Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Tag Archives: upacara ngaben

Sengsara


Oleh : Bhagawan Dwija

Kisah hidup keluarga Putu Sutisna dari Desa Pemaron, Singaraja, mungkin dialami pula oleh banyak umat Hindu di Bali. Seolah-olah dia ditakdirkan untuk hidup dalam keadaan susah di awal kehadirannya di dunia.

Ketika lahir di tahun 1970, ibunya meninggal dunia karena komplikasi penyakit kandungan, pendarahannya tidak berhenti. Hanya dua hari ibu yang malang itu sempat menatap wajah anak satu-satunya, sebelum ia meninggalkan dunia yang fana ini.

Ayahnya yang tidak mempunyai pekerjaan tetap setengah mati bekerja membanting tulang mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Berbagai jenis pekerjaan dilakukannya demi sesuap nasi. Mulai dari menerima upah memetik kelapa, menanam, dan menuai padi, buruh bangunan, terkadang membantu pekerjaan di rumah orang, dan lain-lain.

Sementara bekerja, anaknya dititipkan pada orang tuanya yang juga hidup di bawah standar garis kemiskinan. Malam hari tatkala mata tak bisa terpejam karena tangisan si anak, ia merenung meratapi diri, kenapa hidupnya turun temurun selalu susah.

Konon ketika generasi kakeknya, hidup mereka berkecukupan, ada sawah dan kebun yang cukup menunjang kebutuhan sehari-hari. Tetapi ketika sawah dan kebun itu dijual untuk biaya upacara Ngaben kakeknya, hidup mereka mulai sulit, berlanjut terus sampai ke generasi anaknya yang baru lahir ini.

Sekitar setengah kilometer di arah barat gubuk Pan Sutisna, masih di bilangan Desa Pemaron, tinggallah seorang Pendeta Gereja Protestan bernama Pieter Ketut Sudarsana. Ia menerima laporan dari anak buahnya tentang hidup Pan Sutisna yang sulit, tidak punya pekerjaan, lebih-lebih dibebani anak yang ditinggal mati ibunya.

Suatu senja Pieter berkunjung ke rumah Pan Sutisna. Ia tidak datang begitu saja, tetapi membawa pula oleh-oleh berupa susu bayi, selimut, pakaian bekas, sembako, dan uang Rp.300.000,– Pan Sutisna terkejut menyambut Pieter yang datang tiba-tiba ke rumahnya yang kumuh. Pieter tidak segan-segan duduk di lantai tanah beralaskan tikar dekil, seraya merangkul Putu Sutisna yang baru berusia 20 hari.

“Kasihan anak ini Bapak, siapa namanya ?” Pieter membuka percakapan sambil mengembangkan senyum ramah. “Putu Sutisna, Bapak Pendeta” jawab Pan Sutisna sambil menerka-nerka apa gerangan maksud kedatangan Pieter ke rumahnya.

Keheranan Pan Sutisna rupanya terbaca oleh Pieter. “Oh jangan salah duga, saya ke sini hanya merasa kasihan melihat keadaan Bapak, dan saya ingin membantu sekedarnya. Bantuan yang saya bawa sekarang tidak ada artinya apa-apa, tetapi saya minta Bapak mau menerimanya, karena pemberian ini datang dari hati saya yang tulus” kata Pieter, sambil memasukkan botol dot susu ke mulut mungil Putu Sudarsana.

Bayi itu menikmati kehangatan pelukan Pieter dan menyedot botol susu hingga habis tandas. Ia tertidur pulas. Pieter kemudian membaringkan bayi di tempat tidur sambil menyelimutinya.

“Bapak tidak punya saudara atau kerabat lain di sini ?” tanya Pieter sambil duduk dekat Pan Sutisna. “Ada, tetapi hidupnya juga susah seperti saya; mereka sangat miskin, bagaimana bisa membantu saya ?” “Lalu Bapak tidak punya pekerjaan ?” selidik Pieter mencocokkan informasi anak buahnya. “Tidak Bapak Pendeta, saya tidak punya pekerjaan tetap, sehingga untuk makan sehari-hari saja sudah sulit, apalagi untuk merawat bayi ini”

Pieter mengangguk-angguk turut merasakan kepahitan Pan Sutisna. “Bapak, saya harus pulang sekarang, tetapi bila ada kesulitan apa-apa jangan segan menghubungi saya; tahu kan rumah saya ?” “Ia Bapak Pendeta, yang di dekat Gereja itu kan, saya sangat berterima kasih atas kedatangan dan bantuan Bapak Pendeta”

Sepeninggal Pieter, Pan Sutisna mencakupkan kedua tangan di atas dahinya : “Hyang Widhi, Engkau sudah mengirimkan seorang penolong kepadaku, terima kasih” Hatinya berbunga-bunga, karena uang tiga ratus ribu rupiah itu sudah cukup untuk makan sebulan.

Segera ia lari ke dapur menanak nasi dan makan sampai kenyang. Setelah itu ia menengok bayinya yang masih tidur lelap. Berkali-kali ia mengucapkan terima kasih kepada Hyang Widhi, dan selalu teringat dengan senyum ramah Pieter dan kata-katanya yang memukau. Ia merasa mendapat seorang sahabat yang mengerti pada penderitaannya.

Seminggu kemudian, Pieter berkunjung untuk kedua kalinya ke rumah Pan Sutisna. “Bagaimana bayinya, apa persediaan susunya masih ada ?” “Oh, Bapak Pendeta, silahkan duduk Bapak, maaf saya tidak segera menyambut, karena masih membelah kayu bakar di belakang. Susunya masih dan si Putu sekarang sudah jarang menangis.”

“Betul, kelihatannya dia cukup sehat, tetapi bayi perlu diberi imunisasi agar terhindar dari penyakit dan infeksi. Bisakah kita bawa dia sekarang ke klinik di Gereja ?” Pan Sutisna terkejut : “Maaf Bapak Pendeta, saya tidak punya uang untuk berobat”.

Pieter cepat menjawab : “Tidak usah memikir hal itu, karena Gereja menyediakan pengobatan gratis. Kasihan bayi ini kalau tidak dirawat semestinya” Pieter segera membopong si bayi, dan Pan Sutisna hanya bisa mengikuti dari belakang sambil berpikir, alangkah mulianya hati Bapak Pendeta, mau membantu orang miskin tanpa imbalan apa-apa.

Sampai di klinik Gereja, bayi segera diserahkan kepada perawat bernama Marry Luh Putu Aryani. Perawat tamatan Surabaya ini memeriksa bayi dengan teliti, dan memberikan imunisasi sebagaimana mestinya.

Pan Sutisna terbengong-bengong saja melihat kesibukan di klinik. Ada banyak bayi yang ditempatkan di sebuah kamar, masing-masing di tempat tidur kecil yang nyaman. Mereka kelihatannya sehat-sehat, montok, ada yang tertidur, dan ada yang terjaga, lalu tertawa-tawa ketika Pieter menyentuh tangannya.

Pieter memeriksa semua bayi itu didampingi perawat Marry. “Mereka semua senasib dengan Sutisna” kata Pieter memecah keheningan. “Juga berasal dari keluarga tidak mampu seperti Bapak; maka atas persetujuan orang tuanya, bayi itu diserahkan ke kami untuk dirawat secara cuma-cuma. Kalau Bapak setuju, bisa juga Bapak titipkan Sutisna di sini; setelah sehat dan cukup kuat, dia bisa Bapak bawa pulang ke rumah”

Kata-kata Pieter bagaikan hembusan angin dingin di musim kemarau, menyejukkan dan memberi harapan hidup. Tanpa berpikir panjang, Pan Sutisna menjawab : “Terserah Bapak Pendeta saja, bagaimana baiknya, saya sudah tidak mampu berpikir lagi.”

“Baiklah, Marry, tempatkan Sutisna di box yang kosong” perintah Pieter. Pan Sutisna pulang dengan perasaan yang sangat lega. Sekarang dia bisa konsentrasi bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri. Soal perawatan Sutisna, sudah diserahkan ke Pieter.

Keesokan harinya Pieter datang lagi. “Saya lupa kemarin, ada satu hal yang ingin saya tawarkan ke Bapak.” “Wah Bapak Pendeta sudah banyak sekali menolong saya, rasanya malu, karena saya tidak mampu membalas budi baik Bapak Pendeta.”

“Jangan begitu, kita sesama umat manusia wajib saling tolong menolong” potong Pieter dengan cepat.

“Begini, Gereja punya sebidang tanah yang biasanya ditanami buah melon; pekerjanya sekarang sudah pindah ke Tanah-Toraja, Sulawesi Selatan, mengikuti pendidikan. Tanah itu sekarang tidak ada yang menggarap. Maukah Bapak mengerjakannya ? Nanti hasilnya dibagi dua, setengah untuk Bapak dan sisanya untuk Gereja. Semua biaya penanaman, perawatan dan panen, ditanggung Gereja”

Pan Sutisna, heran, kebingungan, karena bagaikan mendapat durian runtuh. Ia tidak lama berpikir, bahkan takut kalau tawaran Pieter yang baik itu dibatalkan. Segera ia menjawab : “Saya mau Bapak Pendeta, bahkan saya tidak dapat menyampaikan dengan kata-kata, betapa besar kebaikan hati Bapak Pendeta ke diri saya.”

“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan, kalau begitu mulai besok Bapak sudah bisa menggarap tanah itu. Luasnya tidak seberapa, hanya 50 are.”

“Ha, 50 are, hasil panen buah melon untuk setahun bisa mencapai sepuluh ton !” sergah Pan Sutisna.

“Ya begitulah kurang lebihnya”, kata penutup Pieter, berdengung sepanjang malam di benak Pan Sutisna. Hampir ia tidak bisa memejamkan mata, memikir perubahan nasibnya yang drastis itu.

Bulan berganti tahun, Sutisna tumbuh dengan baik, Pan Sutisna sudah mampu hidup layak dan rumahnya pun sudah diperbaiki, berdinding tembok, atap genteng, lantai keramik, rapi, dan bersih. Dia bahkan sudah mampu membeli sepeda motor untuk pergi ke mana-mana.

Ketika Sutisna sudah waktunya masuk sekolah, Pieter menyarankan ke sekolah milik Gereja yang membebaskan uang sekolah bagi anak-anak tidak mampu. Sementara itu Pan Sutisna merasa jatuh hati kepada adik Marry Luh Putu Aryani, perawat yang membesarkan anaknya.

Adik Marry bernama Isabela Ketut Suastini. Gayung bersambut, cinta Pan Sutisna kepada Isabela tak bertepuk sebelah tangan. Mereka pun mengikat diri dalam pernikahan secara Protestan, dengan Pieter sebagai Pendeta yang mensahkan perkawinan itu.

Akta perkawinan pun jadi, di mana menyebutkan Pan Sutisna dengan nama baru, George Gede Subawa. Sampai tingkat SLTA, Sutisna masih bersekolah di Bali, kemudian ketika akan meneruskan kuliah ke Tanah-Toraja, dia dibaptis Pendeta Pieter dengan nama baru : Friets Putu Sutisna.

Kehidupan di Gereja Pemaron berlanjut terus. Dari sela-sela kerimbunan pohon flamboyan, terdengar anak-anak SD membaca The Bijbel dalam Bahasa Bali : “Antuk asung wara kertha nugraha Ida Sanghyang Widhi Wasa, ngraris Ida Maria mobot putran Idane, Yesus. Kasuwen-suwen Ida rauh ring Jagat Yerusalem. Irike Ide ketangkilin antuk para …”

Bacaan itu tertutup oleh gemuruh suara mobil yang lalu lalang di jalan poros Singaraja – Seririt.

Zaman beredar, nasib Bali pun berganti, entah di masa depan akan bagaimana. Seperti perjalanan hari, mulai terbitnya matahari di timur, hingga terbenam di ufuk barat, perubahan akan berlangsung, cepat atau lambat.

Senja di Pantai Lingga, pemandangan sunset yang indah, diiringi suara azan : “…Asyhaduallah Muhammad rasulallah, Allahuakbar…”

Saya menarik nafas panjang, menuntun cucu saya yang terkecil, nomor sembilan bernama : Nyoman Krishnayogi, “Meriki putu, budal, sampun sore” Tertatih-tatih dengan tongkat, saya membimbing cucu yang melangkah tegap ke depan. Mudah-mudahan kau terhindar dari sengsara, cucuku.

Di Balik Sederhananya “Ngaben” Sang Tokoh


ida pedanda made sidemen

Penyederhanaan upacara sering kita diwacanakan oleh para sulinggih-sulinggih dan tokoh-tokoh masyarakat di Bali. Namun tat kala tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat tersebut menyelenggarakan upacara, cendrung menonjolkan kemewahan dan kemegahan pada upacaranya tersebut.

Kutipan dari media cetak Denpost I:

Umat Hindu di Bali pantas bercermin pada sosok Ida Pedanda Made Sidemen mengenai kesederhanaan dalam menggelar upacara pitrayadnya. Tatkala jasad Sang Pendeta yang juga pengawi serta arsitek agung Bali itu di -pelebon, upacaranya jauh dari kesan mewah ataupun megah. Tak ada lembu bertanduk emas, tiada usungan bade menjulang tinggi, tanpa hingar-bingar pula. Kendari Pelebon pada tanggal 13 September 1984 itu di iringi ribuan orang, toh yang terasa seperti kesunyian, keheningan.

Memang upacara pelebon sederhana itu merupakan wasiat Ida Pedanda sebelum lebar (meninggal). Ida Pedanda berpesan kepada putrinya, Ida Ayu Pidin agar jazadnya cukup di bakar sederhana. Bahkan, Ida Pedanda sepertinya sudah tau kapan akan dijemput kematian. Lantaran sebagian perlengkapan upacara pelebon-nya disiapkan sendiri. Keropak penutup jenazahnya misalnya, sepenuhnya merupakan karya Ida Pedanda sediri.

Kesederhanaan memang menjadi jalan hidup Ida Pedanda Made Sidemen. Dalam karya-karyanya, Sahabat Raja Badung, I Gusti Ngurah Made Agung ini menyebutkan diri tidak berpunya (mayasa lacur). Tidak punya tanah sawah (tong ngelah karang sawah), sehingga memilih jalan “bercocok tanam” di dalam diri (karang awake tandurin), kendati begitu Ida Pedanda senantiasa berharap bisa bermanfaat bagi masyarakat (guna dusun).Jalan sederhana dalam melaksanakan upacara ngaben juga dicontohkan dr. Anak Agung Jelantik. Saat pelebon mendiang Istrinya di Mumbul, Kuta Selatan. Padahal, sebagai putra Raja Karangasem, dia bisa saja menggelar ngaben megah, mewah semarak dan meriah layaknya tradisi kerajaan.

Kutipan II media cetak denpost :

Jalan sederhana dalam melaksanakan upacara ngaben juga dicontohkan dr. Anak Agung Jelantik. Saat pelebon mendiang Istrinya di Mumbul, Kuta Selatan. Padahal, sebagai putra Raja Karangasem, dia bisa saja menggelar ngaben megah, mewah semarak dan meriah layaknya tradisi kerajaan.

Namun, Jelantik juga memilih jalan sunyi. Tak ada iring-iringan masa berjalan panjang hingga memacetkan pengguna jalan. Tak ada gemuruh tetabuhan baleganjur. Tak ada usungan bade tinggi menjulang. Tak ada hingar bingar dengan beberapa kendaraan, jenazah sang Istri meluncur ke Mumbul.

Selain itu ada tokoh lain seperti Ida Pandita Mpu Nabe Jaya Rekananda, Giriya Nataran Kayumas Kelod yang amor ring acintya pada tanggal 12 April 2012 lalu, Dimana beliau memberikan pesan jika nanti pada saatnya beliau dipanggil oleh sang pencipta, agar beliau diupacarai sesederhana mungkin. Semasa hidup, beliau juga sering menyelenggarakan upacara yadnya dengan biaya ringan bahkan tanpa biaya sekalipun baik di Bali maupun di luar Bali. Selain itu juga yang patut menjadi contoh adalah pada saat beliau didatangi oleh kakek miskin yang berharap agar sebelum kakek ini meninggalkan dunia ini agar pernah ada seorang sulinggih yang muput di Merajannya yang bangunannya sudah sangat rusak berat, dan yang mengharukan adalah sang pandita pun berkenan mepuja hanya menggunakan banten “Peras Pengambyan” saja lengkap menggunakan Bhusana Agung (busana kebesara seorang sulinggih).

Itulah beberapa contoh tokoh agama dan tokoh masyarakat di Bali yang patut kita contoh kesederhanaannya, yang mana sangat jarang sekali kita temui pada masa sekarang.

Dari: berbagai sumber. artikel lainnya: landasan filosifis ngaben

Landasan Filosifis Ngaben


ngaben, sumber foto: iwandaniels

Manusia terdiri dari dua unsur yaitu Jasmani dan Rohani. Menurut Agama Hindu manusia ituterdiri dari tiga lapis yaitu Raga Sarira, Suksma Sarira, dan Antahkarana Sarira. Raga Sarira adalah badan kasar. Badan yang dilahirkan karena nafsu (ragha) antara ibu dan bapak. Suksma Sarira adalah badan astral, atau badan halus yang terdiri dari alam pikiran, perasaan, keinginan, dan nafsu (Cinta, Manah, Indriya dan Ahamkara). Antahkarana Sarira adalah yang menyebabkan hidup atau Sanghyang Atma (Roh).Ragha sarira atau badan kasar manusia terdiri dari unsur panca mahabhuta yaitu prthiwi, apah, teja, bayu, dan akasa. Prthiwi adalah unsur tanah, yakni bagian-bagian badan yang padat, apah adalah Zat Cair, yakni bagian-bagian badan yang cair ; seperti darah, kelenjar, keringat, air susu dll. Teja adalah api yakni panas badan (suhu), emosi. Bayu adalah angin, yaitu nafas. Dan yang Akasa adalah ether, yakni unsur badan yang terhalus yang menjadikan rambut, kuku.

Proses terjadinya Ragha Sarira atau badan kasar adalah sebagai berikut : sari-sari Panca Maha Bhuta yang terdapat pada berbagai jenis makanan terdiri dari enam rasa yang disebut sad rasa yaitu Madhura (manis), Amla (asam), Tikta (pahit), Kothuka (pedas) , kyasa (sepet) dan lawana (asin). Sad rasa tersebut dimakan dan diminum oleh manusia, dimana didalam tubuh diproses disamping menjadi tenaga, ia menjadi kama. Kama bang (Ovum / sel telur) dan kama putih (sperma). Dalam pesanggamaan kedua kama ini bertemu dan bercampur melalui pengentalan menjadilah ia janin, badan bayi. Sisanya menjadi air nyom, darah lamas (kakere) dan ari-ari.Percampuran kedua kama ini dapat menjadi janin, bilamana atma masuk atau turun kedalamnya. Konon atma ini masuk kedalam unsur kama yang bercampur ini, ketika ibu dan bapak dalam keadaan lupa, dalam asyiknya menikmati rasa. Disamping Panca Maha Bhuta yang kemudian berubah menjadi janin ikut juga Panca Tan Matra, yakni benih halus dari Panca Maha Bhuta itu. Panca Tan Matra ini dalam janin bayi juga memproses dirinya menjadi Suksma Sarira, yakni Citta, Manah, Indriya dan Ahamkara. Citta terdiri dari tiga unsur yaitu disebut Tri Guna, yaitu Sattwam, Rajas, Tama. Ketiga unsur ini membentuk akhlak manusia. Manah adalah alam pikiran dan perasaan, indriya alam keinginan dan ahamkara adalah alam keakuan. Unsur-unsur tersebut disebut Suksma Sarira. Alam transparan ini dapat merekam dan menampung hasil-hasil yang dikerjakan oleh badan atas pengendali Citta tadi. Bekas-bekas ini nantinya merupakan muatan bagi si Atma (roh) yang akan pergi ke alam pitra.Ketika manusia itu meninggal Suksma Sarira dengan Atma akan pergi meninggalkan badan. Atma yang sudah begitu lama menyatu dengan Sarira, atas kungkungan Suksma Sarira, sulit sekali meninggalkan badan itu. Padahal badan sudah tidak dapat difungsikan, lantaran beberapa bagiannya sudah rusak. Hal ini merupakan penderitaan bagi Atma (roh).Untuk tidak terlalu lama atma terhalang perginya , perlu badan kasarnya di upacarakan untuk mempercepat proses kembalinya kepada sumbernya dialam yakni Panca Maha Bhuta. Demikian juga bagi sang atma perlu dibuatkan upacara untuk pergi ke alam pitra dan memutuskan keterikatannya dengan badan kasarnya. Proses inilah yang disebut Ngaben.

ngaben

Kalau upacara ngaben tidak dilaksanakan dalam kurun waktu yang cukup lama, badan kasarnya akan menjadi bibit penyakit, yang disebut Bhuta Cuwil, dan Atmanya akan mendaptkan Neraka, seperti dijelaskan :“Yan wwang mati mapendhem ring prathiwi salawasnya tan kinenan widhi-widhana, byakta matemahan rogha ning bhuana, haro haro gering mrana ring rat, etemahan gadgad”Artinya“kalau orang mati ditanam pada tanah, selamnya tidak diupacarakan diaben, sungguhnya akan menjadi penyakit bumi, kacau sakit mrana di dunia, menjadi gadgad (tubuhnya)….”(lontar Tatwa Loka Kertti, lampiran 5a).

Landasan pokok ngaben adalah lima kerangka agama Hindu yang disebut Panca Sradha atau lima keyakinan itu adalah :Ketuhanan / Brahman : Brahman merupakan asal terciptanya alam semesta beserta isinya, termasuk manusia. Beliau juga merupakan tujuan akhir kembalinya semua ciptaan itu. Dalam Kekawin Arjuna Wiwaha dirumuskan secara singkat dengan kalimat Sang Sangkan Paraning Dumadi artinya beliau sebagai asal dan kembalinya alam semesta beserta semua isinya. Berdasarkan atas keyakinan inilah, upacara tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengembalikan semua unsur yang menjadikan manusia ke asalnya. Sebagaimana juga tujuan dari Agama Hindu yaitu Moksartham Jagad Hita Ya Ca Iti Dharma yang berarti bahwa tujuan tertinggi agama Hindu adalah mencapai Moksa. Dimana Moksa dapat diartikan sebagai proses menyatunya Atma dengan Brahman atau dengan istilah Atman Brahman Aikyam, konsep Agama Hindu adalah untuk kembali menyatu dengan sang pencipta (Brahman / Tuhan), dimana Tuhan merupakan asal semua kehidupan.Atman (roh) : Keyakinan akan adanya Atma pada masing-masing badan manusia. Ia yang menghidupkan semua mahkluk termasuk manusia. Atma merupakan setetes kecil (atum) dari Brahman. Suatu sat setelah tiba waktunya, ia pun akan kembali kepada asalnya yang suci, atma perlu disucikan. Hal inilah yang memerlukan upacara.Karma : Manusia hidup tidak bisa lepas dari kerja. Kerja itu ada atas dorongan suksma sarira (Budi, Manah, Indria, dan Aharalagawa) setiap kerja akan berpahala. Kerja yang baik (Subha karma) berpahala baik pula. Kerja yang buruk (Asubha karma) akan berakibat keburukan pula. Pahala karma ini akan menjadi beban atma akan kembali keasalnya. Lebih-lebih buah karma yang buruk. Ia merupakan beban atma yang akan menghempaskan ke alam bawah (Neraka). Oleh karena itu manusia perlu berusaha untuk membebaskannya. Bagi para Yogi ia mampu membebaskan dosa-dosanya tanpa bantuan sarana dan prasarana orang lain. Tapi bagi manusia biasa, ia memerlukan pertolongan. Hal-hal inilah yang menyebabkan perlunya upacara Ngaben itu, yang salah satu aspeknya akan menebus dan menyucikan dosa-dosa itu.Samsara : artinya penderitaan. Atma lahir berulang-ulang ke dunia ini. Syukur kalau lahirnya menjadi manusia utama, atau setidak-tidaknya menjadi manusia. Adalah sangat menderita kalau lahir menjadi binatang. Oleh karena itu perlu dilaksanakan upacara ngaben, yang salah satu tujuannya adalah untuk melepaskan atma untuk dapat kembali ke asalnya. Hal ini disimbolkan dengan tirtha pangentas dan aksara-aksara kelepasan lainnya seperti rurub kajang, recedana, dan lain-lain.Moksa : artinya kebahagiaan abadi. Inilah yang menjadikan tumpuan harapan semua manusia. Dan inilah menjadi tujuan Agama Hindu. Demi tercapainya moksa itu, atma harus disucikan. Dosa-dosanya harus dibebaskan. Keterikatannya dengan duniawi harus diputus, kemudian terakhir Ia harus dipersatukan dengan sumbernya. Inilah menjadi konsep dasar upacara ngaben, memukur dan terakhir Ngalinggihang Dewa Hyang pada sanggah Kamulan atau Ibu Dengen. Hal ini mengandung arti Atma bersatu dengan sumbernya (Kamulan Kawitan) atau kata lain mencapai Moksa (kendatipun ini hanyalah usaha dan khayalan pretisantana).

%d bloggers like this: