Secara esensial sebuah perkawinan adalah murni mempertemukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk mengikatkan diri secara lahir-bathin, material-spiritual guna membentuk sebuah keluarga yang sejahtera, bahagia dan langgeng. Jika kemudian ada semacam ketentuan yang mengandung potensi menghalangi, menghambat bahkan menggagalkan suatu perkawinan karena perbedaan agama,suku atau wangsa(misal pihak laki-laki berasal dari non Hindu(Bali) maka sesungguhnya perkawinan tersebut tidak perpijak pada esensi agama tetapi hanya berpedoman pada adat(tradisi lokal).
Keputusan untuk meneruskan proses sebuah perkawinan akhirnya terpulang pada sejauh mana pemahaman kita tentang amanat ajaran agama perihal perkawinan. Jika lelaki Hindu dengan kesadaran, keikhlasan yang tanpa paksaan mau mengikuti agama Hindu yang dianut calon istri, maka hendaknya jangan karena persoalan wangsa menghalangi/membatalkan proses perkawinan tersebut. Sudah saatnya umat Hindu(Bali) berpijak pada esensi agama dari pada dominasi tradisi yang terkadang justru berlawanan dengan petunjuk kitab suci. Di dalam kita Manusmrti 1 X.96 dijelaskan: “Untuk menjadi ibu maka diciptakanlah Wanita, untuk menjadi Ayah maka laki-laki diciptakan. Karena itu upacara ditetapkan dalam Weda untuk dilaksanakan oleh suami(Pria) bersama istri(Wanita)”.
Jadi cukup jelas penegasan kitab Manusmrti diatas yang hanya mensyaratkan sebuah perkawinan itu sebagai “pertemuan/ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang disahkan melalui upacara perkawinan(Wiwaha Samskara) menurut agama yang diyakininya. Agama mana haruslah dalam pengertian “suatu agama sehingga proses (pemuput) karya pewiwahannya juga melalui sradha yang tunggal.
Persoalan wangsa atau yang lebih populer dengan kasta memang masalah yang sangat serius bagi umat Hindu, padahal persoalan wangsa adalah persoalan adat, lebih tepatnya kesalahan masyarakat Bali yang salah menafsirkan dan merealisasikan konsep “warna” yang ada dalam Weda(Hindu) dimana konsep “warna” membagi golongan masyarat berdasarkan “guna-karma”(sifat dan pekerjaan/profesi) bukan berdasarkan “gen” atau keturunan.
Kasus seperti ini sering terjadi dan menimbulkan persoalan, solusinya adalah mengembalikan esensi sebuah perkawinan berdasarkan agama(Hindu) bukan berdasarkan adat(Bali).
Semoga bermanfaat, Silahkan share:
Like this:
Like Loading...
Recent Comments