Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Daily Archives: March 6, 2018

Tridatu sebagai Penolak Wabah


Tabik Pakulun. Tridatu selain sebagai simbol Trimurti (Brahma, Wisnu dan Siwa) ada sebuah mitology yang berkembang dikalangan masyarakat Bali tentang keyakinan terhadap grubug atau wabah menjelang sasih Kanem dan Kapitu. Pada seputar kedua sasih inilah akan banyak dijumpai krama Bali mengenakan benang tri dathu di pergelangan tangannya.

Menurut Jro Mangku Oka Swadiana dari Kerobokan, Badung, pemakaian benang tridatu bagi sebagian orang diidentikkan dengan Ida Bhatara Ratu Gede Dalem Sakti Mas Mecaling yang bersthana di Pura Dalem Ped. Dengan memakai benang tersebut orang-orang percaya bakalan dijauhkan dari gangguan ancangan Bhatara Dalem Ped, manakala ancangan beliau melawat di tengah-tengah masyarakat Bali antara sasih Kanem dan Kapitu.

Bagi Jro Mangku Oka, melawatnya ancangan Ratu Gede Dalem Sakti Mas Mecaling ke tengah-tengah masyarakat dalam rangka mengadakan evaluasi terhadap perilaku krama Bali. Pada masa-masa itu, konon mereka yang tergolong jadma tan pa kerthi (orang yang tidak berbhakti kepada Tuhan) akan menerima hukuman dari para ancangan tersebut.

Ciri-ciri mereka yang diganggu ancangan Bhatara Dalem Ped, seperti bingung, bengong, gundah gulana, sakit dan penderitaan lainnya. Sebaliknya, bagi krama yang sudah menunjukkan sradha bhakti ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi beserta semua manifestasiNya, maka semua ancangan tersebut tidak akan menyentuhnya.

Masih menurut Jro Mangku Oka, ada kalanya benang tridatu dilengkapi dengan pis bolong, bawang putih, mesui dan jangu. Dalam hal ini pis bolong sebagai simbol kemanunggalan dengan alam luhur (dewata), kesuna berwarna putih sebagai simbol Dewa Iswara (Siwa), dan mesui dengan karakter panasnya mewakili sifat Dewa Brahma, dan jangu yang sejuk sebagai simbol karakter Dewa Wisnu.

Benang tridatu dengan kandungan benda-benda tersebut biasanya dikenakan saat wabah menerjang di suatu wilayah. Tambahan mesui, kesuna, jangu dan pis bolong ini untuk memperkuat getaran magis benda tersebut, sehingga fungsinya semakin optimal. Tapi, benang tridatu yang dilengkapi dengan pis bolong ini tidak melulu dipakai sebagai gelang, karena ada kalanya digunakan sebagai kalung sebagai sikep atau pangraksa jiwa.

Berdasarkan praktik di tengah masyarakat, benang tridatu merupakan satu kesatuan dengan upacara. Ia merupakan bagian dari bebantenan, sehingga secara langsung benda ini dimohonkan kekuatan dari Ida Bhatara, sehingga memiliki power khusus. Jadi, tidak perlu pasupati khusus untuk bebang tri dathu, asalkan benang itu dibuat sebagai bagian bebantenan. Namun beberapa pengobat tradisional yang mengobati pasiennya, ada kalanya memberikan benang tridatu pada pasiennya. Menurut Jro Mangku Oka, benang tridatu jenis ini umumnya memerlukan pasupati khusus, supaya memiliki power penjaga, dan penyembuh serta pengusir roh-roh jahat. Berapa lama tuah benang tridatu ini bekerja? Menurut Jro Mangku, power magis benang tridatu akan terus bekerja selama benang itu masih melekat di badan dan fungsinya akan selesai bilamana benang itu lepas secara alamiah maupun sengaja dilepaskan.

Terima kasih: Gazez Bali

Artikel Lain:

  1. Makna Gelang Tridatu
  2. Tridatu sebagai Simbol Omkara
  3. Tridatu sebagai penolak Wabah

Tridatu sebagai Simbol Omkara


Tri berarti tiga dan datu berarti elemen atau warna. Jadi tri dathu adalah tiga warna yang terdiri dari merah, hitam dan putih sebagai lambang Brahma, Wisnu dan Iswara (Siwa). Tiga warna ini biasanya digoreskan pada tiang-tiang bangunan rumah, pura dan sebagainya pada saat membuat upacara pemlaspas, yaitu ritual yang bertujuan untuk menyucikan dan peresmian bangunan. Maksudnya untuk menjaga penghuninya supaya memperoleh kerahayuan dan segala bhuta kala yang hendak mengganggu dapat diredam. Demikian penjelasan Ketut Gina, dalam bukunya yang berjudul “Gambar dan Lambang.”

Warna yang dipakai pada tiang bangunan atau tempat suci biasanya berasal dari darah binatang yang disembelih sebagai hewan upacara, sebagai warna merah. Kemudian warna putihnya diperoleh dengan menggoreskan kapur sirih, sedangkan warna hitamnya berasal dari arang kayu.

Kehadiran lambang dan simbol dalam upacara Hindu di Bali tidak bisa dilepaskan dari praktik tantrik yang mengusung power atau sakti sebagai wadah. Tidak salah kemudian bila tiga warna ini memang dominan fungsinya untuk kepentingan magi, dalam hal ini magi protektif, sebagai pelindung.

Sejarawan, Dr. I Nyoman Wijaya, M. Hum, pernah mengungkapkan, bahwa warna merah, hitam dan putih yang dipandang sakral oleh umat Hindu sebenarnya berasal dari kebudayaan asli Nusantara, di mana ketiga warna tersebut dipercaya bernilai magis. Namun setelah budaya Hindu masuk Nusantara, ketiga warna ini diberi pemaknaan baru dengan filsafat Hindu, yaitu konsep Tri Murti: Brahma, Wisnu, Iswara (Siwa).

Kemudian bagaimana pemanfaatan tiga warna tersebut (tri dathu) untuk manusia? Jelas memang, untuk manusia mendapat perlakuan berbeda dibandingkan dengan bagaimana pemanfaatan warna-warna sakral itu pada bangunan maupun hewan. Bila untuk ngurip maupun melindungi bangunan baru atau bangunan suci dari vibrasi negatif, maka warna sakral itu dioleskan pada bangunan, sedangkan pada manusia digunakan sebagai gelang benang tri dathu.

Benang diikatkan pada lengan, maksudnya, mengikat atau melindungi urip atau hidup seseorang, karena benang tiga warna ini selain bermakna kemanunggalan Brahma, Wisnu dan Iswara, juga bermakna manunggalnya bayu, sabda dan idep, yang berarti jangkep-nya sang mahurip. Dari sisi magis, ketiga warna ini mewakili aksara Ang, Ung, Mang. Ketiganya manunggal menjadi aksara Om. Nyatalah benang tri datu merupakan sebuah mantra sakti, Omkara nada sebagai pelindung.

Selaian itu, pemakai benang tridatu diharapkan membawa vibrasi baik bagi pikiran pemakai benang tri dathu. Benang tri dathu disebut juga dengan benang tetebus. Ketut Donder dalam bukunya “Panca Dhatu, Atom, Atma dan Animisme” mengungkapkan, benang tridatu kerap digunakan saat upacara Manusa Yadnya serta pada upacara abhayakala (biakawon) pada hari raya Galungan.

Benang warna merah biasanya dililitkan pada pergelangan tangan, benang hitam dililitkan pada kaki dan benang warna putih disuntingkan pada telinga. Fungsinya untuk menenangkan pikiran, agar tidak terpengaruh oleh pengaruh negatif.

Ada kalanya yang dipakai adalah benang empat warna atau catur dhatu: putih, merah, hitam, kuning. Selain dipakai masyarakat, pemakaian empat warna juga nampak di sanggar agung, Besakih yang merupakan sthana Tuhan dalam manifestasi Wisnu, Brahma, Siwa dan Mahadewa. Empat warna benang ini juga bisa menyimbolkan catur loka pala, yaitu Indra, Baruna, Kuwera dan Yama. Apa pun itu, warna-warni tersebut selain memiliki arti filosofis dan secara etika indah sebagai gelang, juga berintikan kekuatan magis sebagai pangraksa jiwa pemakainya. Dan zaman modern ini pun telah diketahui secara ilmiah bahwa berbagai warna memiliki pengaruh kesehatan tertentu bagi organ-organ tubuh.

PURA AGUNG UDAYA PARWATA TAMBORA


Pura Agung Gunung Tambora yang terletak di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat ini sangat terkait dengan Perjalanan Danghyang Nirarta dari kerajaan Daha menuju Tambora sekitar tahun 1478-1560. Hal itu menurut Dr.Soegioanto Sastrodiwiryo dalam bukunya berjudul: Danghyang Nirarta: Sebuah Dharmayatra (1478-1560) dari Daha ke Tambora, jauh sebelum Gunung Tambora meletus (1815) pada bulan Phalguna 1532 Masehi.

Danghyang Nirarta yang telah berusia 80 tahun setelah melaksanakan Dharmayatra di Pulau Lombok, memutuskan berlayar menuju Pulau Sumbawa menggunakan perahu, disertai nelayan Lombok yang pernah dibantu saat mereka terdampar di Mojok Batu (di pantai/pura Ponjok Batu- sekarang) di Singaraja. Selanjutnya, beliau melewati Teluk Taliwang hingga berlabuh di Teluk Sumbawa.

Kedatangan Danghyang Nirartha disambut Kepala Desa dan tokoh masyarakat setempat yang kebetulan saat itu kehidupan masyarakat di sana sedang kesusahan, akibat gagal panen akibat diserang hama penyakit. Atas permohonan kepala desa itu, akhirnya Danghyang Nirartha terpanggil membantu masyarakat petani dimaksud.
Beliau lantas memerintahkan masyarakat setempat untuk mengisi sawah dan ladangnya dengan padupaan yang berisi api dan kemenyan. Dengan memohon kepada Tuhan dan Dewa yang berstana di Gunung Tambora, keesokan harinya tiba-tiba hama penyakit berupa ulat dan belalang itu lenyap tanpa bekas. Karenanya, sejak itu masyarakat memanggil beliau dengan sebutan Tuan Semeru.

Mencermati sejarah Dharmayatra beliau, ada dua motivasi Danghyang Niratha melaksanakan Dharmayatra ke Pulau Sumbawa yakni, karena rasa kekaguman dan kerinduan yang mendalam untuk melihat Gunung Tambora ke dalam rasa keagamaannya membayangkan bagaimana Siwa (Tuhan) menjejakkan kakinya saat membangun tiga dunia. Beliau merasa bahwa jejak Siwa yang paling timur adalah Gunung Tambora. Beliau berharap agama Hindu masih bisa dipertahankan keajegannya di daerah ini.

Di samping itu, adanya hasrat yang besar untuk bertemu dengan kerabat leluhurnya yang merupakan seorang Brahmana Siwa yang sebelumnya diutus dan ditugaskan Raja Majapahit (tahun 1344 Masehi) untuk menaklukkan raja-raja di Sumbawa.
Setelah armada Majapahit di bawah pimpinan Mahasenopati Nala berhasil menaklukkan raja- raja yang ada di pulau Sumbawa. Danghyang Nirartha berharap dapat bertemu dengan putra-putri beliau, atau setidaknya bisa bertemu dengan cucu seangkatannya.
Setelah mendapat informasi dari penduduk Sumbawa, bahwa kerabatnya telah lama meninggal, Beliau pun melanjutkan perjalanan ke Gunung Tambora, masuk ke Teluk Saleh melewati celah antara pulau Sumbawa dan pulau Moyo dan akhirnya sampai di pelabuhan di lereng selatan Gunung Tambora.

Saat itu, Gunung Tambora yang puncaknya tampak perkasa sesekali mulai mengeluarkan asap dan lidah api. Di pelabuhan itu, beliau kemudian disambut penghulu kaya dan rajin. Penghulu itu ternyata telah lama mendengar kehebatan beliau, karenanya begitu bertemu dengan beliau, penghulu itu memelas agar bersedia membantu menyembuhkan anaknya yang telah lama menderita suatu penyakit dan sangat sulit disembuhkan serta berbagai upaya dan usaha telah dilakukan tetapi satu pun tidak berhasil.
Selanjutnya Danghyang Nirartha mencoba mengobati dengan segala kemampuannya. Akhirnya anak penghulu itu pun berhasil dibantu. Sebagai ungkapan terima kasih penghulu itu merelakan anaknya diajak ke Bali. Selama berada daerah ini, Danghyang Nirartha kerap melakukan payogan. Salah satunya adalah di sekitar lokasi Pura Agung Gunung Tambora dimaksud. Seperti halnya di tempat lain, di manapun beliau pernah beryoga, tempat itu selalu menjadi tersohor karena biasanya tempat dimaksud mampu memancarkan aura spiritual yang sangat tinggi. Tak heran jika sebagian besar jejak perjalanan beliau, kini dibangun sebuah tempat yang megah serta banyak umat yang datang memohon anugrah sekaligus tuntunan spiritual beliau, tak terkecuali di Pura Agung Gunung Tambora yang mampu memancarkan aura kesejukan, kedamaian, dan ketenangan serta spiritual yang sangat kuat dan tinggi.
Tanjung Menangis.

Setelah dirasa cukup menunaikan tugas sucinya, serta puas berada di daerah ini, lanjut Jro Mangku Gede Tambora yang mantan pengerajin perak dan emas ini, beliau memutuskan kembali ke Bali. Namun, masyarakat di sana merasa sangat kehilangan dan sedih ketika beliau mengutarakan niatnya itu, bahkan sejumlah warga bersikeras agar beliau tetap berada di sana, tetapi itu tidak mungkin dilakukan. Akhirnya, dengan berat hati, masyarakat itu melepas kepulangan beliau dengan rasa haru dan sedih.
Sebagai rasa hormat dan bhaktinya kepada beliau, masyarakat lalu mengantar beliau beramai- ramai sekaligus berpisah di sebuah tanjung yang kemudian tanjung itu diberi nama Tanjung Menangis. Dinamakan seperti itu karena kepergian beliau diiringi dengan isak tangis.

Selanjutnya beliau kembali melalui pantai utara Lombok, dan pada April Icaka 1455 tiba di pelabuhan Kusamba serta langsung menuju ibukota Gelgel. Sampai di Bali, anak penghulu yang dibawa itu diberi nama Denden Sari. Setelah dewasa Denden Sari kemudian dinikahkan dengan cucunya Danghyang Nirartha bernama Ida Ketut Buruan Manuaba. Merekalah kemudian menurunkan Klen Manuaba sampai saat ini.

Lebih jauh Jro Mangku yang dikenal kaya pengalaman ini menjelaskan, Pura Gunung Tabora yang terletak di kaki Gunung Tambora tepatnya 146 Km dari Kota Dompu ini, merupakan Pura Kahyangan Jagat yang ada di NTB. Pura ini sangat dikeramatkan umat Hindu di Kabupaten Bima, Dompu, dan Sumbawa serta penduduk lain di sekitar pura.

Setiap Pujawali yang jatuh pada Purnamaning Sasih Kasa, umat Hindu di tiga kabupaten dimaksud berduyun-duyun tangkil ngaturang sembah bakti memohon anugrah sekaligus tuntunan spiritual beliau, serta permohonan lainnya. Banyak permohonan pamedek yang dilakukan dengan penuh ketulusan dikabulkan oleh beliau, sehingga tak heran jika seiring berjalannya waku, terutama pada waktu dan hari-hari tertentu pura ini ramai dikunjungi umat Hindu bahkan umat non-Hindu dengan tujuan tertentu.

“Pura ini dibangun atas petunjuk Ida Peranda Gede Putra dari Griya Cempaka, Singaraja yang sedang melaksanakan tirtayatra ngetut pemargin Danghyang Nirarta ke Pulau Sumbawa. Lokasi pura ditentukan melalui petunjuk yang diterima Ida Peranda melalui konsultasi niskala dengan beliau yang berstana di pura ini, akhirnya di sinilah tempat yang paling tepat,” ujar Jro Mangku Gede Tambora menegaskan seraya menambahkan, bahwa lokasi di mana pura ini didirikan, diyakini sebagai tempat payogan Danghyang Nirartha saat melaksanakan dharmayatra di daerah ini.

Terima kasih: Leak Bali, https://visittambora.com

%d bloggers like this: