Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Tag Archives: lubdhaka

Siwa Ratri, Malam Renungan Dosa


Rahina Siwaratri jatuh sehari sebelum Tilem sasih kapitu atau yang sering disebut Prawaning Tilem kapitu oleh masyarakat Hindu di Bali. Pelaksanaan Hari Siwaratri intinya lebih fokus kedalam diri sehingga lebih ditekankan pada pelaksanaan brata dan tapa.

Puasa Hindu
Image by: PHDI

Secara rinci Kegiatan- kegiatan yang dilaksanakan pada hari Siwaratri adalah sebagai berikut:

  1. Sebelum melaksanakan seluruh kegiatan, maka terlebih dahulu dilaksanakan persembahyangan yang diperkirakan selesai tepat pada jam 06.00 dinihari
  2. Selanjutnya tepat pada jam 06.00 dimulai kegiatan Monabrata (tidak berbicara), Upawasa (tidak makan dan minum) dan Mejagra (tidak tidur).
  3. Monabrata dilaksanakan 12 jam, Upawasa 24 jam, Mejagra selama 36 jam.

Dalam Agama Hindu selalu ada tingkatan Nista, Madya dan Utama yang bisa dipilih sesuai kemampuan, begitu pula tingkatan brata dalam melaksanakan Siwaratri. Ada tiga jenis brata Siwaratri, Upayasa (puasa) yaitu brata tidak makan dan minum, Monabrata yaitu puasa tidak berbicara dan Jagra yaitu tidak tidur. Dalam tingkatan nista Upayasa dilaksanakan selama 12 jam yaitu mulai jam 6 sore sampai jam 6 pagi keesokan harinya. Tingkat Madya dilaksanakan selama 24 jam yaitu dari pagi hingga pagi keesokan harinya, dan tingkat Utama dilaksanakan selama 36 jam yaitu dari pagi hingga sore keesokan harinya. Begitupun tingkatan bratanya, tingkat nista hanya jagra, tingkat madya upayasa dan jagra, dan utama melaksanakan ketiganya. Mengawali hari raya Siwaratri sebaiknya dimulai dengan melukat dan bersembahyang di pagi harinya, lalu jalankan brata sesuai kemampuan dan malamnya lakukan perenungan akan hakikat dan jati diri kita sebagai manusia.

Malam Siwaratri merupakan momen introspeksi diri, guna menyadari perbuatan-perbuatan dosa atau kekeliruan selama ini. Teks-teks atau Purana yang menjadi landasan perayaan Siwaratri cukup beragam seperti Padma Purana, Siwa Purana, Siwaratrikalpa dan sebagainya. Lewat kekawin Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung, umat tampaknya lebih

mudah memaknai esensi Siwaratri.

Siwaratri pada hakikatnya kegiatan Namasmaranâm pada Siwa. Namasmaranâm artinya selalu mengingat dan memuja nama Tuhan yang jika dihubungankan dengan Siwa Ratri adalah nama Siwa. Nama Siwa memiliki kekuatan untuk  melenyapkan segala kegelapan batin. Jika kegelapan itu mendapat sinar dari Hyang Siwa, maka lahirlah kesadaran budhi yang sangat dibutuhkan setiap saat dalam hidup ini. Dengan demikian, upacara Siwa Ratri sesungguhnya tidak harus dilakukan setiap tahun, melainkan bisa dilaksanakan setiap bulan sekali, yaitu tiap menjelang tilem atau bulan mati. Sedangkan menjelang tilem kepitu (tilem yang paling gelap) dilangsungkan upacara yang disebut Maha Siwa Ratri.

Untuk dapat mencapai kesadaran, kita bisa menyucikan diri dengan melakukan sanca. Dalam Lontar Wraspati Tattwa disebutkan, Sanca ngaranya netya majapa maradina sarira. Sanca itu artinya melakukan japa dan membersihkan tubuh. Sedang kitab Sarasamuscaya menyebutkan, Dhyana ngaranya ikang Siwasmarana, artinya, dhyana namanya (bila) selalu mengingat Hyang Siwa.

Di antara berbagai brata, mengunjungi tempat suci, memberi dana punya yang mahal seperti batu mulia (emas dan permata), melakukan berbagai jenis upacara Yajña, berbagai jenis tapa dan melakukan berbagai kegiatan Japa atau mantra untuk memuja keagungan-Nya,semuanya itu tidak ada yang melebih keutamaan brata Sivaratri.

Sejalan dengan pernyataan di atas, kakawin Sivaratri Kalpa menyatakan keutamaan Brata Sivaratri seperti diwedarkan oleh Sang Hyang Siva sebagai berikut:

”Setelah seseorang mampu melaksanakan Brata sebagai yang telah Aku ajarkan, kalahlah pahala dari semua upacara Yajña, melakukan tapa dan dana punya demikian pula menyucikan diri ke tempat-tempat suci, pada awal penjelmaan, walaupun seribu bahkan sejuta kali menikmati Pataka (pahala dosa dan papa), tetapi dengan pahala Brata Sivaratri ini, semua Pataka itu lenyap”.

”Walaupun benar-benar sangat jahat, melakukan perbuatan kotor, menyakiti kebaikan hati orang lain, membunuh pandita (orang suci) juga membunuh orang yang tidak bersalah, congkak dan tidak hormat kepada guru, membunuh bayi dalam kandungan+ seluruh kepapaan itu akan lenyap dengan melakukan Brata Sivaratri yang utama, demikianlah keutamaan dan ketinggian Brata (Sivaratri) yang Aku sabdakan ini” (Sivaratri kalpa, 37, 7-8)*

Sumber Sastra itihasa Dalam Itihasa, Sivaratri terdapat dalam Mahabharata, yaitu pada Santi Parva, dalam episode ketika Bhisma sedang berbaring di atas anak-anak panahnya Arjuna, menunggu kematian, sambil membahas dharma, mengacu kepada perayaan Maha Sivaratri oleh raja Citrabhanu, raja Jambudvipa dari dinasti Iksvaku. Raja Citrabhanu bersama istrinya melakukan upavasa pada hari Maha Sivaratri. Rsi Astavakra bertanya:

“Wahai sang raja, mengapa kalian berdua melakukan upavasa pada hari ini? Sang raja dianugerahi ingatan akan punarbhawa sebelumnya, lalu ia menjelaskan kepada sang rsi.

“Dalam kehidupanku terdahulu aku adalah seorang pemburu di Varanasi yang bernama Susvara. Kebiasaanku adalah membunuh dan menjual burung-burung dan binatang lainnya. Suatu hari aku berburu ke hutan, aku menangkap seekor kijang, namun hari keburu gelap. Aku tidak bisa pulang, kijang itu kuikat di sebatang pohon. Lalu aku naik sebatang pohon bilva. Karena aku lapar dan haus, aku tidak dapat tidur. Aku teringat anak istriku yang malang di rumah, menungguku pulang dengan rasa lapar dan gelisah. Untuk melewatkan malam aku memetik daun bilva dan menjatuhkannya ke tanah.” Kisah selanjutnya mirip dengan kisah Lubdaka di Indonesia.

Purana

Sivaratri juga dimuat dalam purana-purana, yang umumnya berisi kisah-kisah pemburu yang sadar, seperti berikut:

Pertama, Siva Purana (bagian Jnanasamhita). Pada bagian ini memuat percakapan antara Suta dengan para rsi, menguraikan pentingnya upacara Sivaratri. Seseorang bernama Rurudruha seperti telah disinggung di atas.

Kedua, Skanda Purana (bagian Kedarakanda). Pada bagian Kedarakanda antara lain memuat percakapan antara Lomasa dengan para rsi. Lomasa menceritakan kepada para rsi tentang si Canda yang jahat, pembunuh segala mahluk, sampai membunuh brahmana, akhirnya dapat mengerti dan menghayati apa yang disebut ”kebenaran” Dalam Skanda Purana juga diceritakan kisah seorang pemburu yang identik dengan kisah pemburu dalam Santi Parva.

Ketiga, Garuda Purana (bagian Acarakanda). Bagian ini memuat uraian singkat tentang Sivaratri diceritakan bahwa Parvati bertanya tentang brata yang terpenting. Siva menguraikan tentang pelaksanaan vrata Sivaratri. Seorang raja bernama Sudarasenaka pergi berburu ke hutan bersama seekor anjing. Rangkaian kisah inipun tidak berbeda dengan kisah pemburu di atas.

Keempat, Padma Purana (bagian Uttarakanda). Bagian ini memuat percakapan raja Dilipa denganWasista. Wasista menceritakan bahwa Sivaratri adalah vrata yang sangat utama, antara bulan Magha dan Palghuna. Dalam Padma Purana, pemburu itu bernama Nisadha. Berkat vrata Sivaratri yang dilakukannya berhasil membawanya ke Siva loka.

**Dari berbagai sumber.

Catatan: 

Begitu mudahkah untuk menebus dosa? termasuk dosa besar? tentu tidak. Setiap sumber bacaan termasuk lontar, purana dll hendaknya kita tafsirkan agar sesuai dengan filosifi hukum karma. Disekitar kita sering kita mendengar kasus pembunuhan, kasus pemerkosaan, perampokan, konflik horisontal dll, disaat yang sama kita juga melihat/menyaksikan ritual agama di negara kita begitu semarak, semangat beribadah begitu tinggi. Kasus-kasus yang kita lihat menunjukkan bahwa negara kita telah mengalami krisis moral spiritual karena kurangnya kesadaran jati dirinya. Ritual agama hanya sebagai rutinitas tanpa meninggalkan jejak kesadaran yang hikiki.

%d bloggers like this: