengan berbagai pesta poria yang penuh dengan kenikmatan duniawi. Karna waktu kehidupan bagi manusia sangat terbatas.

Entah kapan waktu akan mengakhiri kehidupan manusia dan dunia ini. Sebelum jatuh dan jauh dari penyesalan marilah sebagai masyarakat Hindu Bali khususnya, meyambut perayaan nyepi dengan penuh hikmat betul-betul menyadarkan diri sendiri dengan keyakinan yang kuat, meskipun belum bisa sepenuhnya melakukan catur brata penyepian, dengan tahap demi tahap serta proses pembelajaran bukan tidak mungkin hal itu dapat kita capai, demi mencapai kesejahteran hidup lahir maupun batin.

Terima kasih kepada : Info Denpasar, Gazez Bali