Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Monthly Archives: February 2018

Perayaan Nyepi 2018


Nyepi Tahun 2018 menjadi hari Raya Nyepi yang spesial mengingat jatuh bersamaan dengan Hari Raya Saraswati. Menyikapi hal ini Sabha Parisadha Hindu Dharma Indonesia melaksanakan Pesamuhan Sabha pandita. Pesamuhan ini diikuti oleh sejumlah Pandita se-Indonesia untuk membahas Hari Suci Nyepi dan Saraswati yang jatuh pada tanggal yang sama.

Nyepi 2018

Image by: BDDN

Seperti dikutip dari https://bddn.org, Beberapa hal yang menjadi keputusan Pesamuhan Sabha Pandita Nomor: 07/KEP/SP/PHDI/XII/2017 tertanggal 27 Desember 2017 adalah sebagai berikut:

Pertama, dalam pelaksanaan Hari Suci Nyepi dilakukan Catur Bratha yakni Amati Karya, Amati Gni, Amati Lelungan dan Amati Lelanguan. Upacara Hari Suci Saraswati tetap dilaksanakan dengan upacara (ritual) unsur karya, unsur gni dan unsur lelanguan.

Terjadinya pelaksanaan pada hari yang sama dengan suasana yang berbeda mengingat Hari Suci Nyepi bersifat Niwrtti (spiritualitas), sementara Hari Suci Saraswati bersifat Prawertti Kadharma (ritualitas) merupakan anugrah yang istimewa dan sangat utama.

Kedua, pedoman pelaksanaan hari suci tersebut sebagai berikut:

Perayaan Hari Suci Saraswati dan upakara yadnya dilakukan harus selesai pada pukul 06.00 waktu setempat pada Hari Sabtu tanggal 17 Maret 2018. Dalam pelaksanaan Puja Saraswati dan Upacara Tawur Sasih Kesanga sehari sebelum hari Nyepi, setiap desa atau panitia wajib melibatkan Pandita/Sadhaka di wilayah propinsi, kabupaten/kota, Kecamatan atau Desa secara profesional. Pelaksanaan Hari Suci Nyepi dengan Catur Bratha-nya dilaksanakan pada tanggal 17 Maret 2018 mulai pukul 06.00 sampai dengan tanggal 18 Maret 2018 pukul 06.00 waktu setempat.

Umat Hindu Indonesia wajib melaksanakan dharma santhi sebagai rangkaian akhir perayaan Hari Suci Nyepi yang dikoordinir oleh Parisada setempat bekerja sama dengan lembaga keagamaan/keumatan masing-masing daerah.

Selamat Hari Raya Nyepi 2018 & Hari Raya Saraswati.

Salah Pati dan Ngulah Pati


Dalam keseharian kita tentu pernah mendengar seseorang meninggal akibat kecelakaan dijalan raya, meninggal akibat dirampok atau meninggal karena bunuh diri. Bagaimana kita membedakan kematian tersebut berdasarkan penyebabnya? dan bagaimana dengan upacaranya, apakah sama dengan kematian biasa ?

kecelakaan
Masyarakat Bali mengenal istilah Salah Pati dan Ngulah Pati. Kematian disebut “salah pati” jika kematian tersebut tidak dikehendaki akibat dari musibah/kecelakaan misal: kecelakaan kerja atau kecelakaan lalu lintas Sedangkan kematian disebut “Ngulah Pati” Jika kematian tersebut akibat aksi bunuh diri.
Dikutip dari Babad Bali, Pengertian Salah Pati dan Ngulah Pati sebagai berikut:

Salah Pati: Mati yang tak terduga-duga atau yang tidak dikehendaki, Misalkan:

  • Mati jatuh (kerubah baya).
  • Mati ketekuk (kastha bahaya).
  • Mati dimangsa macan, dimangsa buaya, ditanduk sapi, disambar petir, tertimpa tebing dan lain- lainnya (keserenggara).

Ngulah Pati: Mati karena sesat, yang mengambil jalan pintas, serta sengaja dikehendaki, yang sangat bertentangan dengan ajaran- ajaran agama Hindu. Misalkan:

  • Mati meracun diri.
  • Mati menggantung diri.
  • Mati menembak diri.
  • Mati menceburkan diri
    dan lain- lainnya.

Pelaksanaan upacara/ upakara.

Berdasarkan hasil Pesamuhan Agung Para Sulinggih dan Walaka di Campuhan Ubud, tertanggal 21 Oktober 1961 yang telah memutuskan bagi orang mati salah pati dan ngulah pati diupacarai seperti orang mati normal dan ditambah dengan penebusan serta diupacarai di setra atau tunon.

Setiap orang meninggal harus diupacarai sesuai dengan ajaran sastra agama Hindu
Khusus bagi yang ngulah pati, upacara/ upakara ditambah dengan banten pengulapan di tempat kejadian, perempatan/ pertigaan jalan dan cangkem setra:
Banten pengulapan dipersatukan dengan sawanya baik mependem maupun atiwa- tiwa.

Mengenal Tumpek Wayang


Salah satu rahinan Tumpek dalam masyarakat Bali adalah Tumpek Wayang, diperingati setiap 6 bulan sekali jatuh setiap hari Sabtu Kliwon Wuku Wayang. Tumpek Wayang merupakan puja walinya Sanhyang Iswara pada hari ini umat Hindu Bali menghaturkan upacara menuju keutamaan tuah pratima-pratima dan wayang, juga kepada semua macarn benda seni dan kesenian, tetabuhan, seperti: gong, gender, angklung, kentongan dan lain-lain.

Image by: Bali Soul Mate

Bebantennya yaitu : suci, peras, ajengan, sedah woh, canang raka, pesucian dengan perlengkapannya dan lauknya itik putih.

Upakara dihaturkan kepada Sanghyang Iswara, dipuja di depan segala benda seni dan kesenian agar selamat dan beruntung dalam melakukan pertunjukan-pertunjukan, menarik dan menawan hati tiap-tiap penonton.

Untuk pecinta dan pelaku seni, upacara selamatan berupa persembahan bebanten: sesayut tumpeng guru, prayascita, penyeneng dan asap dupa harum, sambil memohon agar supaya mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dalam menciptakan majunya kesenian dan kesusastraan.

Ada kepercayaan pada masyarakat Bali, bahwa orang yang lahir pada Wuku Wayang (lebih lebih pada Tumpek Wayang) merupakan hari kelahiran yang cemer, mala serta melik (kepingit). Dan kebanyakan orang tua yang mempunyai anak lahir pada wuku wayang merasakan ketakutan dan was was atas kelanjutan kehidupan anaknya.

Kebanyakan yakin dengan adanya cerita Geguritan Suddamala yang menceritakan; Dewa Siwa pura pura sakit keras, dan mengutus Dewi Uma mencari Lembu Putih dialam fana sebagai obat. Dan sebelum susu didapat Dewi Uma tidak dipekenankan kembali ke Siwaloka, Sang dewi sangat patuh melaksanakan perintahnya, singkat cerita Dewi Uma menemukan Lembu Putih tersebut, ternyata untuk mendapatkan susu lembu dewi uma harus melakukan hal yang tidak terpuji yaitu harus mengorbankan kehormatannya dengan si gembala . Dan atas perbuatannya itu Dewa Siwa mengutuk Dewi Uma menjadi Dewi Durga, berujud raksasa dan tinggal di Setra Gandamayu.

Dan selanjutnya dari hubungan itu lahirlah seorang anak bermasalah yaitu Dewa Kala sosok makhluk raksasa yang menyeramkan yang konon lahir pada Sabtu Kliwon Wuku Wayang (terkenal dengan Tumpek Wayang). Putra dari Dewa Siwa yang menyamar sebagai pengembala, merasa bertanggung jawab dengan penyamarannya mengakui Dewa Kala putranya. Atas pertanyaan Dewa Kala makanan apa yang bisa disantap, Dewa Siwa memberi Ijin kepada putranya orang yang lahir menyamai kelahiran Dewa Kala sendiri dan. Ternyata, putra siwa berikutnya yakni Rare Kumare lahir di Tumpek Wayang. Maka Dewa Kala pun harus menyantap Rare Kumare meskipun adik kandungnya sendiri, Nah cerita ini berkembang disebut Sapuh Leger.

Menurut lontar Sapuh Leger dan Dewa Kala, Batara Siwa memberi izin kepada Dewa Kala untuk memangsa anak/orang yang dilahirkan pada wuku Wayang (sumber: Koleksi Lontar Gedong Kirtya, Va. 645).

Atas dasar isi lontar tersebut, maka diyakini bahwa seorang anak  yang dilahirkan bertepatan pada wuku Wayang, demi keselamatan sang anak masyarakat Bali berusaha mengupacarai dengan didahului mementaskan Wayang Sapuh Leger. Upacara tersebut dikenal dengan upacara sapuh leger.

Diolah dari berbagai sumber.

%d bloggers like this: