Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Tag Archives: dharma

Kedudukan Dharma dalam Catur Purusa Artha


Seperti yang kita ketahui bahwa Catur Purusa Artha adalah empat tujuan hidup yang akan dicapai umat Hindu. Tujuan hidup manusia telah dirumuskan sejak Weda mulai diwahyukan, kita tentu tidak asing dengan penggalan kalimat “Moksartham Jagadhitaya ca iti Dharma”, kalimat ini memiliki makna yang dalam bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin. Tujuan ini secara rinci disebutkan di dalam Catur Purusa Artha, yaitu empat tujuan hidup manusia, yakni Dharma, Artha, Kama dan Moksa.

Dharma berarti kebenaran dan kebajikan, yang menuntun umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan. Artha adalah benda-benda atau materi yang dapat memenuhi atau memuaskan kebutuhan hidup manusia. Kama artinya hawa nafsu, keinginan, juga berarti kesenangan, sedangkan Moksa berarti kebahagiaan yang tertinggi atau kelepasan.

Di dalam memenuhi segala nafsu dan keinginan harus berdasarkan atas kebajikan dan kebenaran yang dapat menuntun setiap manusia di dalam mencapai kebahagiaan. Karena sering kali manusia menjadi celaka atau sengsara dalam memenuhi nafsu atau kamanya bila tidak berdasarkan atas dharma. Oleh karena itu dharma harus menjadi pengendali dalam memenuhi tuntutan kama atas artha, sebagaimana diisyaratkan di dalam Weda (Sarasamuccaya, 12) sebagai berikut :

Kamarthau lipsmanastu
dharmam ewaditaccaret,
na hi dhammadapetyarthah
kamo vapi kadacana. | (Sarasamuccaya, 12)

Artinya : Pada hakekatnya, jika artha dan kama dituntut, maka hendaknyalah dharma dilakukan terlebih dahulu. Tidak dapat disangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama itu nanti. Tidak akan ada artinya, jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma.

Jadi dharma mempunyai kedudukan yang paling penting dalam Catur Purusa Artha, karena dharmalah yang menuntun manusia untuk mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Dengan jalan dharma pula manusia dapat mencapai Sorga (kebahagiaan), sebagaimana pula ditegaskan di dalam Weda (Sarasamuccaya, 14), sebagai berikut :

Dharma ewa plawo nanyah
swargam samabhiwanchatam,
sa ca naurpwani jastatam jala
dhen paramicchatah. | (Sarasamuccaya, 14)

Artinya : Yang disebut dharma adalah merupakan jalan untuk pergi ke sorga (kebahagiaan), sebagai halnya perahu yang merupakan alat bagi saudagar untuk mengarungi lautan.

Selanjutnya di dalam Çantiparwa disebutkan pula sebagai berikut :

Prabhawar thaya bhutanam
dharma prawacanam krtam
yah syat prabhawaçam yuktah
sa dharma iti niçaçayah. | Çantiparwa

Artinya : Segala sesuatu yang bertujuan memberi kesejahteraan dan memelihara semua mahluk, itulah disebut dharma (agama), segala sesuatu yang membawa kesentosaan dunia itulah dharma yang sebenarnya.

Demikian pula Manusamhita merumuskan dharma itu sebagai berikut : “Weda pramanakah creyah sadhanam dharmah”, artinya dharma (agama) tercantum di dalam ajaran suci Weda, sebagai alat untuk mencapai kesempurnaan hidup, bebasnya roh dari penjelmaan dan menunggal dengan Hyang Widhi Wasa (Brahman).

Lebih lanjut, di dalam Weda (Sarasamuccaya, 16) juga disebutkan sebagai berikut :

Yathadityah samudyan wai tamah
sarwam wyapohati,
ewam kalyanamatistam sarwa
papam wyapohati. | (Sarasamuccaya, 16)

Artinya : Seperti halnya matahari yang terbit melenyapkan gelapnya dunia, demikianlah orang yang melakukan dharma, memusnahkan segala macam dosa.

Demikianlah dharma merupakan dasar dan penuntun manusia di dalam menuju kesempurnaan hidup, ketenangan dan keharmonisan hidup lahir bathin. Orang yang tidak mau menjadikan dharma sebagai jalan hidupnya maka tidak akan mendapatkan kebahagiaan tetapi kesedihanlah yang akan dialaminya. Hanya atas dasar dharmalah manusia akan dapat mencapai kebahagiaan dan kelepasan, lepas dari ikatan duniawi ini dan mencapai Moksa yang merupakan tujuan tertinggi.

** diolah dari berbagai sumber

Berpikir Dijalan Dharma (Positif Thinking)


Kebaikan dan kejahatan di dunia ini tidak sesederhana yang mungkin kita pikirkan. Ada beragam sekali niat, alasan dan tujuan di balik suatu tindakan yang sering tidak dapat kita lihat, semata karena tertutup kabut kecenderungan pikiran kita sendiri. Sehingga janganlah terlalu mudah menghakimi orang lain hanya berdasarkan gerak-gerik luarnya saja.

Image by: FunMozar

Image by: FunMozar

Orang yang mengulurkan tangan untuk menolong, bisa jadi bukan karena dia berhutang atau punya motif tertentu, tapi karena dia memiliki empati pengertian pada kesulitan dan kesedihan orang lain, sehingga muncul belas kasih di dalam dirinya.

Orang yang terlebih dahulu minta maaf setelah bertengkar, bisa jadi bukan karena dia bersalah, tapi karena dia sangat menghargai orang lain.

Orang yang sering membayarkan atau mentraktir, bisa jadi bukan karena dia banyak uang atau pamer kekayaan, tapi karena dia lebih menghargai sebuah hubungan baik dibanding uang.

Orang yang sering mengontakmu, bisa jadi bukan karena dia tidak punya kesibukan ataupun ada maunya, tapi karena dia memiliki rasa kepedulian terhadap kamu.

Orang yang mengambil pekerjaan tanpa ada yang menyuruh, bisa jadi bukan karena dia bodoh atau berniat mencari muka, tapi karena dia memiliki rasa tanggung jawab.

Orang yang sering menyanjungmu setinggi langit, bisa jadi bukan karena dia menganggapmu pahlawan, atau orang suci, ataupun gombal mencari muka, tapi karena dia menerima serta memaafkan semua kelemahan dan keburukanmu.

Orang yang sering mengkritikmu, bisa jadi bukan karena dia membencimu, tapi karena dia ingin menyelamatkanmu ataupun ingin kamu mengeluarkan potensi terbaik dirimu.

Seringkali ketika kita menghakimi orang lain, hal itu justru mencerminkan bagaimana diri kita dan isi pikiran kita dibandingkan bagaimana orang lain tersebut. Kita menilai orang lain semata-mata berdasarkan bagaimana kecenderungan pikiran kita sendiri.
Di jalan dharma, belajarlah memandang orang lain dari sudut pandang positif dan lembut. Karena jika kita menghakimi orang lain, secara pasti akan membuat kejernihan dan kedamaian di dalam diri menghilang. Kita tidak saja sedang menanam bibit-bibit kekerasan di dalam diri kita sendiri, tapi juga sedang menanam bibit-bibit kekerasan pada orang lain.

Belajarlah memandang orang lain dari sudut pandang positif dan lembut. Karena disaat itu juga kebencian, kemarahan dan kesombongan lenyap dari pikiran kita. Kemudian memberikan ruang pada belas kasih dan kebajikan di dalam pikiran kita. Hal ini tidak saja memurnikan jiwa, tapi sekaligus juga akan mengirimkan pancaran energi kesejukan dan kedamaian kepada orang lain.

Sudah sering terbukti jika kita dapat memandang orang lain siapa saja, atau mahluk apa saja, dengan sudut pandang positif dan lembut, dalam jangka waktu tertentu sifat orang atau makhluk tersebut lama-kelamaan juga akan berubah menjadi positif dan lembut. Disebabkan karena pancaran energi kesejukan dan kedamaian yang terus kita kirimkan. Kita tidak saja akan menyelamatkan diri kita sendiri tapi juga menyelamatkan orang lain. Hal ini juga yang kemudian akan menghindarkan kita dari kemungkinan garis nasib yang panas dan sengsara.

Terima Kasih, Rumah Dharma.

Hakikat Kemenangan dan Hari Raya Galungan


Pembuatan Penjor

Salah satu persiapan penting saat menjelang Hari Raya  Galungan adalah Penjor. Sudah menjadi ciri khas pada setiap perayaan Galungan, umat Hindu pastilah membuat penjor. Penjor terpancang di depan rumah dengan megah dan indahnya. Ia adalah lambang pengayat ke Gunung, penghormatan kepada Sang Hyang Widhi. Karena itu janganlah penjor itu dibuat hanya sebagai hiasan semata-mata. Lebih-lebih pada hari raya Galungan, karena penjor adalah suatu lambang
yang penuh arti. Pada penjor digantungkan hasil-hasil pertanian seperti: padi, jagung, kelapa, jajanan dan lain-lain, juga barang-barang sandang (secarik kain) dan uang. Ini mempunyai arti: Penggugah hati umat, sebagai momentum untuk membangunkan rasa pada manusia, bahwa segala yang pokok bagi hidupnya adalah anugrah Hyang Widhi. Semua yang kita pergunakan adalah karunia-Nya, yang dilimpahkannya kepada kita semua karena cinta kasih-Nya. Marilah kita bersama hangayu bagia, menghaturkan rasa Parama suksma. Kita bergembira dan bersukacita menerima anugrah-anugrah itu, baik yang berupa material yang diperlukan bagi kehidupan, maupun yang dilimpahkan berupa kekuatan iman dan kesucian batin.
Karena itu, dalam mewujudkan kegembiraan itu janganlah dibiasakan dengan cara-cara yang keluar dan menyimpang dari kegembiraan yang berdasarkan jiwa keagamaan. Mewujudkan 3 kegembiraan dengan judi, mabuk, atau pengumbaran indria sangat dilarang agama.
Bergembiralah dalam batas-batas kesusilaan baik itu kesusilaan sosial dan kesusilaan agama, misalnya mengadakan pertunjukkan kesenian, malam sastra, mapepawosan, olahraga dan lainlainnya. Pada jaman modern ini tidak berlebihan bila kita berani merombak kesalahan kesalahan/kekeliruan-kekeliruan drsta (aturan) lama yang memang nyata-nyata tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran susila. Yang relevan silahkan dijalankan, yang usang dan tidak
sesuai lagi dengan jaman silahkan ditinggalkan. Karena agama itu hendaknya disesuaikan dengan desa, kala dan patra. Jangan sampai agama menjadi beban dalam hidup ini.
Galungan juga berarti kemenangan. Umat Hindu memiliki ajaran yang luhur untuk merayakan kemenangan. Menang di mana dan menang melawan apa? Apakah menang di meja judi atau di sabungan ayam? Atau di pertandingan sepakbola yang rusuh dan penuh pelanggaran? Atau menang di Pemilu yang penuh kecurangan dengan menyisakan korban rakyat-rakyat yang terkapar karena membela simbol partai? Tentu saja tidak sembarang kemenangan. Yang dirayakan adalah kemenangan dharma. Dharma kalau disederhanakan artinya kebenaran. Jadi, menangnya kebenaran itulah yang dirayakan oleh umat Hindu. Sepintas seperti aneh, bukankah kebenaran itu semestinya selalu menang? Kalau kita hidup di zaman Satya Yuga atau Treta Yuga, barangkali betul. Tetapi ini era Kali Yuga, zaman penuh kegelapan, yang menang itu belum tentu yang benar. Para “penentu kebenaran” sudah direcoki oleh virus-virus angkara murka, kelobaan, kedengkian, iri hati, dan sifat buruk lainnya yang bertentangan dengan dharma.

Suasana Hari Raya Galungan, Sumber: Balikami

Itulah sifat-sifat adharma. Wasit bisa memihak pemain, hakim dan jaksa bisa disuap, hukum bisa ditawar. Bahkan pada diri kita sendiri bersemayam sifat-sifat adharma. Melihat keberhasilan orang lain, kita mulai iri hati dan menfitnahnya. Ketika anak belum mendapat nilai yang baik di sekolah kita menghujat guru, dan sebagainya. Banyak lagi sifat-sifat adharma yang lain.
Adharma bercokol dalam diri kita sendiri, besar dan kecilnya bervariasi. Tergantung pada kita sendiri, apakah mau mencabut sampai ke akar-akarnya, atau justru memelihara dan memupuknya agar kian tumbuh dengan subur?
Nah tentu semua ingin pilihan yang pertama yaitu membinasakannya. Sifat adharma harus kita kalahkan. Kita awali dengan niat yang suci, melakukan pembersihan diri, baik dengan tapa, japa, brata yang dalam bahasa sekarang bisa kita sebut “tekad untuk berbuat suci”. Umat Hindu di Bali menyediakan hari yang disebut Sugian Bali dan Sugian Jawa, itulah hakekat penyucian diri.
Ketika segala yang kotor itu bisa kita bersihkan, mari kita belenggu keinginan jahat (adharma) kita. Leluhur kita yang mewariskan tradisi Penyekeban dilanjutkan Penyajaan, itulah saatnya kita membelenggu nafsu jahat kita. Pada akhirnya segala yang jahat dan kotor kita musnahkan, kita “sembelih” sifat-sifat hewani buruk yang ada pada diri kita. Jika semua tahap itu bisa kita lakoni dengan baik, pada Rabu Kliwon Wuku Dungulan semuanya itu kita syukuri sebagai kemenangan dharma. Inilah Galungan yang sejatinya.

Artikel Oleh: Ni Putu P Noviasih

%d bloggers like this: