Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Daily Archives: April 3, 2018

BALADA CINTA BEDA KASTA


Ketut adalah anak bungsu dari empat bersaudara, lahir dan besar di salah satu kabupaten di Pulau Sumatera. Orang tua ketut adalah seorang petani padi dan kebun karet. Ingin mengikuti jejak sang kakak yang sudah terlebih dulu merantau ke Bali, Ketut melanjutkan sekolah dibilangan Sudirman Denpasar. Entah bagaimana ceritanya Ketut mengenal Gek Ratih yang saat itu masih duduk di bangku SMA yang kemudian menjalin cinta. Seiring waktu hubungan kedua anak muda ini diketahui orang tua Gek Ratih singkat cerita hubungan ini tidak mendapatkan restu. Menyelesaikan sekolah Ketut pun berniat untuk pulang kampung ke rumah orang tua. Sebagai anak bungsu Ketut diharapkan untuk pulang kampung bersama orang tua. Mendengar Ketut akan pulang Gek Ratih berniat untuk ikut Ketut pulang kampung ke sumatera. Disinilah Drama Cinta itu dimulai Gek Ratih tidak rela untuk ditinggalkan sang pujaan hati si gadis pun nekat mengikuti Ketut pulang kampung. Mengetahui anak gadisnya pergi dengan kekasih orang tua sang gadis membuat laporan ke polisi bahwa anak gadisnya dibawa lari. Drama ini pun berakhir dengan di jebloskannya Ketut ke sel tahanan dengan tuduhan membawa lari anak orang.

Image By: Bombastis

Mungkin drama ini akan beda endingnya jika Ketut dari keluarga kaya raya atau minimal dari kasta yang sama. Seperti yang kita ketahui kasta adalah sistem pengelompokkan masyarakat berdasarkan garis keturunan. Adapun pengelompokkannya terbagi menjadi empat yang disebut dengan “Catur Kasta”, yaitu brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Kasta brahmana adalah kasta golongan masyarakat yang berkecimpung di bidang kerohanian dan mengajarkan ilmu pengetahuan, kasta ksatria adalah kasta golongan masyarakat yang memiliki keahlian di dalam bidang kepemimpinan untuk mengatur suatu kelompok atau bahkan negara.

Pada jaman dahulu kasta ksatria adalah orang-orang yang bekerja di dalam istana untuk melindungi raja dan keturunannya, kasta waisya adalah kasta golongan masyarakat yang bekerja pada bidang pertanian, perkebunan, berternak maupun berdagang. Keunggulan dari kasta waisya ini adalah mereka bisa menguasai dan mengatur berbagai hal di bidang perekonomian, dan kasta sudra adalah kasta golongan masyarakat biasa dan terkadang bertugas untuk melayani kasta lainnya. Pemahaman “Catur Kasta” ini sangatlah berbeda dengan “Catur Warna”, ketika catur kasta dikaitkan dengan penggolongan masyarakat berdasarkan garis keturunan maka catur warna adalah penggolongan masyarakat berdasarkan tugas atau fungsinya. Saat ini, masyarakat masih mengaburkan pemahaman tentang kedua sistem penggolongan masyarakat tersebut sehingga memunculkan perdebatan.

Dari drama cinta tersebut diatas mungkin kita bisa menarik kesimpulan bahwa masih ada(banyak) masyarakat Bali yang berkasta merasa eksklusif, merasa derajat lebih tinggi dari yang lain. Drama cinta diatas bukan tidak mungkin juga disertai dengan sumpah serapah, caci maki bagi Ketut dan keluarganya. Tentu tidak semua keluarga berkasta bersikap seperti diatas. Banyak keluarga berkasta merelakan putrinya untuk dinikahi oleh nak jaba bahkan nak dura negara atau nak dauh tukad atau mungkin karena faktor kaya tadi? entahlah.

Artikel ini diolah dari berbagai sumber.

Mengenal Manfaat Sanggah Surya dan Sanggah Tawang


Pada upacara yadnya masyarakat Bali membuat sanggah surya, Sanggah Surya dibuat dengan menggunakan empat batang bambu yang ditancapkan disisi Timur Laut atau arah kaje kangin. Posisi ini mengacu kepada pembagian pekarangan berdasarkan Asta Kosala-kosali. Dimana arah kaje Kangin merupakan pertemuan antara utama dengan utama, sehingga sering disebut arah Dewata. Untuk diketahui bahwa Sanggah Surya hanya memiliki satu ruangan dan dibatasi menggunakan ancak saji. Ukuran Sanggah Surya biasanya lebih tinggi dari pinggang manusia, bahkan ketika dilaksanakannya upacara Yadnya, sanggah ini dibuat lebih tinggi dari dasar bangunan tempat dilaksanakannya upacara Yadnya.

Image By; Kunduk Supatra

Sanggah Surya di beberapa daerah di Bali, juga sering disebut dengan Sanggah Agung. Keduanya bermula dari dua kata, yakni Sanggah yang mengandung arti sumber, sedangkan Agung menekankan kewibawaan Sang Hyang Siwa Raditya yang tak lain adalah Dewa Surya.

Sanggah Surya sangat penting ketika pelaksanaan upacara yadnya, khususnya yang menggunakan banten Bebangkit yang dipuput oleh seorang Sulinggih. Ketika tidak ada Sanggah Surya yang merupakan stana Sang Hyang Siwa Raditya, maka dikatakan suatu upacara yadnya belum lengkap. Hal ini sesuai dengan prabhawa Sang Hyang Surya sebagau Upasaksi.

Selain Sanggah Surya, di Bali juga dikenal dengan adanya Sanggah Tawang. Kata Sanggah berarti sumber, dan Tawang memiliki penekanan arti awing-awang yang dapat diartikan sebagai kesunyian atau sepi. Jadi, Sanggah Tawang dapat diartikan sebagai sumber kesepian, di mana kesepian dan kesunyian tak lain adalah Ida Sang Hyang Widi Wasa.

Sanggah Tawang dibuat dari bambu berbentuk segi empat panjang yang memiliki pinggiran yang disebut dengan ancak saji. Sama halnya seperti Sanggah Surya, Sanggah Tawang tidak menggunakan atap, namun terdiri dari tiga ruang atau rong telu yang merupakan simbol Dewa Surya dalam tatanan Tri Sakti , yakni Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Penggunaan Sanggah Tawang ini biasa dijumpai ketika dilaksanakannya upacara dengan tingkatan Utama. Beberapa di antaranya yakni Tawur Agung, Padudusan Agung.

Dengan demikian, Sanggah Tawang mempunyai makna sebagai simbol stananya Sang Hyang Widhi sebagai simbol manifestasinya yang merupakan permohonan umat Hindu dalam suatu upacara agama. Dalam Pustaka Bhuwana disebutkan kosa 1.2.10 ‘Sunyasca Nirbhanadhika, Siwanga Twe Raniksyate, Kutah Tad Wakyama Tulam, Srutwa Dewo Watista, yang artinya ada alam sunia yang dianggap sakti, itulah yang disebut dengan Sang Hyang Siwa.

Dengan melihat sloka tersebut, dapat diartikan bahwa Sanggah Tawang yang menggunakan tiga ruangan sebagai simbol Tri Purusa, yakni Siwa, Sadhasiwa, dan Paramasiwa.

Diolah dari berbagai sumber.

%d bloggers like this: