Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Tag Archives: nyentana

Nyentana Menurut Manawa Dharmasatra


Nyentana Sah Menurut Manawa Dharmacastra.

Pada dasarnya system kekerabatan dalam masyarakat Bali menganut sistem Patrilineal. Dimana, keturunan yang dilahirkan mengikuti keluarga pihak ayahnya. Tujuan perkawinana secara kasat mata hanya untuk melanjutkan keturunan suatu keluarga (dinasti). Masalah akan timbul manakala suatu keluarga tidak memiliki anak laki-laki sebagai penerus keturunan. Sehingga, untuk menghindari keputungan keluarga (putusnya keturunan) keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki ini akan menetapkan salah seorang anak perempuannya sebagai sentana rajeg (statusnya ditingkatkan menjadi laki-laki yang akan mewarisi milik orang tuanya).

Image by: Hipwee

Sebagian masyarakat Bali berargumen bahwa perkawinan Nyentana tidak boleh dilakukan. Karena mereka khawatir keturunannya yang menjadi keluarga pihak perempuan tersebut akan ‘’kesakitan’’ dan kesulitan dalam menentukan kawitannya (asal-muasal keturunan). Masalah berikutnya yang banyak ditakutkan yakni terkait dengan pembagian warisan dan nasib anaknya ketika terjadi perceraian dengan istrinya.

Dalam masyarakat adat Bali, kalau seorang laki-laki mengikuti pihak keluarga istrinya biasanya oleh keluarganya maupun lingkungannya akan dicemooh dan disebut ‘’Kepaid Bangkung’’. Sebenarnya, uangkapan kasar inilah yang sangat ditakutkan oleh pihak keluarga lelaki yang anaknya nyentana. Secara yuridis pelaksanaan nyentana dengan kepaid bangkung berbeda. Karena proses nyentana jelas dilakukan dengan sebuah upacara sehingga status pengantin pria juga jelas menjadi bagian dari keluarga istrinya. Sementara kepaid bangkung sampai sekarang masih rancu karena biasanya status laki-aki tetap pada keluarganya hanya saja tinggalnya dirumah istri. Itulah biasanya disebut kepaid bangkung.

Namun demikian, argument ini tidak 100 % benar. Larangan perkawinan nyentana hanya didasarkan atas kebiasaan dari adat yang berlaku semata. Karena sebagian daerah tidak ada kebiasaan nyentana jadi wajarlah masyarakat adat disana menentang perkawinan ini. Sebenarnya golongan masyarakat yang melakukan penentangan dengan kebiasaan perkawinan nyentana ini sangat tidak memahami dari hakekat perkawinan dan penentangan yang mereka lakukan tidak memiliki dasar hokum yang kuat. Mereka hanya mendasarkan larangan melakukan perkawinan nyentana berdasarkan adat kebiasaan. Perlu diingat, adat kebiasaan muncul karena kesepakatan dalam suatu masyarakat adat yang dilakukan dan akhirnya diikuti secara turun temurun. Sehingga lama-kelamaan kebiasaan tersebut berubah menjadi hukum adat.

Dalam agama Hindu, tidak ada sloka atapun pasal yang melarang perkawinan nyentana. Namun demikian kembali seperti keterangan diatas masyarakat pada umumnya memandang negatif perkawinan ini. Karena pihak keluarga laki-laki akan dianggap tidak memiliki harga diri.

Kitab Manawa Dharmasastra sebagai sumber hokum positif yang berlaku bagi umat Hindu secara tegas menyebutkan mengenai status anak wanita yang ditegakkan sebagai penerus keturunan dengan sebutan Putrika (perempuan yang diubah statusnya menjadi laki-laki. Cloka 127 kitab tersebut secara gamblang menyebutkan ‘’Ia yang tidak mempunyai anak laki-laki dapat menjadikan anaknya yang perempuan menjadi demikian (status lelaki) menurut acara penunjukan anak wanita dengan mengatakan kepada suaminya anak laki-laki yang lahir daripadanya akan melakukan upacara penguburan’’.

Dari uraian Cloka tersebut, jelaslah bahwa perkawinan nyentana dibolehkan. Lelaki yang mau Nyentana inilah yang disebut Sentana. Dengan demikian, argument yang mengatakan pelarangan terhadap perkawinan nyentana harus dipandang tidak beralasan karena tidak memiliki dasar hokum yang jelas. Pelarangan ini hanya didasarkan atas kebiasaan yang ada. Adat kebiasaan muncul karena perilaku yang diakui dan dilakukam secara turun-temurun. Sehingga kebiasaan ini bukanlah dasar yang logis dijadikan alasan untuk menentang perkawinan nyentana.

Demikian halnya dengan pembagian warisan dalam perkawinan Nyentana. Dalam Cloka 132 Manawa Dahrmacastra disebutkan, ‘’Anak dari wanita yang diangkat statusnya menjadi laki-laki sesuangguhnya akan menerima juga harta warisan dari ayahnya sendiri yang tidak berputra laki-laki(kakek). Ia akan menyelenggarakan Tarpana bagi kedua orang tuanya, maupun datuk ibunya’’. Selanjutnya Cloka 145 menyebutkan’’Anak yang lahir dari wanita yang statusnya ditingkatkan akan menjadi ahli waris seperti anak sendiri yang sah darinya. Karena hasil yang ditimbulkan adalah untuk dari pemilik tanah itu menurut UU’’.

Diolah dari berbagai sumber.

Perkawinan Nyentana


Ada salah satu pembaca paduarsana.com yang mengirimkan pertanyaan melalui email mengenai “nyentana” pertanyaannya sebagai berikut :

bayupande

Sejujurnya saya bingung menjawab pertanyaan ini: saya bukanlah ahli hukum adat Bali juga bukan konsultan. Kemampuan saya hanya berbagai informasi yang saya dapat dari beberapa sumber yang mudah-mudahan dapat dipertanggung jawabkan.

blog

Terkait pertanyaan diatas saya hanya menyampaikan bahwa Nyentana adalah hukum adat bukan kaidah agama Hindu, Secara teori dalam perkawinan nyentana, seorang laki-laki ikut dalam keluarga isterinya, tinggal di rumah isteri, dan semua keturunannya mengambil garis keturunan istri. Van Dijk (1991: 35) menulis bahwa laki-laki tadi ‘dilepaskan dari golongan sanaknya dan dipindahkan ke dalam golongan sanak si perempuan’. Konsekuensinya, anak yang lahir dari perkawinan nyentana itu akan menjadi pewaris dari garis keturunan ibunya. “Jadi anggota yang meneruskan klan bapak mertua,’ tulis Van Dijk.

Apakah perkawinan semacam itu sah? Hilman Hadikusuma (1990: 10 dan 27) mengatakan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur bagaimana tata tertib adat yang dilakukan mempelai untuk melangsungkan perkawinan. Sahnya perkawinan menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat Indonesia, terutama bagi penganut agama tertentu, tergantung pada agama yang dianut umumnya oleh masyarakat adat tersebut. Jika dilaksanakan menurut hukum agama, maka biasanya perkawinan itu dianggap sah secara adat.

UU Perkawinan, menurut Hilman (1990: 28-29), menempatkan hukum agama sebagai salah satu faktor yang menentukan keabsahan perkawinan. Jika tak dilaksanakan menurut hukum agama, maka perkawinan tidak sah. Dalam adat Hindu Bali, perkawinan umumnya dilakukan melalui upacara keagamaan yang disebut mekala-kalaan yang dipimpin pinandita.

Kembali lagi soal adat atau kebiasaan setempat apakah dengan nyentana pihak laki-laki tidak boleh sembahyang lagi di merajan atau tidak.

Dalam agama Hindu, tidak ada sloka atapun pasal yang melarang perkawinan nyentana. Karena pihak keluarga laki-laki akan dianggap tidak memiliki harga diri. Kitab Manawa Dharmasastra sebagai sumber hukum positif yang berlaku bagi umat Hindu secara tegas menyebutkan mengenai status anak wanita yang ditegakkan sebagai penerus keturunan dengan sebutan Putrika (perempuan yang diubah statusnya menjadi laki-laki). Sloka 127 kitab tersebut secara gamblang menyebutkan ‘’Ia yang tidak mempunyai anak laki-laki dapat menjadikan anaknya yang perempuan menjadi demikian (status lelaki) menurut acara penunjukan anak wanita dengan mengatakan kepada suaminya anak laki-laki yang lahir daripadanya akan melakukan upacara penguburan’’. Dari uraian sloka tersebut, jelaslah bahwa perkawinan nyentana dibolehkan. Lelaki yang mau nyentana inilah yang disebut Sentana. Dengan demikian, argument yang mengatakan pelarangan terhadap perkawinan nyentana tidak beralasan karena tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Demikian halnya dengan pembagian warisan dalam perkawinan Nyentana. Dalam Cloka 132 Manawa Dharmasastra disebutkan, ‘’Anak dari wanita yang diangkat statusnya menjadi laki-laki sesuangguhnya akan menerima juga harta warisan dari ayahnya sendiri yang tidak berputra laki-laki(kakek). Ia akan menyelenggarakan Tarpana bagi kedua orang tuanya, maupun datuk ibunya’’.  Selanjutnya Sloka 145 menyebutkan’’Anak yang lahir dari wanita yang statusnya ditingkatkan akan menjadi ahli waris seperti anak sendiri yang sah darinya. Karena hasil yang ditimbulkan adalah untuk dari pemilik tanah itu menurut UU’’.

**dari berbagai sumber

Artikel lain:

  1. Perkawinan Adat Bali
  2. Perkawinan Nyerod
  3. Hindari! Perkawinan Makedeng-kedengan Ngaad

Nyak Nyentana, Bli?


nyentana

Image by: raosbali

Ni Komang Sri, kéto anake nyambat adan anaké bajang ené, kajegégan saja tusing ada ané ngidaang nyaihin di désané satmaka bungan désa yéning upamayang. Pangadegné langsing lanjar, kulitné kuning langsat, bokné selem lantang, yéning saihang miribang masaih ajak bintang sinétroné ané suba kasub Agnes Monica, kéto truna-trunané ngorahang. Ni Komang Sri mula anak bajang aget tur bagia manumadi ka mercapada, sawiréh ngelah mémé bapa ané sugih tur sayang tekening ia. Ni Komang Sri sanget pesan kasayangan tekén reramané, krana ia ané lakar glantingina ajaka mémé bapané, apang nerusang keturunané apanga tusing putung, sawiréh ia tusing ngelah nyama muani.

”Cening Komang, bapa ngidih tekéning cening, apang melah-melah ngaba raga, eda kanti cening ngalahin bapa ngantén, yéning ngidaang apang cening ngaba anak truna apang nyak nyentana dini, ngentosin ragan bapané dini makrama di désa,” kéto pabesen bapané ane setata kaingetan tekén Komang Sri. Apang tusing cara embok-embokné ané ngalahin mémé bapané ngantén tan papasadok, ngantén ngrorod utawi kawin lari ajaka tunangané. Ni Komang Sri suba makelo magaé di hotél bintang lima di Nusa Dua. Ia maan tugas di bagian front office, cocok ajak kabisané miwah kajegégané. Ada suba limang tiban makeloné ia magaé di hotélé ento.

Ri sedek ia maan libur, kabenengan masi ada odalan di Pura Kawitanné di désa palekadanné. Ia mulih ajak tunanganne ané bareng-bareng magaé di hotal. Disubané teked di jumahné di désa, ditu ia ajak tunanganné seleg nulungin reramané ngaé sahananing bebantenan. Tunanganné ané madan Mas Joko seleg nulungin bapané ngaé lakar basa genep, ané anggoné mébat buin maninne. Mas Joko mula truna bagus alep tusing pati ngraos liu. Ia di hotel maan tugas di bagian room boy. Suba ada atiban ia matunangan ngajak Ni Komang Sri.

”Cening Komang, nyén anaké muani ané ajak cening mai?,” kéto patakon méméné. ”Ené suba tunangan tiangé mémé, ia madan Mas Joko uling Jakarta,” kéto pasaut pianakné. ”Men nyak ia lakar nyentana dini?,” kéto buin patakon méméné. ”Ia misadia nyentana, ngantén ngajak tiang,” kéto pasautné Ni Komang Sri. Mara keto pasaut pianakné dadi lega pesan méméné tur sahasa ngelut Ni Komang Sri, tusing marasa yéh paninggalanné nrebes baan kaliwat bagiannyané. ”Nah, ené mara pianak mémé, tusing pocol mémé ajak bapa, sarahina ngrastiti ring Betara Kawitan, apang kulawargané dini tusing kaputungan,” kéto raos méméné sambilanga nglanturang majejaitan. Bapané Ni Komang Sri masi sanget liang bagia, sawiréh suba ada ané lakar glantingine di kayangné tua. Sakéwala enu masi inget mémé bapané tekén paundukan-paundukan sebet ané suba nibénin pianakné Ni Komang Sri ané malu.

I pidan ia suba ngelah calon sentana, ané enu ada hubungan panyamaan, ané madan Gedé Cita, misané kapurusan tekén Ni Komang Sri. Ajaka dadua suba pada tresna asih lakar makurenan. Gede Cita mula truna bagus tur suba magae dadi kepala urusan (Kaur) di désané. Mémé bapané Gedé Cita suba patuh paitunganne ajaka mémé bapané Ni Komang Sri lakar nganténang manut cara dresta di désané.

Sakéwala suratan idupé tusing dadi kelidin. Gedé Cita ngalahin mati matabrakan ri sedek ia ngandeng Ni Komang Sri ka salon kecantikan di makiré upacara pawiwahanné. I Gedé Cita mati di tongos matabrakanné, sakéwala tunanganné Ni Komang Sri selamet sawiréh ia ketes ka cariké ané sedeng misi padi. Ento makrana makelo Ni Komang Sri sebet atinné nganti ngemasin gelem abulan tur opname di rumah sakit ané paling élit di kota Dénpasar.

Di subané ia seger ditu katuturin olih mémé bapané apanga ia tusing sanget ngingetang tunanganné ané suba ngalahin. ”Nah cening Komang, eda ento sanget sebetanga sawiréh paduman nasibé suba ada ané ngitungang, i raga dini idup di mercapada patut kukuh mautsaha lan ngrastiti bakti apang prasida manggihin karahayuan,” kéto tutur bapané tekéning Ni Komang Sri. Ni Komang Sri mula anak bajang ané setata satinut lan bakti tekén reramané. Ia ngidaang ngengsapang tunanganné ané suba ngalahin mati. Ia tetep magaé di hotél bintang lima di Nusa Dua. Yén ia marasa kangen tekén reramané ia mulih aminggu cepok. Dikénkéné yéning ia sibuk maan tugas double sit, ia mulih abulan cepok. Pepesan ia ngoyong di tongos kostné di Nusa Dua.

Ni Komang Sri jani suba masi ngelah tunangan ané madan I Nyoman Tantra. Tunanganne ané nomer dua ené magaé dadi Balawista di Kuta. Ia matemu ajak tunanganné ri sedek Ni Komang Sri malali ka pasisi Kutané nylimurang manah. I Nyoman Tantra mula truna bagus, pangadegné tegeh, siteng, ganggas, sakéwala kulitné seleman buin abedik sawiréh sai-sai kena ai di pasisi. Ajaka dadua suba saling tresna asih lakar nglanturang makurenan. I Nyoman Tantra suba nyak lakar nyentana, sawiréh ia suba nglah bli-bli ané lakar ngantinin reramané di désa pakraman palekadanné.

Minabang Ni Komang Sri tusing majatukarma ajaka I Nyoman Tantra, sawiréh satondén tulus lakar makurénan, tunanganné I Nyoman Tantra ngmalunin ngantén ajaka tunangané ané buin besikan ané madan Siti Nurléha, pianak pengusaha gedé uling Jawa. Siti Nurléha sedeng enu kuliah di Fakultas Kedokteran. I Nyoman Tantra suba makelo matunangan ngajak Siti Nurléha. Katemuné ri sedek ia nulungin nylametang Siti Nurléha nyilem di pasih Kutane. Dugas ento Siti Nurleha sedenga libur semesteran. Iseng ia malali tur ngelangi di pasisi pasih Kutané. Bapakne Siti Nurléha ané madan Pak Gatot ngalih tur ngajak I Nyoman Tantra ka Jawa apang nyuang pianakné sawiréh suba beling duang bulan. Ditu di Jawa I Nyoman Tantra ajaka Siti Nurléha anténanga cara adat ané suba kalaksanayang ditu. I Nyoman Tantra terus ngoyong di Jawa sawiréh ia dadianga diréktur salah satu perusahanné ané gelahanga tekén matuanné.

”Uduh, Déwa Ratu Agung, dados asapuniki lacur titiangé manumadi setata katibenin kasungsutan,” kéto sesai panyambatné Ni Komang Sri sebet ngangen tekén déwék tan paguna, yéning ia inget tekén paundukan larané ané malu. Akéto paundukan-paundukan i maluan ané nibénin Ni Komang Sri satondén matunangan ngajak Mas Joko.

”Nah Komang, yéning saja Mas Joko suba nyak nyentana dini, ngantén ajak ragan ceningé, bapa ajak mémén ceningé lakar nunas pawarah-warah miwah pamatut ring ida anaké lingsir di Gria Manik Sari,” kéto ujar reramané ri sedek Mas Joko suba ada di jumahné tur lakar sanggup nyentana, ngantén nyuang pianakné.

Disubané igum paitunganné ajak pianakné miwah para panyamaan dadiané, ditu lantas mémé bapané tangkil ka gria nunas pawarah-warah ring ida anaké lingsir. ”Yéning saja Mas Joko nyak nyentana, makurenan ajaka Ni Komang Sri, sapatutné ia maupakarain cara adat i ragané ané suba katami miwah kapagehang olih para leluhuré,” sapunika baos ida anaké lingsir tekén mémé bapané Ni Komang Sri.

”Jani Mas Joko satondén kaanténang ajak Ni Komang Sri, gaénang ia malu upacara Manusa Yadnya, uling upacara mara embas nganti upacara menek bajang,” kénten malih baosné ida anaké lingsir. ”Disubané lakar nglaksanayang upacara pawiwahan ditu masi gaénang upacara Sudi Wadani apang buin pidan ngelah pratisentana ané suputra tur apanga rahayu kayang kawekas,” sapunika panelas baos ida anake lingsir tekén mémé bapané Ni Komang Sri.

Disubané polih padéwasan sané becik, raris Mas Joko ka upacarain Manusa Yadnya nglantur upacara pawiwahan miwah Sudi Wadani nganutin dresta sané kalaksanayang ring désané i rika. ”Dumogi Ida Sanghyang Parama Kawi ngicénin cening ajak dadua wara nugraha apang bagia kayang kawekas,” sapunika pawarah ida anaké lingsir ri tatkala upacara pawiwahan miwah Sudi Wadaniné sampun puput. ”Mirib pajatu karmané Ni Komang Sri tusing ajak truna Bali, ajak truna Jawa payu kasidan,” kéto pakrimik krama désané ri sedek nyaksiang upacara pawiwahan miwah Sudi Wadaniné Ni Komang Sri.

Sumber: Guru Mangku Pandé Mahasastra. Katerbitin olih: Bali Post, 25 Januari 2009.

 

 

 

%d bloggers like this: