Perceraian sangat tidak dianjurkan dalam agama Hindu, kecuali suami atau istri berkhianat dan tidak setia. Didalam Rg Weda perceraian telah melanggar Yadnya yang sudah dilakukan. Pada konteks tertentu pasangan suami istri tetap memilih berpisah tentu dengan pertimbangan yang matang dari kedua belah pihak.
Photo Credit: Iamexpat.nl
Kita tentu tidak asing dengan Istilah Tri Upasaksi yaitu: Butha Saksi, Manusa saksi dan Dewa Saksi dalam upacara perwakinan Hindu Bali. Butha Saksi, Bebanten yang ditujukan (di ayab) dan diletakkan di bawah (biyakoanan, pekala-kalan, pedengan-dengenan) sebagai pralambang
Manusa Saksi, lebih kepada pengesahan perkawinan sesuai dengan undang-undang perkawinan acara ini dihadiri oleh masyarakat, dimana petugas desa/adat (prajuru). Akta Perkawinan adalah bentuk manusa sakti selaku wakilnya sebagai manusa saksi. Dewa Saksi, adanya bebanten yang dihaturkan kehadapan Sang Hyang Widhi dan pemerajan/sanggah sebagai perwujudan dewa saksi. Dengan prosesi perkawawinan yang dilalui tersebut diatas maka perceraian hendaknya dilakukan sejalan dengan proses perkawinan, maka perceraian patut dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
Pasangan suami istri yang akan melangsungkan perceraian, harus menyampaikan kehendaknya itu kepada prajuru banjar atau desa pakraman. Prajuru wajib memberikan nasihat untuk mencegah terjadinya perceraian.
Apabila terjadi perceraian maka terlebih dahulu harus diselesaikan melalui proses adat, kemudian dilanjutkan dengan mengajukannya ke pengadilan negeri untuk memperoleh keputusan.
Menyampaikan salinan (copy) putusan perceraian atau akte perceraian kepada prajuru banjar atau desa pakraman. Pada saat yang bersamaan, prajuru banjar atau desa pakraman menyarankan kepada warga yang telah bercerai supaya melaksanakan upacara perceraian sesuai dengan agama Hindu.
Prajuru mengumumkan (nyobyahang) dalam paruman banjar atau desa pakraman, bahwa pasangan suami istri bersangkutan telah bercerai secara sah, menurut hukum nasional dan hukum adat Bali, sekalian menjelaskan swadharmamantan pasangan suami istri tersebut di banjar atau desa pakraman, setelah perceraian.
Perlu disadari kedua belah pihak akibat hukum perceraian adalah sebagai berikut.
Setelah perceraian, pihak yang berstatus pradana (istri dalam perkawinan biasa atau suami dalam perkawinan nyeburin) kembali ke rumah asalnya dengan status mulih daa atau mulih taruna, sehingga kembali melaksanakan swadharma berikut swadikara-nya di lingkungan keluarga asal.
Masing-masing pihak berhak atas pembagian harta gunakaya (harta bersama dalam perkawinan) dengan prinsip pedum pada (dibagi sama rata).
Setelah perceraian, anak yang dilahirkan dapat diasuh oleh ibunya, tanpa memutuskan hubungan hukum dan hubungan pasidikaran anak tersebut dengan keluarga purusa, dan oleh karena itu anak tersebut mendapat jaminan hidup dari pihak purusa.
Artikel diolah dari: Keputusan Majelis Utama Desa Pekraman Bali(MUDP)
Dalam Agama Hindu perkawinan atau pawiwahan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak, baik pihak suami maupun istri. Masyarakat Bali mengenal beberapa jenis perkawinan, seperti Perkawinan Pada Gelahang, Perkawinan Nyerod,Perkawinan Nyentana dan Perkawinan Makedeng-kedengan Ngaad. Mungkin kita terbiasa mendengar sistem Perkawinan Pada Gelahang, Nyerod dan Nyentana. Namun pernahkan anda mendengar istilah Perkawinan Makedeng-kedengan Ngaad ? Lantas apakah itu perkawinan makedeng-kedengan ngad? Mengapa perkawinan ini dikatakan sangat berbahaya?
Image by: Hipwee
Menurutundang undang, perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita, sebagai suami istri dengan tujuan membentuk sebuah keluarga (Rumah tangga) yang bahagia. Di Bali, perkawinan menganut sistem Patrilineal atau Kapurusa. Secara umum, berdasarkan hukum adat Bali dikenal ada dua bentuk perkawinan, yakni perkawinan biasa dan perkawinan nyentana. Perkawinan biasa dikenal juga dengan istilah ‘nganten keluar’. Sedangkan Nyentana dikenal dengan istilah ‘nganten nyeburin’. Apa bedanya ? kalau di hukum adat Bali, nganten keluar, suami berstatus kapurusa dan wanita berstatus pradana. Namun kalau nyentana terbalik, istri yang berstatus kapurusa dan suami yang berstatus pradana.
Berbeda dengan Nganten Nyentana, Nganten Makedeng-kedengan Ngad sesungguhnya bentuk perkawinan biasa, namun dengan cara yang berbeda. Perkawinan Makedeng-kedengan Ngaad merupakan perkawinan yang menganut sistem barter (pertukaran). Umumnya perkawinan ini terjadi antara satu keluarga yang mempunyai anak laki-laki dan anak perempuan yang saling dinikahkan dengan anak perempuan dan laki-laki dari keluarga lain. Misalkan, keluarga A menikahkan putranya dengan putri dari keluarga B. Beberapa tahun kemudian Keluarga A juga menikahkan putrinya dengan putra keluarga B.
Dalam perkawinan ini, terjadi pertukaran atau saling Tarik-menarik (makedeng-kedengan) anak perempuan antara kedua keluarga pertama dengan keluarga kedua.
Ngaad bahasa Bali bisa diartikan sebagai sembilu, pisau silet. Jika sembilu dan silet dibuat dengan baja, ngad terbuat dari bambu, kurang lebih sepanjang 15 cm, pipih kedua tepinya, diraut sangat tajam. Ngad biasanya untuk menggorok ayam, bebek atau babi. Makedengan ngaad berarti tarik-menarik ngaad, saling tarik pisau dari bambu penggorok leher ayam itu. Tentu kedua pihak akan berdarah-darah jika sembilu atau silet saling mereka tarik.
Perkawinan jaman dahulu tentu tidak sama dengan sekarang. Dulu mungkin perjodohan sering dilakukan. Saat ini perkawinan dilandasi dengan cinta dan komitmen kedua mempelai. Perkawinan Mekedeng-kedengan Ngaad tidak dianjurkan, konon jika pernikahan ini dilakukan salah satu keluarga akan mengalami musibah. Percaya atau tidak kembali pada pribadi masing-masing.
Neteg = Enteg = Mantap
Memantapkan Pernikahan dan kehidupan Rumah Tangga
Ada yang unik dalam Upacara Nganten Neteg Pulu atau Melepeh. Karena tidak semua masyarakat Bali melaksanakan upacara ini. Tapi bagi kami di Desa Bualu, Nusa Dua upacara ini merupakan hal yang biasa walaupun tidak semua Orang melaksakannya. Sebutan lain untuk Neteg Pulu ada bermacam macam seperti Melepeh. Di Desa Bugbug Karangasem disebut dengan Mesih.
Image by: Kompas Life Style
Upacara dan Upakara Nganten Neteg Pulu lebih besar dari Ngaten Biasa, begitu juga dengan Pemimpin Upacara yang muput.
Sebenarnya upacara Nganten Neteg Pulu atau Melepeh adalah tahapan dari upacara perkawinan. Karena pada dasarnya
Tata pelaksanaan upacara perkawinan memiliki empat tahapan yaitu:
1. Upacara Mekala kalaan
2. Upacacara Mejaya-Jaya
3. Pewarangan atau Mejauman
4. Melepeh atau Neteg Pulu
Melepeh atau neteg pulu adalah merupakan runtutan upacara perkawinan, namun kenyataan yang berlaku di masyarakat, jarang sekali upacara melepeh ini dilaksanakan pada waktu upacara perkawinan tetapi kebanyakan upacara melepeh atau neteg pulu ini mencari hari tersendiri, kadang-kadang setelah umur lanjut baru dilaksanakan. Sehingga ada ungkapan
” Menikah yang Kedua ” atau
….. I Meme jak I Bapa Nganten atau I Pekak jak I Dadong Nganten …..
Neteg Pulu bisa juga dilakukan secara masal. Tapi sebenarnya Nganten Neteg Pulu bisa dilakukan saat Pasangan Suami Istri baru menikah atau flexibel masalah waktu pelaksanaannya
Recent Comments