Ada salah satu pembaca paduarsana.com yang mengirimkan pertanyaan melalui email mengenai “nyentana” pertanyaannya sebagai berikut :

Sejujurnya saya bingung menjawab pertanyaan ini: saya bukanlah ahli hukum adat Bali juga bukan konsultan. Kemampuan saya hanya berbagai informasi yang saya dapat dari beberapa sumber yang mudah-mudahan dapat dipertanggung jawabkan.

Terkait pertanyaan diatas saya hanya menyampaikan bahwa Nyentana adalah hukum adat bukan kaidah agama Hindu, Secara teori dalam perkawinan nyentana, seorang laki-laki ikut dalam keluarga isterinya, tinggal di rumah isteri, dan semua keturunannya mengambil garis keturunan istri. Van Dijk (1991: 35) menulis bahwa laki-laki tadi ‘dilepaskan dari golongan sanaknya dan dipindahkan ke dalam golongan sanak si perempuan’. Konsekuensinya, anak yang lahir dari perkawinan nyentana itu akan menjadi pewaris dari garis keturunan ibunya. “Jadi anggota yang meneruskan klan bapak mertua,’ tulis Van Dijk.
Apakah perkawinan semacam itu sah? Hilman Hadikusuma (1990: 10 dan 27) mengatakan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur bagaimana tata tertib adat yang dilakukan mempelai untuk melangsungkan perkawinan. Sahnya perkawinan menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat Indonesia, terutama bagi penganut agama tertentu, tergantung pada agama yang dianut umumnya oleh masyarakat adat tersebut. Jika dilaksanakan menurut hukum agama, maka biasanya perkawinan itu dianggap sah secara adat.
UU Perkawinan, menurut Hilman (1990: 28-29), menempatkan hukum agama sebagai salah satu faktor yang menentukan keabsahan perkawinan. Jika tak dilaksanakan menurut hukum agama, maka perkawinan tidak sah. Dalam adat Hindu Bali, perkawinan umumnya dilakukan melalui upacara keagamaan yang disebut mekala-kalaan yang dipimpin pinandita.
Kembali lagi soal adat atau kebiasaan setempat apakah dengan nyentana pihak laki-laki tidak boleh sembahyang lagi di merajan atau tidak.
Dalam agama Hindu, tidak ada sloka atapun pasal yang melarang perkawinan nyentana. Karena pihak keluarga laki-laki akan dianggap tidak memiliki harga diri. Kitab Manawa Dharmasastra sebagai sumber hukum positif yang berlaku bagi umat Hindu secara tegas menyebutkan mengenai status anak wanita yang ditegakkan sebagai penerus keturunan dengan sebutan Putrika (perempuan yang diubah statusnya menjadi laki-laki). Sloka 127 kitab tersebut secara gamblang menyebutkan ‘’Ia yang tidak mempunyai anak laki-laki dapat menjadikan anaknya yang perempuan menjadi demikian (status lelaki) menurut acara penunjukan anak wanita dengan mengatakan kepada suaminya anak laki-laki yang lahir daripadanya akan melakukan upacara penguburan’’. Dari uraian sloka tersebut, jelaslah bahwa perkawinan nyentana dibolehkan. Lelaki yang mau nyentana inilah yang disebut Sentana. Dengan demikian, argument yang mengatakan pelarangan terhadap perkawinan nyentana tidak beralasan karena tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Demikian halnya dengan pembagian warisan dalam perkawinan Nyentana. Dalam Cloka 132 Manawa Dharmasastra disebutkan, ‘’Anak dari wanita yang diangkat statusnya menjadi laki-laki sesuangguhnya akan menerima juga harta warisan dari ayahnya sendiri yang tidak berputra laki-laki(kakek). Ia akan menyelenggarakan Tarpana bagi kedua orang tuanya, maupun datuk ibunya’’. Selanjutnya Sloka 145 menyebutkan’’Anak yang lahir dari wanita yang statusnya ditingkatkan akan menjadi ahli waris seperti anak sendiri yang sah darinya. Karena hasil yang ditimbulkan adalah untuk dari pemilik tanah itu menurut UU’’.
**dari berbagai sumber
Artikel lain:
- Perkawinan Adat Bali
- Perkawinan Nyerod
- Hindari! Perkawinan Makedeng-kedengan Ngaad
Semoga bermanfaat, Silahkan share:
Like this:
Like Loading...
Related
Tetap tidak bisa sesuai agama. Leluhur nya akan marah. Bisa dan “dadi” itu berlainan. Bisa sih bisa, cuma dadi ape sing…
Slamat merenung.
LikeLike
Jawaban nya kok copas dr artikel lain?? Tanpa bisa menjelaskan seandainya nyentana apakah pihak laki” bisa dibilang sebagai orang yang “ngutang leluhur:…
LikeLike
Om Swasty Astu, Terima kasih..sudah berkunjung keblog ini dan menyempatkan untuk berkomentar. Bicara soal adat tidak bisa kita samakan dengan hukum..dari perspektif adat mungkin benar tapi dari sisi hukum belum tentu. orang yang nyentana dianggap ngutang leluhur itu, bhakti kepada leluhur tidak bisa dinilai dari anggapan orang lain tapi lebih ke diri masing2.Om Santih, Santih, Santih Om
LikeLike
selamat siang
saya seorang bapak yang punya anak laki2 dan perempuan
mari kita hilangkan istilah kata nyentana, bagi saya anak laki2 harus saya nikahkan, saya pinang calon mantu saya, setelah nikah apakah mereka mau tinggal sendiri, mau tinggal bersama dirumah mertua dan atau mau tinggal bersama orang tua. Tidak masalah bagi saya selaku orang tua
cuma jangan menyebut kata nyentana. toh untuk berbakti kepada orang tua perempuan dapat dilakukan tanpa adanya nyentana.
terima kasih dari orang tua yang anaknya tidak mau nyentana.
LikeLike
Om Swasty Astu, Sulit untuk menghilangkan itu karena istilah itu merupakan istilah dalam adat yang telah terpatri berabad2. namun demikian berbakti kepada orang tua baik kepada orang tua sendiri maupun keluarga istri bukan suatu hal yang keliru. Namun kembali kepada adat masing2
LikeLike
Pingback: Hindari! Pernikahan Mekedeng-kedengan Ngaad | Paduarsana