Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Daily Archives: April 6, 2018

Tradisi Upacara Neteg Pulu


Neteg = Enteg = Mantap
Memantapkan Pernikahan dan kehidupan Rumah Tangga

Ada yang unik dalam Upacara Nganten Neteg Pulu atau Melepeh. Karena tidak semua masyarakat Bali melaksanakan upacara ini. Tapi bagi kami di Desa Bualu, Nusa Dua upacara ini merupakan hal yang biasa walaupun tidak semua Orang melaksakannya. Sebutan lain untuk Neteg Pulu ada bermacam macam seperti Melepeh. Di Desa Bugbug Karangasem disebut dengan Mesih.

Image by: Kompas Life Style

Upacara dan Upakara Nganten Neteg Pulu lebih besar dari Ngaten Biasa, begitu juga dengan Pemimpin Upacara yang muput.

Sebenarnya upacara Nganten Neteg Pulu atau Melepeh adalah tahapan dari upacara perkawinan. Karena pada dasarnya
Tata pelaksanaan upacara perkawinan memiliki empat tahapan yaitu:

1. Upacara Mekala kalaan
2. Upacacara Mejaya-Jaya
3. Pewarangan atau Mejauman
4. Melepeh atau Neteg Pulu

Melepeh atau neteg pulu adalah merupakan runtutan upacara perkawinan, namun kenyataan yang berlaku di masyarakat, jarang sekali upacara melepeh ini dilaksanakan pada waktu upacara perkawinan tetapi kebanyakan upacara melepeh atau neteg pulu ini mencari hari tersendiri, kadang-kadang setelah umur lanjut baru dilaksanakan. Sehingga ada ungkapan
” Menikah yang Kedua ” atau
….. I Meme jak I Bapa Nganten atau I Pekak jak I Dadong Nganten …..
Neteg Pulu bisa juga dilakukan secara masal. Tapi sebenarnya Nganten Neteg Pulu bisa dilakukan saat Pasangan Suami Istri baru menikah atau flexibel masalah waktu pelaksanaannya

Semoga pernikahan langgeng.

Artikel diolah dari berbagai sumber.

Artikel lainnya:

  1. Mengenal Tradisi Mekotek
  2. Tradisi Upacara Neteg Pulu
  3. Tradisi Perang Tipat Desa Yeh Apit, Karangasem
  4. Tradisi Lukat Geni Desa Sampalan
  5. Tradisi Megoak-goakan Desa Panji
  6. Tradisi Nikah Massal Desa Pekraman Pengotan Bangli

Mengenal Keunikan Pura Nampesela Pupuan


Pernah mendengar Pura Nampesela, Pupuan? Pura Nampesela terletak diporos jalan Desa Padangan menuju Desa Kebon Padangan, tepatnya di ujung utara dari Banjar Kebon Padangan, Desa Kebon Padangan dan di wilayah Desa Pakraman Kebon Padangan Kecamatan Pupuan Kabupaten Tabanan,Bali. Pura Nampesela terbilang unik, uniknya wanita tidak diperkenankan masuk ke area pura. Aturan tidak tertulis ini sudah menjadi tradisi turun temurun di Desa Pekraman Padangan.

Ini tentu menjadi pertanyaan bagi umat hindu yang datang atau mendengar cerita pertama kalinya. Jero Mangku Pasek Padangan bercerita, konon menurut cerita turun temurun dan juga dari eedan atau wewidian bahwa Ida Bathara yang berstana di Pucak Luhur Batukaru selain mempunyai banyak putra, juga memiliki salah satu putri yang mengalami ketidaksempurnaan fisik atau cacat. Sebagai orang tua Ida Bathara tentu menerima kondisi fisik putrinya dengan lapang dada. Seiring waktu setelah sang putri menginjak dewasa, sang putri mendapat hinaan/cemoohan dari putri dan wanita-wanita lain, maka sang putri diungsikan pada tempat paling sor (paling bawah), dan hal ini membuat beliau merasa sedih dan kecewa. Sejak itulah, beliau tidak bersedia ditemui wanita manapun. Sampai akhir hayatnya ada bhisama beliau, bahwa beliau akan selalu melindungi dan memberikan cahaya kedamaian kepada seluruh masyarakat Padangan, namun tetap tidak bersedia disembah oleh wanita. Kemudian beliau distanakan di Pura Nampesela, dimana pura ini dalam jajaran pura yang ada hubungannya dengan Pura Luhur Pucak Kedeton, terletak paling sor atau paling bawah.

Dari rangkaian cerita itulah, nama Pura Nampesela berasal; kata Nampi berarti menerima, kata Sela atau Cela berarti cacat. Jadi, beliau menerima keadaan fisiknya yang cacat dengan apa adanya.

Odalan Pura Nampesela dilaksanakan dalam rangkaian Karya Ida Bathara Turun Kabeh, bertepatan dengan Purnama Kadasa setiap lima tahun sekali. Dalam rangkaian piodalan Bhatara Turun Kabeh ini, lanjutnya, barulah Pura Nampesela dibuka sehingga pamedek bisa tangkil dan menghaturkan bakti persembahyangan. Biasanya pelaksanaan piodalan di Pura Nampesela akan disiapkan sejak dua minggu sebelumnya.

Meskipun tidak ada aturan tertulis bahwa wanita dilarang masuk area pura namun tidak ada satu orang krama pun yang berani melanggar keyakinan atau kepercayaan turun temurun tersebut. Sehingga, pihaknya juga tidak mengetahui pasti apa yang akan terjadi apabila hal itu dilanggar.

Kepercayaan masyarakat setempat yang diterapkan di Pura Nampesela merupakan tradisi yang patut tetap dijaga dan dihargai oleh siapapun. Bukan persoalan gender, menyimak cerita diatas dimana sang putri diungsikan ditempat paling bawah (paling sor) mengapa para pemedek (wanita) tidak menghaturkan bhakti dari tempat(area) tersebut?

**Artikel diolah dari berbagai sumber

%d bloggers like this: