Oleh : Bhagawan Dwija
Kisah hidup keluarga Putu Sutisna dari Desa Pemaron, Singaraja, mungkin dialami pula oleh banyak umat Hindu di Bali. Seolah-olah dia ditakdirkan untuk hidup dalam keadaan susah di awal kehadirannya di dunia.
Ketika lahir di tahun 1970, ibunya meninggal dunia karena komplikasi penyakit kandungan, pendarahannya tidak berhenti. Hanya dua hari ibu yang malang itu sempat menatap wajah anak satu-satunya, sebelum ia meninggalkan dunia yang fana ini.
Ayahnya yang tidak mempunyai pekerjaan tetap setengah mati bekerja membanting tulang mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Berbagai jenis pekerjaan dilakukannya demi sesuap nasi. Mulai dari menerima upah memetik kelapa, menanam, dan menuai padi, buruh bangunan, terkadang membantu pekerjaan di rumah orang, dan lain-lain.
Sementara bekerja, anaknya dititipkan pada orang tuanya yang juga hidup di bawah standar garis kemiskinan. Malam hari tatkala mata tak bisa terpejam karena tangisan si anak, ia merenung meratapi diri, kenapa hidupnya turun temurun selalu susah.
Konon ketika generasi kakeknya, hidup mereka berkecukupan, ada sawah dan kebun yang cukup menunjang kebutuhan sehari-hari. Tetapi ketika sawah dan kebun itu dijual untuk biaya upacara Ngaben kakeknya, hidup mereka mulai sulit, berlanjut terus sampai ke generasi anaknya yang baru lahir ini.
Sekitar setengah kilometer di arah barat gubuk Pan Sutisna, masih di bilangan Desa Pemaron, tinggallah seorang Pendeta Gereja Protestan bernama Pieter Ketut Sudarsana. Ia menerima laporan dari anak buahnya tentang hidup Pan Sutisna yang sulit, tidak punya pekerjaan, lebih-lebih dibebani anak yang ditinggal mati ibunya.
Suatu senja Pieter berkunjung ke rumah Pan Sutisna. Ia tidak datang begitu saja, tetapi membawa pula oleh-oleh berupa susu bayi, selimut, pakaian bekas, sembako, dan uang Rp.300.000,– Pan Sutisna terkejut menyambut Pieter yang datang tiba-tiba ke rumahnya yang kumuh. Pieter tidak segan-segan duduk di lantai tanah beralaskan tikar dekil, seraya merangkul Putu Sutisna yang baru berusia 20 hari.
“Kasihan anak ini Bapak, siapa namanya ?” Pieter membuka percakapan sambil mengembangkan senyum ramah. “Putu Sutisna, Bapak Pendeta” jawab Pan Sutisna sambil menerka-nerka apa gerangan maksud kedatangan Pieter ke rumahnya.
Keheranan Pan Sutisna rupanya terbaca oleh Pieter. “Oh jangan salah duga, saya ke sini hanya merasa kasihan melihat keadaan Bapak, dan saya ingin membantu sekedarnya. Bantuan yang saya bawa sekarang tidak ada artinya apa-apa, tetapi saya minta Bapak mau menerimanya, karena pemberian ini datang dari hati saya yang tulus” kata Pieter, sambil memasukkan botol dot susu ke mulut mungil Putu Sudarsana.
Bayi itu menikmati kehangatan pelukan Pieter dan menyedot botol susu hingga habis tandas. Ia tertidur pulas. Pieter kemudian membaringkan bayi di tempat tidur sambil menyelimutinya.
“Bapak tidak punya saudara atau kerabat lain di sini ?” tanya Pieter sambil duduk dekat Pan Sutisna. “Ada, tetapi hidupnya juga susah seperti saya; mereka sangat miskin, bagaimana bisa membantu saya ?” “Lalu Bapak tidak punya pekerjaan ?” selidik Pieter mencocokkan informasi anak buahnya. “Tidak Bapak Pendeta, saya tidak punya pekerjaan tetap, sehingga untuk makan sehari-hari saja sudah sulit, apalagi untuk merawat bayi ini”
Pieter mengangguk-angguk turut merasakan kepahitan Pan Sutisna. “Bapak, saya harus pulang sekarang, tetapi bila ada kesulitan apa-apa jangan segan menghubungi saya; tahu kan rumah saya ?” “Ia Bapak Pendeta, yang di dekat Gereja itu kan, saya sangat berterima kasih atas kedatangan dan bantuan Bapak Pendeta”
Sepeninggal Pieter, Pan Sutisna mencakupkan kedua tangan di atas dahinya : “Hyang Widhi, Engkau sudah mengirimkan seorang penolong kepadaku, terima kasih” Hatinya berbunga-bunga, karena uang tiga ratus ribu rupiah itu sudah cukup untuk makan sebulan.
Segera ia lari ke dapur menanak nasi dan makan sampai kenyang. Setelah itu ia menengok bayinya yang masih tidur lelap. Berkali-kali ia mengucapkan terima kasih kepada Hyang Widhi, dan selalu teringat dengan senyum ramah Pieter dan kata-katanya yang memukau. Ia merasa mendapat seorang sahabat yang mengerti pada penderitaannya.
Seminggu kemudian, Pieter berkunjung untuk kedua kalinya ke rumah Pan Sutisna. “Bagaimana bayinya, apa persediaan susunya masih ada ?” “Oh, Bapak Pendeta, silahkan duduk Bapak, maaf saya tidak segera menyambut, karena masih membelah kayu bakar di belakang. Susunya masih dan si Putu sekarang sudah jarang menangis.”
“Betul, kelihatannya dia cukup sehat, tetapi bayi perlu diberi imunisasi agar terhindar dari penyakit dan infeksi. Bisakah kita bawa dia sekarang ke klinik di Gereja ?” Pan Sutisna terkejut : “Maaf Bapak Pendeta, saya tidak punya uang untuk berobat”.
Pieter cepat menjawab : “Tidak usah memikir hal itu, karena Gereja menyediakan pengobatan gratis. Kasihan bayi ini kalau tidak dirawat semestinya” Pieter segera membopong si bayi, dan Pan Sutisna hanya bisa mengikuti dari belakang sambil berpikir, alangkah mulianya hati Bapak Pendeta, mau membantu orang miskin tanpa imbalan apa-apa.
Sampai di klinik Gereja, bayi segera diserahkan kepada perawat bernama Marry Luh Putu Aryani. Perawat tamatan Surabaya ini memeriksa bayi dengan teliti, dan memberikan imunisasi sebagaimana mestinya.
Pan Sutisna terbengong-bengong saja melihat kesibukan di klinik. Ada banyak bayi yang ditempatkan di sebuah kamar, masing-masing di tempat tidur kecil yang nyaman. Mereka kelihatannya sehat-sehat, montok, ada yang tertidur, dan ada yang terjaga, lalu tertawa-tawa ketika Pieter menyentuh tangannya.
Pieter memeriksa semua bayi itu didampingi perawat Marry. “Mereka semua senasib dengan Sutisna” kata Pieter memecah keheningan. “Juga berasal dari keluarga tidak mampu seperti Bapak; maka atas persetujuan orang tuanya, bayi itu diserahkan ke kami untuk dirawat secara cuma-cuma. Kalau Bapak setuju, bisa juga Bapak titipkan Sutisna di sini; setelah sehat dan cukup kuat, dia bisa Bapak bawa pulang ke rumah”
Kata-kata Pieter bagaikan hembusan angin dingin di musim kemarau, menyejukkan dan memberi harapan hidup. Tanpa berpikir panjang, Pan Sutisna menjawab : “Terserah Bapak Pendeta saja, bagaimana baiknya, saya sudah tidak mampu berpikir lagi.”
“Baiklah, Marry, tempatkan Sutisna di box yang kosong” perintah Pieter. Pan Sutisna pulang dengan perasaan yang sangat lega. Sekarang dia bisa konsentrasi bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri. Soal perawatan Sutisna, sudah diserahkan ke Pieter.
Keesokan harinya Pieter datang lagi. “Saya lupa kemarin, ada satu hal yang ingin saya tawarkan ke Bapak.” “Wah Bapak Pendeta sudah banyak sekali menolong saya, rasanya malu, karena saya tidak mampu membalas budi baik Bapak Pendeta.”
“Jangan begitu, kita sesama umat manusia wajib saling tolong menolong” potong Pieter dengan cepat.
“Begini, Gereja punya sebidang tanah yang biasanya ditanami buah melon; pekerjanya sekarang sudah pindah ke Tanah-Toraja, Sulawesi Selatan, mengikuti pendidikan. Tanah itu sekarang tidak ada yang menggarap. Maukah Bapak mengerjakannya ? Nanti hasilnya dibagi dua, setengah untuk Bapak dan sisanya untuk Gereja. Semua biaya penanaman, perawatan dan panen, ditanggung Gereja”
Pan Sutisna, heran, kebingungan, karena bagaikan mendapat durian runtuh. Ia tidak lama berpikir, bahkan takut kalau tawaran Pieter yang baik itu dibatalkan. Segera ia menjawab : “Saya mau Bapak Pendeta, bahkan saya tidak dapat menyampaikan dengan kata-kata, betapa besar kebaikan hati Bapak Pendeta ke diri saya.”
“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan, kalau begitu mulai besok Bapak sudah bisa menggarap tanah itu. Luasnya tidak seberapa, hanya 50 are.”
“Ha, 50 are, hasil panen buah melon untuk setahun bisa mencapai sepuluh ton !” sergah Pan Sutisna.
“Ya begitulah kurang lebihnya”, kata penutup Pieter, berdengung sepanjang malam di benak Pan Sutisna. Hampir ia tidak bisa memejamkan mata, memikir perubahan nasibnya yang drastis itu.
Bulan berganti tahun, Sutisna tumbuh dengan baik, Pan Sutisna sudah mampu hidup layak dan rumahnya pun sudah diperbaiki, berdinding tembok, atap genteng, lantai keramik, rapi, dan bersih. Dia bahkan sudah mampu membeli sepeda motor untuk pergi ke mana-mana.
Ketika Sutisna sudah waktunya masuk sekolah, Pieter menyarankan ke sekolah milik Gereja yang membebaskan uang sekolah bagi anak-anak tidak mampu. Sementara itu Pan Sutisna merasa jatuh hati kepada adik Marry Luh Putu Aryani, perawat yang membesarkan anaknya.
Adik Marry bernama Isabela Ketut Suastini. Gayung bersambut, cinta Pan Sutisna kepada Isabela tak bertepuk sebelah tangan. Mereka pun mengikat diri dalam pernikahan secara Protestan, dengan Pieter sebagai Pendeta yang mensahkan perkawinan itu.
Akta perkawinan pun jadi, di mana menyebutkan Pan Sutisna dengan nama baru, George Gede Subawa. Sampai tingkat SLTA, Sutisna masih bersekolah di Bali, kemudian ketika akan meneruskan kuliah ke Tanah-Toraja, dia dibaptis Pendeta Pieter dengan nama baru : Friets Putu Sutisna.
Kehidupan di Gereja Pemaron berlanjut terus. Dari sela-sela kerimbunan pohon flamboyan, terdengar anak-anak SD membaca The Bijbel dalam Bahasa Bali : “Antuk asung wara kertha nugraha Ida Sanghyang Widhi Wasa, ngraris Ida Maria mobot putran Idane, Yesus. Kasuwen-suwen Ida rauh ring Jagat Yerusalem. Irike Ide ketangkilin antuk para …”
Bacaan itu tertutup oleh gemuruh suara mobil yang lalu lalang di jalan poros Singaraja – Seririt.
Zaman beredar, nasib Bali pun berganti, entah di masa depan akan bagaimana. Seperti perjalanan hari, mulai terbitnya matahari di timur, hingga terbenam di ufuk barat, perubahan akan berlangsung, cepat atau lambat.
Senja di Pantai Lingga, pemandangan sunset yang indah, diiringi suara azan : “…Asyhaduallah Muhammad rasulallah, Allahuakbar…”
Saya menarik nafas panjang, menuntun cucu saya yang terkecil, nomor sembilan bernama : Nyoman Krishnayogi, “Meriki putu, budal, sampun sore” Tertatih-tatih dengan tongkat, saya membimbing cucu yang melangkah tegap ke depan. Mudah-mudahan kau terhindar dari sengsara, cucuku.
Semoga bermanfaat, Silahkan share:
Like this:
Like Loading...
Related
menyedikan ya,smoga sudaraku seDharma walaupun bagaimana keadaan kita.tetap setia pada ajaran Dharma
LikeLike
Kalau umat Hindu di Bali jeli, banyak hal2 yang menyedihkan terjadi yang di balut oleh hal2 yang menyenangkan dan membutakan mata. salam hangat bung, triadi.
LikeLike