Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Tag Archives: siwaratri

Menghindari Dosa


Sebelum melakukan tindakan/perbuatan ingatlah Karma Phala, Karma Phala adalah hasil subha karma atau perbuatan baik dan asubha karma(perbuatan buruk). Karma Phala dipandang sebagai srada yang ampuh mengendalikan perbuatan manusia.

bija-nenek-ibtk2018

Image by: Koleksi Pribadi. Besakih 08 April 2018.

Paham karma phala  menegaskan bahwa dosa tidak dapat ditebus atau dihapus. Oleh karena itu Hindu mengajarkan agar manusia waspada dan mencegah perbuatan-perbuatan dosa.

Rambu-rambu untuk menghindarkan manusia berbuat dosa sangat banyak, sangat luas, dan dapat dilakukan oleh siapa saja.

Sumber sastra yang dapat dikumpulkan antara lain:

1. Catur Asrama. Kehidupan manusia dibagi dalam empat tahap, yaitu:

  • Brahmacari (masa belajar)
  • Grahasta (masa berumah tangga)
  • Wanaprasta (masa mensucikan diri)
  • Saniyasin (masa menjadi rohaniawan)

2. Pancasrada. Lima keyakinan Hindu:

  • Widhi tattwa (percaya pada Ida Sanghyang Widhi Wasa)
  • Atma tattwa (percaya pada adanya roh leluhur)
  • Karmaphala (percaya pada hukum tentang sebab akibat perbuatan)
  • Samsara (percaya pada reinkarnasi/ kelahiran berulang-ulang)
  • Moksa (bebas dari ikatan keduniawian)

3. Trikayaparisudha. Tiga kelompok besar yang patut dijaga, yaitu:

  • Kayika (perbuatan yang benar: tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzina)
  • Wacika (perkataan yang benar: tidak mencaci, tidak berkata keras, tidak memfitnah, tidak ingkar janji)
  • Manacika (pikiran yang benar: tidak menginginkan sesuatu yang adharma, tidak berpikir buruk pada orang/ mahluk lain, percaya adanya karmaphala)

4. Caturpurusartha. Empat tujuan hidup:

  • Dharma (kebaikan di jalan Ida sanghyang Widhi Wasa)
  • Artha (pemenuhan kebutuhan benda-benda duniawi)
  • Kama (kenikmatan hidup)
  • Moksa (kebebasan abadi)

5. Caturmarga. Empat jalan manusia bersujud ke Ida Sanghyang Widhi Wasa:

  • Bhaktimarga (pasrah)
  • Karmamarga (kerja)
  • Jnanamarga (belajar agar mengetahui kebesaran-Nya)
  • Rajamarga (menggelar tapa-brata-yoga-samadi)

6. Yamabrata: Usaha-usaha mengendalikan diri, yaitu:

  • Anrsamsa (tidak egois)
  • Ksama (memaafkan)
  • Satya (jujur)
  • Ahimsa (tidak menyakiti)
  • Dama (sabar)
  • Arjawa (tulus)
  • Pritih (welas asih)
  • Prasada ( berpikiran suci)
  • Madhurya (bermuka manis)
  • Mardawa (lemah lembut)

7. Niyamabrata: Janji pada diri sendiri untuk berlaku dharma, yaitu:

  • Dana (dermawan)
  • Ijya (bersembahyang)
  • Tapa (mengekang nafsu jasmani)
  • Dhyana (sadar pada kebesaran Ida Sanghyang Widhi Wasa)
  • Swadhyaya (belajar)
  • Upasthanigraha (mengendalikan nafsu sex)
  • Brata (mengekang indria)
  • Upawasa (mengendalikan makan/ minum)
  • Mona (mengendalikan kata-kata)
  • Snana (menjaga kesucian lahir bathin)

8. Sadripu: mengendalikan enam musuh yang ada di diri sendiri:

  • Kama (nafsu)
  • Lobha (tamak)
  • Kroda (marah)
  • Mada (mabuk)
  • Moha (angkuh)
  • Matsarya (dengki irihati)

9. Sadatatayi: menghindari enam kekejaman:

  • Agnida (membakar)
  • Wisuda (meracun)
  • Atharwa (menenung)
  • Sastragna (merampok)
  • Dratikrama (memperkosa)
  • Rajapisuna (memfitnah)

10. Saptatimira: menghindari kemabukan-kemabukan karena

  • Surupa (cantik/ tampan)
  • Dana (kaya)
  • Guna (pandai)
  • Kulina (wangsa)
  • Yowana (remaja)
  • Kasuran (kemenangan)
  • Sura (minuman keras)

Bila manusia terlanjur berbuat dosa, petunjuk-petunjuk yang ada pada beberapa kitab-kitab/ lontar di bawah ini dapat digunakan sebagai pegangan:

Kitab Parasara Dharmasastra yang dianggap cocok untuk zaman kaliyuga sekarang ini, memuat beberapa ketentuan bila seseorang terlanjur berbuat dosa yang disebabkan antara lain karena:

  • Kelahiran dan kematian yang tidak wajar
  • Berzina
  • Digigit binatang tertentu
  • Membunuh
  • Mencederai sapi
  • Makan makanan terlarang

Ketentuan yang diatur dalam kitab itu hanyalah proses pensucian diri, bukan penebusan dosa.

Lontar Wrhaspati Tattwa menyatakan tiga kegiatan pokok yang perlu dilakukan bila seseorang ingin mencapai kelepasan:

  • Jnanabhyudreka: mengetahui semua tattwa Agama.
  • Indriyayogamarga: tidak tenggelam dalam kesukaan hawa nafsu.
  • Trsnadosaksaya: menghilangkan pahala dari perbuatan baik dan buruk.

Kitab Upanisad Utama, Brahmana ke-15 bagi manusia yang akan meninggal dunia, ucapkan mantram-mantram ini di telinganya:

HIRANMAYENA PATRENA SATYASYAPIHITAM MUKHAM
TAT TVAM, PUSAN, APARNU, SATYA DHARMAYA DRSTAYE

Artinya: wajah kebenaran ditutup oleh piring emas; bukalah ini o Pusan sehingga aku yang mencintai kebenaran bisa melihat.

PUSANN, EKARSE, YAMA, SURYA, PRAJA-PATYA
VYUHA RASMIN SAMUHA TEJAH
YAT TE RUPAM KALYANATAMAM
TAT TE PASYAMI YO SAV ASAU PURUSAS, SO HAM ASMI

Artinya: Pusan yang tunggal melihat, pengendali, o matahari putra dari prajapati sebarkanlah sinarmu dan kumpulkanlah sinarmu yang gemerlapan sehingga aku melihat di-Kau dalam bentukmu yang paling indah.

VAYUR ANILAM AMRTAM ATHEDAM BHASMANTAM SARIRAM
AUM KRTO SMARA, KRTAM SMARA, KRATO SMARA, KRTAM SMARA

Artinya: semoga hidup ini memasuki nafas yang abadi kemudian semoga tubuh ini berakhir menjadi abu, o buddhi ingatlah, ingatlah apa yang telah diperbuat.

AGNE NAYA SUPATHA, RAYE ASMAN, VISVANI, DEVA, VAYUNANI VIDVAN, YUYODHY ASMAJ JUHARANAM ENO, BHUYISTHAM TE NAMAUKTIM VIDHEMA

Artinya: agni tuntunlah kami pada jalan yang baik kearah kekekalan, o Tuhan yang mengerti semua perbuatan-perbuatanku, ambilah semua dosa dariku, kami akan menghadap-Mu.

Lontar Siwaratrikalpa karangan Mpu Tanakung yang diilhami oleh Purana-purana sanskerta: Padma, Siwa, Skanda, dan Garuda, menokohkan Lubdhaka sebagai orang yang sadar pada dosa-dosanya di masa lalu.

Kemudian di hari Siwaratri (panglong ping 14 tileming kapitu) tanpa sengaja ia membangun tapa-brata-yoga-samadi, dianggap sebagai langkah kesadaran dharma karena membangun tapa-brata-yoga-samadi bersamaan dengan waktu Bethara Siwa beryoga samadi untuk kesejahteraan jagat raya beserta isinya.

Setelah Siwaratri, Lubdhaka tidak pernah lagi melakukan perbuatan-perbuatan adharma. Ketika Lubdhaka meninggal dunia, kesadaran dharmanya dinilai positif oleh Bethara Yama sehingga Lubdhaka masuk sorga. Manusia Hindu diharap meniru apa yang dilakukan Lubdhaka.

KESIMPULAN

Dosa tidak dapat ditebus atau dihapus, namun dosa atau perbuatan adharma dapat diimbangi dengan perbuatan dharma sehingga diharapkan terjadi keseimbangan yang relatif lebih mengunggulkan dharma.

Diibaratkan dosa itu bagai sinar matahari yang terik, bila berhembus angin rasa panasnya akan berkurang. Angin itu ibarat perbuatan-perbuatan dharma.

Sarasamuscaya sloka ke-16:

YATHADITYAH SAMUDYAN WAI TAMAH, SARWWAM WYAPOHATI, EWAM KALYANAMATISTAM SARWWA, PAPAM WYAPOHATI

Laksana sifat surya, begitu terbit melenyapkan gelapnya dunia, demikianlah orang yang mengusahakan dharma akan menghilangkan segala macam penderitaan.

**stitidharma.org

Memahami Nilai-Nilai Siwaratri


Siwaratri dalam bahasa Jawa kuno berarti “malam Dewa Siwa” yaitu suatu malam di mana Dewa Siwa sebagai manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), menggelar samadhi untuk kesejahteraan dunia dan umat manusia.

Hari yang mulia ini tiba sehari sebelum bulan gelap yang ketujuh menurut sistem kalender Hindu di Bali.

Acuan Siwaratri terdapat pada naskah-naskah suci berbahasa Sanskerta di India, yaitu: Sivapurana, Padmapurana, Garudapurana, dan Skandapurana. Sedangkan di Indonesia Siwaratri ditulis dalam lontar-lontar berbahasa Jawa kuno: Siwaratrikalpa, Siwaratribrata, Ajibrata, Puja Siwaratri, dan Tutur Siwaratri.

Siwaratri adalah wujud kasih sayang Tuhan kepada isi dunia terutama umat manusia dan oleh karena itu manusia sebagai ciptaan Tuhan yang utama sudah sewajarnya berbhakti kepada-Nya.

Wujud bhakti umat manusia dalam kehidupan sehari-hari tiada lain saling menyayangi semua mahluk ciptaan Tuhan. Siwaratri kemudian menjadi ajaran dan filsafat yang berkembang tidak hanya di India tetapi juga di seluruh dunia.

Pelaksanaan Siwaratri dalam konteks tradisi beragama Hindu adalah menyembah Dewa Siwa dan menggelar Brata: Upawasa, Jagra, dan Mona selama 36 jam dimulai sejak matahari terbit sehari sebelum bulan gelap ketujuh, sampai matahari terbenam pada bulan gelap ketujuh.

Dalam sistem kalender Hindu di Bali hari sebelum bulan gelap disebut panglong ping 14, dan hari pada bulan gelap disebut panglong ping 15. Bulan gelap di Bali disebut “tilem”. Brata Upawasa adalah berpuasa tidak makan dan minum, Brata Jagra adalah tidak tidur, dan Brata Mona adalah tidak berbicara.

BRATA UPAWASA

Berpuasa tidak makan dan minum sesuatu dalam rangkaian pelaksanaan Siwaratri sangat dianjurkan bagi pemeluk Hindu karena bermanfaat bagi kesehatan jasmani dan kesucian rohani. Dengan berpuasa organ-organ tubuh mengadakan konsolidasi untuk meningkatkan kesehatan badan dan kejernihan pikiran menuju pada kesucian rohani.

Berpuasa juga sebagai latihan pengendalian diri dalam bentuk mengekang keinginan-keinginan makan dan minum. Sesuatu yang enak dirasakan oleh lidah belum tentu bermanfaat bagi kesehatan jasmani dan rohani.

Oleh karena itu dalam kitab suci Bhagawadgita pemeluk Hindu diingatkan agar berhati-hati memilih makanan. Makanlah sesuatu yang “sattvika” artinya makanan yang suci sebagaimana disebut dalam Weda.

Kesucian makanan menyangkut berbagai aspek, antara lain: jenis makanan, prasadam dan cara mendapatkan makanan. Jenis makanan yang suci sebagian besar terdiri dari unsur flora yaitu dari bahan tumbuh-tumbuhan, biji-bijian, buah-buahan, dan madu. Dari unsur fauna adalah susu dan olahan susu seperti mentega, keju, dll.

Jenis makanan atau minuman lain yang digolongkan tidak suci adalah makanan-minuman yang membuat mabuk atau lupa diri dan yang menimbulkan rangsangan berbuat adharma.

Selain itu jenis yang merusak kesehatan dan tidak berguna bagi ketenangan pikiran juga dipandang tidak suci. Prasadam adalah makanan dari unsur daging tertentu, unsur flora dan unsur fauna yang terlebih dahulu dihaturkan sebagai persembahan kepada Tuhan dalam suatu upacara agama.

Makanan yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari hasil kejahatan atau perbuatan adharma akan membuahkan dosa. Makan berlebih-lebihan dan tidak berhati-hati akan membuat manusia jauh dari kegembiraan dan kebahagiaan, membuat tumpulnya mata bathin, lamban dan malas.

Pada akhirnya makanan yang tidak sattvika akan merusak kesehatan jasmani dan rohani serta memperpendek umur manusia.

Sangatlah ironis bila manusia ingin mendekatkan diri kepada Tuhan tetapi masih terus makan tanpa kendali, memilih yang enak dirasakan lidah.

Sri Kresna bersabda bahwa jika manusia dapat mengendalikan nafsu makan dari rangsangan lidah maka ia akan mampu juga mengendalikan seluruh indrianya yang lain yaitu pendengaran, penglihatan, penciuman, dan rasa kulit. Di sini dapat kita simpulkan bahwa berpuasa adalah pangkal dari pembentukan moral yang baik.

BRATA JAGRA

Tidak tidur selama melaksanakan Brata Upawasa 36 jam bagi pemeluk Hindu yang tidak biasa melaksanakannya akan terasa berat. Namun jika sudah biasa akan menemukan keindahan dunia yang tiada taranya, karena menyaksikan saat pergantian alam dari siang – senja – malam – tengah malam – pagi secara bersinambungan.

Di saat-saat seperti itu timbul kesadaran pada kebesaran dan kekuasaan Tuhan sang pencipta. Pemandangan langit malam yang dihiasi bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya, matahari yang bangkit perlahan-lahan di ufuk timur dan terbenam perlahan-lahan pula di ufuk barat merupakan mekanisme yang menakjubkan. Siapakah gerangan yang mengaturnya?

Vibrasi kesucian akan menjalar ke segenap pikiran serta mengingatkan betapa kecilnya diri manusia jika dibandingkan dengan jagat raya yang tiada terbatas. Sifat-sifat menyombongkan diri, ingin berkuasa, serta menentang kodrat alam akan sirna. Kebiasaan jagra juga akan melatih kewaspadaan untuk mencapai kesadaran penuh tentang diri dalam melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari.

Setiap saat manusia harus tetap sadar tentang hakekat kehidupannya di dunia. Pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada diri sendiri hendaknya selalu didengungkan: dari manakah asal saya atau siapakah saya, apa tujuan hidup saya atau apa yang wajib saya lakukan selama hidup, dan akhirnya ke manakah saya akan pergi?

Kitab-kitab suci Agama Hindu menyatakan bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang utama. Roh manusia berasal dari Tuhan yang disebut Brahman kemudian atas kehendak-Nya menjelma kembali menjadi manusia.

Penjelmaan atau re-inkarnasi terjadi karena roh masih ternoda oleh dosa-dosa kehidupan di masa yang lalu. Manusia di dunia mempunyai tugas berat membersihkan dosa-dosa itu dengan tujuan jika tiba saat berpulang kembali kepada-Nya roh diharapkan sudah suci terbebas dari noda dosa sehingga patut bersatu kembali dengan Tuhan.

Jika hal itu disadari maka kehidupan manusia di dunia dikejar waktu yang sempit. Pertanyaan berikut akan menyusul: mampukah saya membersihkan dosa-dosa dalam waktu atau umur yang tersisa ini.

Maka gunakan waktu yang sempit ini untuk senantiasa berbuat kebajikan, menjalankan kehidupan sesuai dengan norma-norma Agama, norma-norma sosial, dan norma-norma hukum.

Melimpahkan kasih sayang kepada semua mahluk ciptaan Tuhan, kepada seluruh umat manusia tanpa membeda-bedakan derajat, golongan, keturunan, kedudukan dan berbagai bentuk perbedaan lainnya.

Filsafat “Tattvamasi” bahwa “Engkau adalah Aku dan Aku adalah Engkau” mengandung pengertian yang sangat luas dalam mewujudkan kasih sayang sesama umat manusia. Jika kita menyayangi diri sendiri maka janganlah menyakiti orang lain, karena jika demikian berarti menyakiti diri sendiri juga.

Dengan keyakinan bahwa semua umat manusia berasal dari Tuhan maka dalam pandangan Hindu manusia terikat dalam tali persaudaraan, sehingga perbuatan menindas atau menyakiti sesama manusia adalah bertentangan dengan kehendak Tuhan. Kasih sayang adalah kebajikan utama.

“Ahimsa” adalah filosofi Hindu yang berkembang dari Tattvamasi. Ahimsa tidak hanya berarti “tidak membunuh” atau “tidak menyakiti” tetapi juga dapat dikembangkan ke arah perwujudan kasih sayang yang sejati.

Kasih sayang adalah tindakan yang ethis oleh karena itu kasih sayang adalah “kebenaran dharma” Perbuatan yang tidak ethis berarti menjauhi kebenaran dan karena menyimpang dari dharma maka perbuatan tidak ethis adalah dosa.

Atas dasar pemikiran itu maka Mahatma Gandhi menyimpulkan bahwa segala bentuk “kekerasan” kepada orang lain akan berbalik pula menjadi kekerasan kepada diri sendiri.

Selanjutnya beliau mengatakan “semua manusia wajib memelihara dunia”, artinya dunia dengan segala isinya yaitu manusia, flora, fauna, dan semesta. Sebuah teks dari Vedanta: “Ekam eva advityam” merupakan kunci dari filsafat kasih sayang karena Tuhan menyatakan ketunggalan diri-Nya dan ketunggalan-Nya dengan semua mahluk termasuk alam semesta.

BRATA MONA

Tidak berbicara selama 36 jam membawa pikiran ke alam hening. Walaupun secara oral tidak berbicara, tetapi di dalam pikiran akan terjadi dialog intern berupa berbagai pertanyaan tentang hal-hal yang pernah dijalani dalam kehidupan yang lampau dan rencana-rencana di masa depan.

Brata Mona juga berarti memutuskan sementara komunikasi dengan orang lain, sehingga selama 36 jam kita sepenuhnya menggali permasalahan diri sendiri dan mencari solusi sendiri tanpa campur tangan orang lain.

Kebiasaan melaksanakan Brata Mona akan menguatkan pribadi, daya tahan mental, dan meningkatkan kemampuan memecahkan masalah. Hidup di dunia setiap hari menghadapi berbagai masalah dari yang kecil dan biasa-biasa saja sampai ke masalah-masalah besar yang menentukan jalan kehidupan.

Pengambilan keputusan dalam menghadapi masalah memerlukan pikiran yang jernih, kuat, strategis, dan akurat. Latihan-latihan Brata Mona juga akan menghasilkan sikap yang waspada dalam berbicara, artinya pembicaraan yang terkendali dan sadar sepenuhnya akan akibatnya.

Dalam kekawin Nitisastra Sargah V.3 disebutkan: “Karena bicara kita akan memperoleh kebahagiaan, karena bicara kita bisa mendapat kematian, karena bicara kita mendapat kesusahan, tetapi karena bicara pula kita mendapat sahabat”

Norma-norma Agama Hindu yang mengatur tentang bicara ada empat sebagaimana yang disebutkan dalam “Trikaya (Wacika) Parisudha”, yaitu:

  • Tidak berkata-kata kasar, membentak, emosional, dan marah (Tan ujar apregas).
  • Tidak berkata-kata kotor, memaki, membual (Tan ujar ahala).
  • Tidak memfitnah (Tan ujar pisuna)

Berkata jujur dan setia, artinya menepati janji dan berkata sesuai dengan pikiran dan kebenaran (Satya wacana)
Ketiga brata yaitu Upawasa, Jagra, dan Mona mempunyai tujuan yang sama yaitu mengarahkan manusia agar senantiasa dapat mengendalikan diri terhadap rangsangan-rangsangan yang diterima panca indra, waspada dengan kesadaran penuh dan berhati-hati dalam berpikir, berkata, dan berbuat.

Siwaratri sebagaimana halnya dengan hari-hari raya Hindu lainnya adalah tonggak-tonggak peringatan kepada pemeluk Hindu. Filosofi yang dikandung dalam setiap makna hari raya tidaklah berlaku dan dijalankan pada hari-hari raya itu saja, tetapi hendaknya dilaksanakan terus setiap hari secara konsisten dan bertanggung jawab.

Ketaatan setiap individu melaksanakan ajaran-ajaran Agama akan membuahkan masyarakat yang hidup rukun, damai, tenang, dan sejahtera. Kondisi inilah yang perlu diciptakan bersama karena dalam keadaan yang “moksartham jagaditha” Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) akan melimpahkan “wara nugraha”-Nya kepada umat manusia.

Sebaliknya dalam masyarakat di mana manusia saling bertikai, berkelahi, berperang, dan bertindak semaunya tanpa memikirkan kepentingan orang lain, Tuhan akan menjatuhkan hukuman yang dapat menyengsarakan seluruh umat manusia.

Sifat-sifat mementingkan diri sendiri atau kelompok serta menyalahkan pihak lain, menganggap orang atau kelompok lain lebih jelek, lebih bodoh, dan lebih hina adalah bertentangan dengan ajaran Agama Hindu. Tuhan tidak akan mencintai manusia yang tidak mencintai dan menyayangi sesamanya.

Walaupun ia mengekspresikan dirinya sebagai orang yang taat beragama, rajin sembahyang, sering berupacara, bila ia tidak melaksanakan kaidah-kaidah Agama dengan baik dalam pikiran, ucapan dan perbuatannya maka segala doa yang dimohonkan kepada Tuhan akan tidak terkabul, bahkan ia akan terseret ke lembah neraka.

Manusia yang dilahirkan kembali ke dunia menurut ajaran Agama Hindu membawa “karmawasana” yang terdiri dari dua unsur pokok yaitu “Swabhawa” dan “Swaguna”. Swabhawa adalah bibit-bibit sifat dan Swaguna adalah bibit-bibit bakat. Oleh karena itulah maka tingkah polah setiap manusia di dunia tidak akan sama.

Akan selalu berbeda baik dalam pendapat, keinginan, cita-cita, tujuan, dan aktivitas sehari-hari. Perbedaan ini memang diatur oleh Tuhan, agar kehidupan manusia dinamis. Dinamika akan menciptakan produktivitas, dan pada gilirannya produktivitas akan menuju pada kesejahteraan manusia.

Sangatlah keliru bila kita memandang suatu perbedaan sebagai bibit konflik. Di masyarakat yang kurang maju pendidikannya dan sempit dalam pola pikir biasanya memandang orang lain yang berbeda pendapat sebagai “musuh” yang harus dilawan dan dibinasakan.

Pemimpin-pemimpin masyarakat hendaknya benar-benar menempatkan diri sebagai “orang tua”, sebagai “guru” yang patut diteladani oleh para pengikutnya. Berbagai ajaran Agama yang bertujuan menegakkan kebenaran dan keadilan hendaknya diwujudkan bukan hanya sebagai slogan atau wacana saja, tetapi juga harus dibuktikan dalam kiprah sehari-hari.

Bhagawadgita menyiratkan suatu bentuk kerja yang dinamakan “nishkama karma” artinya bekerja tanpa memikirkan hasil atau manfaatnya saja, tetapi yang lebih penting diperhatikan adalah cara menuju keberhasilan itu.

Jadi dalam teori managemen nishkama karma dapat diartikan sebagai “process oriented” dan bukan “result oriented”. Process oriented dalam Agama Hindu adalah kerja yang berpedoman pada kitab suci Veda.

Lebih jauh dalam ajaran Sankhya Yoga selalu ditekankan bahwa seorang pemimpin harus selalu siap menerima kebenaran dan membuang ketidak benaran. Hanya pemimpin yang melaksanakan dharma akan mencapai kejayaan dan kemasyhuran karena itulah pahala bagi mereka yang tekun melakukan perbuatan baik (Atharvaveda VI.69.3).

Setiap orang hendaknya selalu berbuat kebajikan karena pahalanya akan melenyapkan kesusahan. Jalan kebajikan juga akan memberkahi kemakmuran dan dengan perbuatan yang berbudi luhur orang akan berjasa bagi umat manusia. Maka karena itulah ia disayang Tuhan (Rgveda V.51.15)

Sebagai penutup tulisan singkat ini ada ayat Rgveda X.10.1 yang patut diresapkan, sebagai berikut:

O CIT SAKHAYAM SAKHYA VAVRTYAM

Artinya: Perlakukanlah seseorang sebagai sahabat.

**stitidharma.org

Siwa Ratri, Malam Renungan Dosa


Rahina Siwaratri jatuh sehari sebelum Tilem sasih kapitu atau yang sering disebut Prawaning Tilem kapitu oleh masyarakat Hindu di Bali. Pelaksanaan Hari Siwaratri intinya lebih fokus kedalam diri sehingga lebih ditekankan pada pelaksanaan brata dan tapa.

Puasa Hindu
Image by: PHDI

Secara rinci Kegiatan- kegiatan yang dilaksanakan pada hari Siwaratri adalah sebagai berikut:

  1. Sebelum melaksanakan seluruh kegiatan, maka terlebih dahulu dilaksanakan persembahyangan yang diperkirakan selesai tepat pada jam 06.00 dinihari
  2. Selanjutnya tepat pada jam 06.00 dimulai kegiatan Monabrata (tidak berbicara), Upawasa (tidak makan dan minum) dan Mejagra (tidak tidur).
  3. Monabrata dilaksanakan 12 jam, Upawasa 24 jam, Mejagra selama 36 jam.

Dalam Agama Hindu selalu ada tingkatan Nista, Madya dan Utama yang bisa dipilih sesuai kemampuan, begitu pula tingkatan brata dalam melaksanakan Siwaratri. Ada tiga jenis brata Siwaratri, Upayasa (puasa) yaitu brata tidak makan dan minum, Monabrata yaitu puasa tidak berbicara dan Jagra yaitu tidak tidur. Dalam tingkatan nista Upayasa dilaksanakan selama 12 jam yaitu mulai jam 6 sore sampai jam 6 pagi keesokan harinya. Tingkat Madya dilaksanakan selama 24 jam yaitu dari pagi hingga pagi keesokan harinya, dan tingkat Utama dilaksanakan selama 36 jam yaitu dari pagi hingga sore keesokan harinya. Begitupun tingkatan bratanya, tingkat nista hanya jagra, tingkat madya upayasa dan jagra, dan utama melaksanakan ketiganya. Mengawali hari raya Siwaratri sebaiknya dimulai dengan melukat dan bersembahyang di pagi harinya, lalu jalankan brata sesuai kemampuan dan malamnya lakukan perenungan akan hakikat dan jati diri kita sebagai manusia.

Malam Siwaratri merupakan momen introspeksi diri, guna menyadari perbuatan-perbuatan dosa atau kekeliruan selama ini. Teks-teks atau Purana yang menjadi landasan perayaan Siwaratri cukup beragam seperti Padma Purana, Siwa Purana, Siwaratrikalpa dan sebagainya. Lewat kekawin Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung, umat tampaknya lebih

mudah memaknai esensi Siwaratri.

Siwaratri pada hakikatnya kegiatan Namasmaranâm pada Siwa. Namasmaranâm artinya selalu mengingat dan memuja nama Tuhan yang jika dihubungankan dengan Siwa Ratri adalah nama Siwa. Nama Siwa memiliki kekuatan untuk  melenyapkan segala kegelapan batin. Jika kegelapan itu mendapat sinar dari Hyang Siwa, maka lahirlah kesadaran budhi yang sangat dibutuhkan setiap saat dalam hidup ini. Dengan demikian, upacara Siwa Ratri sesungguhnya tidak harus dilakukan setiap tahun, melainkan bisa dilaksanakan setiap bulan sekali, yaitu tiap menjelang tilem atau bulan mati. Sedangkan menjelang tilem kepitu (tilem yang paling gelap) dilangsungkan upacara yang disebut Maha Siwa Ratri.

Untuk dapat mencapai kesadaran, kita bisa menyucikan diri dengan melakukan sanca. Dalam Lontar Wraspati Tattwa disebutkan, Sanca ngaranya netya majapa maradina sarira. Sanca itu artinya melakukan japa dan membersihkan tubuh. Sedang kitab Sarasamuscaya menyebutkan, Dhyana ngaranya ikang Siwasmarana, artinya, dhyana namanya (bila) selalu mengingat Hyang Siwa.

Di antara berbagai brata, mengunjungi tempat suci, memberi dana punya yang mahal seperti batu mulia (emas dan permata), melakukan berbagai jenis upacara Yajña, berbagai jenis tapa dan melakukan berbagai kegiatan Japa atau mantra untuk memuja keagungan-Nya,semuanya itu tidak ada yang melebih keutamaan brata Sivaratri.

Sejalan dengan pernyataan di atas, kakawin Sivaratri Kalpa menyatakan keutamaan Brata Sivaratri seperti diwedarkan oleh Sang Hyang Siva sebagai berikut:

”Setelah seseorang mampu melaksanakan Brata sebagai yang telah Aku ajarkan, kalahlah pahala dari semua upacara Yajña, melakukan tapa dan dana punya demikian pula menyucikan diri ke tempat-tempat suci, pada awal penjelmaan, walaupun seribu bahkan sejuta kali menikmati Pataka (pahala dosa dan papa), tetapi dengan pahala Brata Sivaratri ini, semua Pataka itu lenyap”.

”Walaupun benar-benar sangat jahat, melakukan perbuatan kotor, menyakiti kebaikan hati orang lain, membunuh pandita (orang suci) juga membunuh orang yang tidak bersalah, congkak dan tidak hormat kepada guru, membunuh bayi dalam kandungan+ seluruh kepapaan itu akan lenyap dengan melakukan Brata Sivaratri yang utama, demikianlah keutamaan dan ketinggian Brata (Sivaratri) yang Aku sabdakan ini” (Sivaratri kalpa, 37, 7-8)*

Sumber Sastra itihasa Dalam Itihasa, Sivaratri terdapat dalam Mahabharata, yaitu pada Santi Parva, dalam episode ketika Bhisma sedang berbaring di atas anak-anak panahnya Arjuna, menunggu kematian, sambil membahas dharma, mengacu kepada perayaan Maha Sivaratri oleh raja Citrabhanu, raja Jambudvipa dari dinasti Iksvaku. Raja Citrabhanu bersama istrinya melakukan upavasa pada hari Maha Sivaratri. Rsi Astavakra bertanya:

“Wahai sang raja, mengapa kalian berdua melakukan upavasa pada hari ini? Sang raja dianugerahi ingatan akan punarbhawa sebelumnya, lalu ia menjelaskan kepada sang rsi.

“Dalam kehidupanku terdahulu aku adalah seorang pemburu di Varanasi yang bernama Susvara. Kebiasaanku adalah membunuh dan menjual burung-burung dan binatang lainnya. Suatu hari aku berburu ke hutan, aku menangkap seekor kijang, namun hari keburu gelap. Aku tidak bisa pulang, kijang itu kuikat di sebatang pohon. Lalu aku naik sebatang pohon bilva. Karena aku lapar dan haus, aku tidak dapat tidur. Aku teringat anak istriku yang malang di rumah, menungguku pulang dengan rasa lapar dan gelisah. Untuk melewatkan malam aku memetik daun bilva dan menjatuhkannya ke tanah.” Kisah selanjutnya mirip dengan kisah Lubdaka di Indonesia.

Purana

Sivaratri juga dimuat dalam purana-purana, yang umumnya berisi kisah-kisah pemburu yang sadar, seperti berikut:

Pertama, Siva Purana (bagian Jnanasamhita). Pada bagian ini memuat percakapan antara Suta dengan para rsi, menguraikan pentingnya upacara Sivaratri. Seseorang bernama Rurudruha seperti telah disinggung di atas.

Kedua, Skanda Purana (bagian Kedarakanda). Pada bagian Kedarakanda antara lain memuat percakapan antara Lomasa dengan para rsi. Lomasa menceritakan kepada para rsi tentang si Canda yang jahat, pembunuh segala mahluk, sampai membunuh brahmana, akhirnya dapat mengerti dan menghayati apa yang disebut ”kebenaran” Dalam Skanda Purana juga diceritakan kisah seorang pemburu yang identik dengan kisah pemburu dalam Santi Parva.

Ketiga, Garuda Purana (bagian Acarakanda). Bagian ini memuat uraian singkat tentang Sivaratri diceritakan bahwa Parvati bertanya tentang brata yang terpenting. Siva menguraikan tentang pelaksanaan vrata Sivaratri. Seorang raja bernama Sudarasenaka pergi berburu ke hutan bersama seekor anjing. Rangkaian kisah inipun tidak berbeda dengan kisah pemburu di atas.

Keempat, Padma Purana (bagian Uttarakanda). Bagian ini memuat percakapan raja Dilipa denganWasista. Wasista menceritakan bahwa Sivaratri adalah vrata yang sangat utama, antara bulan Magha dan Palghuna. Dalam Padma Purana, pemburu itu bernama Nisadha. Berkat vrata Sivaratri yang dilakukannya berhasil membawanya ke Siva loka.

**Dari berbagai sumber.

Catatan: 

Begitu mudahkah untuk menebus dosa? termasuk dosa besar? tentu tidak. Setiap sumber bacaan termasuk lontar, purana dll hendaknya kita tafsirkan agar sesuai dengan filosifi hukum karma. Disekitar kita sering kita mendengar kasus pembunuhan, kasus pemerkosaan, perampokan, konflik horisontal dll, disaat yang sama kita juga melihat/menyaksikan ritual agama di negara kita begitu semarak, semangat beribadah begitu tinggi. Kasus-kasus yang kita lihat menunjukkan bahwa negara kita telah mengalami krisis moral spiritual karena kurangnya kesadaran jati dirinya. Ritual agama hanya sebagai rutinitas tanpa meninggalkan jejak kesadaran yang hikiki.