Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Monthly Archives: May 2018

Tentang Sugihan dan Makna Filosofisnya


Sebelum Hari Raya Galungan, umat Hindu di Bali melakukan beberapa kegiatan sebagai rangkaian persiapan untuk perayaan rahinan jagad galungan. Dimulai dengan hari Tumpek Wariga dan selanjutnya menjelang seminggu sebelum Galungan, dikenal dengan sugihan. Sugihan termasuk salah satu rangkaian upacara menyongsong Galungan. Sugihan terdiri atas tiga jenis yaitu :

1. Sugihan Pangenten atau Sugihan Tenten,
2. Sugihan Jawa
3. Sugihan Bali.

Masing-masing sugihan datang tiap 210 hari sekali. Ketiga sugihan secara berturut-turut dimulai dari Buda Pon wuku Sungsang disebut Sugihan Pangenten atau Sugihan Tenten. Setelah Sugihan Pangenten, diikuti dengan Sugihan Jawa dan Sugihan Bali.

Image By: http://adaadi-disini.blogspot.sg | Tradisi Ngelawang

Makna Filosofis Sugihan

Sugihan Pangenten bermakna ngingetin atau mengingatkan. Dalam mitologinya berhubungan dengan keadaan Mpu Bradah ke Bali menghadap pada Empu Kuturan dan usaha untuk mengangkat salah satu putra Raja Erlangga untuk menjadi raja di Bali. Namun, Empu Kuturan menolak permintaan tersebut dan Empu Baradah pun tersinggung lalu langsung meninggalkan tanpa permisi untuk kembali ke Daha.

Ketersinggungan Mpu Baradah ini menimbulkan bhuta sebagai akibat lepasnya pengendalian diri. Karena itulah, diingatkan supaya pengendalian diri itu jangan sampai lepas agar bhuta kala dapat dikendalikan. Sejak Sugihan Pangenten inilah mulai dimasukkan sebagai Nguncal Balung yaitu dari wuku Sungsang sampai wuku Pahang, terutama sejak wuku Dungulan sampai dengan Buda Kliwon Pahang.

Nguncal balung artinya tulang sebagai pengukuh tubuh pada manusia dan binatang serta tempat melekatnya otot dan daging. Tanpa tulang, tubuh tidak akan mempunyai kekuatan. Nguncal balung maksudnya melepaskan kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif yang mudah dipengaruhi oleh godaan sang kala tiga, dengan sifat-sifat kalanya, sehingga kembali ke wujud semula atau Sang Hyang Tiga Wisesa.

Dalam Siwaisme disebut Siwa, kala dalam hal ini berarti energi atau kekuatan. Sang Hyang Kala Tiga dalam wujud purusha (Kala Rudra) maupun dalam wujud pradana (Durga Murti), sehingga kembali dalam keadaan somia (tenang). Keadaan somia akan berpengruh terhadap semua ciptaannya.

Oleh sebab itu, pada saat nguncal balung ini kurang baik melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu seperti membuat rumah, tempat pemujaan termasuk penyuciaannya, membangun rumah tangga (kawin) dan sebagainya. Di samping itu, ada pula yang tidak mau membeli ternak untuk dipelihara atau dijadikan bibit.

Demikianlah pantangan-pantangan selama nguncal balung, yang pada dasarnya lebih banyak bertujuan mengurangi aktivitas-aktivitas jasmani agar dapat meningkatkan aktivitas rohani. Misalnya yang dilakukan oleh pertapa atau yogi. Orang kebanyakan dalam mengurangi aktivitas fisiknya dan lebih menekankan pada kegiatan ritualnya dapat melakukan kegiatan yang bersifat menambah pengetahuan tentang agama, kesenian, dan kemasyarakatan. Dengan kegiatan ini diharapkan umat Hindu dapat mengurangi hal-hal yang mengarah pada pemuasan hawa nafsu yang berlebih-lebihan.

Sehari setelah Sugihan Pangenten disebut Sugihan Jawa.. Makna sugihan ini adalah hari penyucian bhuwana agung yang disimbolkan dengan melakukan pemujaan di tempat-tempat suci dan perumahan. Penyucian dimaksud dilakukan secara sekala dan niskala. Bagi para wiku, sadaka, hal ini dilakukan dengan mengucapkan japa mantra. Sedangkan para yogin melakukan yoga semadi.

Selain penyucian juga dilaksanakan pamretistan Batara kabeh, dengan upacara marerebu di sanggah atau pemerajan yang dilengkapi dengan upacara pembersihan atau pangeresikan. Memakai sarana bunga harum. Adapun tujuannya adalah menstanakan para dewa dan pitara.

Upakara-upakaranya disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan bangunan suci yang ada. Untuk palinggih termasuk di dalamnya padmasana, meru, sanggah kemulan, taksu, panunggun karang dan lain-lainnya yang sejenis memakai pembersih (pangeresikan) berupa canang burat wangi lenga wangi, tirtha, dupa dilengkapi dengan ajuman dan daksina (disesuaikan dengan desa kala patra)

Palinggih yang lebih kecil memakai canang burat wangi lenga wangi. Sementara penyucian secara umum memakai pangerebuan yang terdiri atas satu tumpeng guru dengan alas kulit sesayut yang puncaknya diisi telur itik rebus, 3, 5, 7 buah tumpeng biasa dilengkapi dengan jajan, buah-buahan dan sampyan nagasari, sampyan peras. Dua sorohan alit 9 peras, tulung, sesayut) sangga urip, penyeneng, lis, bebuu, pangeresikan, canang genten, lauk, pauk/rerasmen yang terdiri atas daging ayam dipanggang, guling itik atau babi yang disesuaikan dengan kemampuan.

Jumlah tumpeng dan dagingnya disesuaikan dengan jumlah palinggih yang akan diupacarai marerebu. Misalnya untuk padmasana, sanggah kemulan dan sejenisnya menurut tradisi tidak dibenarkan memakai daging atau babi guling. Setelah dilaksanakan pembersihan secara sekala barulah dilaksanakan pembersihan secara niskala yaitu mengaturkan upacara pangerebuan. Apabila mempergunakan sebuah pangerebuan, diusahakan memakai guling itik yang terlebih dahulu diaturkan dari bangunan suci yang paling utama. Misalnya dari padamasana kemudian meru gedong taksu dan seterusnya sampai pada bangunan yang kecil-kecil terakhir dilebar di jaba atau halaman paling luar, disertai dengan segehan dan tetabuhan arak berem.

Sugihan Bali merupakan hari penyucian terhadap diri sendiri bhuwana alit. Upacara khusus pada hari ini sebenarnya tidak ada. Meski demikian, pada hari ini perlu dilaksanakan upacara memohon tirtha pangelukatan kehadapan sang sadaka atau sulinggih. Selain itu umat Hindu juga hendaknya melakukan sembah sebagaimana layaknya pada hari-hari kajeng kliwon yang lainnya. Semua pelaksanaan kegiatan sugihan ini hendaknya dapat dilaksanakan sesuai desa kala patra.

artikel ini diolah dari : Bali Post

Tampil Cantik Saat ke Pura


Wanita wajib tampil cantik dan rapi saat ke Pura. Kebaya mesti rapi, modern namun elegan, rambut (yang panjang) harus disisir dan diikat rapi tidak boleh tergerai. Tampil cantik namun tidak mengabaikan etika berbusana ke pura.

Image by: Sejarah Hari Raya Hindu; Ilustrasi

Cerita tentang wanita dan rambut yang tergerai, dalam Hindu, sebetulnya punya sejarah yang panjang, mengingat kisah ini bermula dari satu dari dua epos mahakarya yang terus abadi hingga saat ini yaitu Mahabharata. Lebih tepatnya, pada kejadian di balairung istana, ketika Drupadi diseret oleh Dursasana dengan menjambak rambutnya, berusaha ditelanjangi olehnya sebagai budak taruhan yang baru saja mereka menangkan. Bab Sabha Parwa, subbab Dyuta Parwa.

Potret Drupadi yang diperkosa hak-haknya, ditelanjangi oleh iblis di depan suaminya sendiri yang (diam saja) ia anggap titisan dewa, adalah bentuk pemasungan perempuan yang paling terkenal di dalam sejarah. Kejadian ini pun sudah berulang kali dikupas dalam berbagai ulasan, kritik, dan karya sastra, dari sudut pandang yang berbeda. Dari sudut pandang perempuan yang pasrah, sampai perempuan yang menggugat.

Namun, satu hal dari cerita mahabarata tersebut yang sangat membekas di benak masyarakat Hindu adalah sumpah dari Drupadi.

Yang menyatakan bahwa ia tak akan menyisir, memotong, dan mengikat rambutnya sebelum rambut itu dibasuh dengan darah Dursasana.

Meskipun pada akhirnya sumpah itu terlaksana, tetapi wanita dengan rambut tergerai, dalam masyarakat Hindu, dipandang sebagai simbol kemarahan, kebencian, dan dendam. Inilah sebab mengapa seorang wanita yang berkunjung ke pura tidak diperkenankan untuk menggerai rambutnya. Siapa pun yang datang ke rumah Tuhan hendaknya berada dalam ketenangan dan kesucian. Bukan dengan dendam apalagi kemarahan, karena kemarahan seorang wanita itu kadang sampai tak terkatakan.

Contoh paling terkenal dalam sastra Hindu soal ini adalah ketika Parvati berubah menjadi Kali (bentuk Durga yang paling menyeramkan) dan membuat dunia kocar-kacir.Bahkan suaminya, Siwa, tak bisa menghentikannya, tak bisa membuat ia sadar. Tak ada kekuatan Siwa yang bisa menandingi seorang Parvati yang marah.

Tapi akhirnya Kali sadar dan kembali tenang, ketika ia menginjak suaminya sendiri. Siwa mengorbankan dirinya sendiri untuk diinjak, Syukurlah setelah itu amarah Kali mereda. Dan, di sinilah ada bentuk yang paling sering muncul dalam arca-arca di Pura Dalem: Durga yang menjulurkan lidahnya yang merah, menggigitnya dengan gigi yang putih bersih. Maksudnya, sifat-sifat marah dan ganas (rajas) cuma bisa dihentikan dengan sifat-sifat yang putih, bersih, dan suci (satwam).

Apa kaitannya dengan rambut?

Ini terlihat dalam wujudnya sebagai Kali, rambutnya hampir selalu tergerai. Dan dalam beberapa sumber, Drupadi dianggap sebagai titisan Kali, sehingga bisalah kita simpulkan kalau dalam cerita-cerita itu, mereka berdua punya hubungan yang tak bisa kita abaikan,

Cuma memang, sekarang imbauan ini jarang orang yang tahu, soal adab untuk tidak menggerai rambut di pura, jarang terlihat aturan itu terpampang di papan-papan petunjuk pura yang pernah saya datangi. Bagaimanapun, dari kebiasaan kecil ini sebenarnya panduannya ke sastra dan nilai agama itu besar sekali. Pelajaran yang sangat berharga dalam banyak hal. Pertama untuk memuliakan dan menghormati wanita. Kedua untuk tidak mengabaikan hal-hal kecil, apalagi ketika itu menyangkut adat dan kebiasaan yang baik. Karena sesungguhnya kitalah yang mestinya melestarikan adat itu, bukan menjadikannya musnah.

diolah dari sumber: mencarijejak, mediahindu

Pura Tap Sai Rendang, Karangasem


Nama Pura Tap Sai, memang belum begitu populer jika dibandingkan dengan Pura Besakih, Pura Luhur Uluwatu, Pura Tanah lot, Pura Lempuyang atau pun Pura Kahyangan Jagat lainnya, namun sekarang sudah mulai banyak pemedek (warga Hindu) yang datang dan bersembahyang di Pura Tap Sai ini, tidak dipungkiri peranan sosial media yang membuat pura ini lebih dikenal oleh masyarakat luas, tempatnya yang jauh dari keramaian di tengah hutan namun mudah dijangkau, membuat orang-orang mulai antusias untuk merasakan aura spiritual di Pura Pajinengan Gunung Tap Sai.

Image by: Balitoursclub

Pura Tap Sai terletak di lereng Gunung Agung. Pura Tap Sai relatif masih minim didengar oleh kalangan umat Hindu di Bali. Umat yang tangkil ke pura untuk meminta keselamatan dan penganugerahan. Tap Sai berasal dari kata matapa saisai (bertapa atau semedi setiap hari)

Dalam lontar Kuntara Bhuana Bangsul disebutkan, 3 dewi yang berstana di dalam Pura Tap Sai, yaitu Ida Dewi Saraswati, Ida Dewi Sri dan Ida Dewi Laksmi. Ketiganya disebut dengan Bhatara Rambut Sedana atau Tri Upa Sedana atau tiga dewi pemberi kesuburan dan penganugerahan. Saat kita baru masuk areal pura kita akan dapat merasakan aura yang begitu damai dan tenang. Terlebih lagi saat ada di Pura Beji di sebelah timur pura utama. Di Pura ini kita bisa melukat sebekum melakukan persembahyangan di pura utama.

Pada halaman utama (utamaning mandala) pura Tap Sai juga ada pelinggih Lingga Yoni yang dililit akar pohon, yang dipercaya umat sebagai tempat umat memohon anak atau keturunan, jodoh, segala permasalahan kesehatan serta memohon tamba (obat) dan juga rejeki. Ingin bersembahyang ke Pura Pajinengan Gunung Tap Sai, ada beberapa tahapan persembahyangan yang dilakukan sebelum ke tujuan utama di utama mandala.

Image by: Balitoursclub

Bagi kawan-kawan yang hendak melakukan persembahyangan ke pura ini bisa mempersiapkan 2 pejati untuj di Pura Beji (melukat) dan di pura inti.

Berikut adalah urutan persembahyangan di Pura Tap Sai:

Dimulai dari pelinggih paling bawah yaitu palinggih Ratu Penyarikan Pengadang-adang, kemudian berlanjut ke palinggih Ratu Gede Mekele Lingsir, palinggih ini berupa sebuah batu besar dengan tulisan aksara (huruf) Bali kuno. Dilanjutkan lagi ke palinggih berikutnya yaitu palinggih Widyadara-widyadari. Berlanjut ke palinggih Pengayengan Ratu Dalem Ped, persembahyangan berlanjut lagi ke Pura Beji dan melukat dengan tirta yang dikenal dengan Tirta Bang.

Di kawasan Pura Pajinengan Gunung Tap Sai ada tiga buah sumber tirta yaitu Tirta Bang, Tirta Putih dan Tirta Selem, Tirta Bang bisa ditemukan di pura Beji, sedangkan jika anda ingin nunas Tirta Putih, karena belum dialirkan ke bawah sehingga anda harus mendaki, tetapi Tirta Selem bisa ditemukan di utama mandala pura. Setelah rangkaian persembahyangan dan melukat di beji, barulah anda sampai di kawasan madya mandala pura, di areal ini ada sebuah palinggih Ganesha yang dipercaya sebagai stana Sang Hyang Ganapati dan terdapat sebuah pohon besar yang disakralkan.

Setelah madya utama, barulah memasuki areal utama mandala, yang mana di areal ini terdapat palinggih Tri Upa Sadana yang dipercaya sebagai sthana Dewi Sri, Dewi Saraswati dan Dewi Laksmi, di areal ini juga terdapat pelinggih Lingga Yoni sebagai tempat memohon keturunan atau anak, pemedek biasanya menghaturkan 11 batang dupa di tempat ini sembari memohon apa yang diinginkan dan selanjutnya dilanjutkan persembahyangan di pelinggih Ratu Hyang Bungkut.

Jadi persembahyangan di Pura Pajinengan Gunung Tap Sai, harus melewati urutan tersebut di atas, tidak boleh langsung masuk ke areal utama atau kawasan utama mandala, sarana persembahyangan (banten) tidak diperkenankan menggunakan sarana daging babi. Umat yang bersembahyang (pemedek) harus mengikuti aturan persembahyangan agar tidak terjadi hal-hal negatif.

Jika hendak nangkil ke Pura Tap Sai bisa menghubungi Jro Mangku Kariasa (0818-0549-1542). Beliau biasanya selalu ada di Pura.

artikel diolah dari berbagai sumber.

%d bloggers like this: