Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Tag Archives: tri hita karana

Tri Hita Karana


Tri Hita Karana pada hakikatnya adalah sikap hidup yang seimbang antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Maksudnya keharmonisan antara keimanan terhadap Hyang Widi Wasa, pengabdian kepada sesama manusia dan cinta kasih kepada lingkungan alam sekitar.

Konsep hidup yang ideal ini telah diterapkan dari abad ke-11 untuk menata kehidupan umat Hindu di Bali. Konsep ini adalah satu-satunya konsep yang benar-benar mendukung semua eksistensi kehidupan di muka bumi ini, sebuah konsep yang sempurna, adil dan bernuansa humanisme dan persaudaraan universal. Pengembangan cinta kasih kepada alam lingkungan diajarkan dalam kitab Sarasamuscaya 135 dengan istilah “prihen tikang bhutahita” Artinya: Usahakanlah kesejahteraan bagi semua semua makhluk. Karena dengan sejahteranya semua makhluk hidup maka akan menjamin tegaknya Catur Warga atau 4 (empat) tujuan hidup yang terjalin satu sama lainnya.

Weda memberikan konsep yang tidak akan pernah usang sepanjang jaman, sebuah konsep yang akan selalu sesuai dengan kapan dan dimanapun manusia itu ada.

Konsep Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga unsur yang menyebabkan kesejahteraan itu bersumber pada usaha untuk menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam dan manusia dengan sesamannya.

Dengan menerapkan falsafah tersebut diharapkan dapat menggantikan pandangan hidup modern yang mengedepankan egoisme dan materialisme. Dengan menjalankan konsep Tri Hita Karana maka dapat mengurangi kecendrungan untuk konsumtif terhadap alam, meredam gejolak antara sesama manusia dan fanatif yang terlalu berlebihan terhadap agama yang pada akhirnya mengakibatkan intoleransi dengan agama lain.

 

Artikel lain:

  1. Pembagian Tri Hita Karana
  2. Tri Hita Karana dalam seharian

Aktualisasi Ajaran Tri Parartha dalam Kehidupan


Oleh: Ida Ayu Tary Puspa

Agama Hindu memiliki ajaran yang menuntun umatnya untuk selalu ada di jalan dharma dalam menjalani kehidupan. Salah satunya adalah Tri Parartha. Tri Parartha berasal dari Bahasa Sanskerta yaitu dari kata Tri artinya tiga dan Parartha artinya kebahagiaan, kesejahteraan, keselamatan, keagungan, dan kesukaan. Dengan demikian Tri Parartha berarti tiga perihal yang dapat menyebabkan terwujudnya kesempurnaan, kebahagiaan, keselamatan, kesejahteraan, keagungan, dan kesukaan hidup umat Hindu.

Tanpa keselamatan dalam hidupnya, manusia tidak akan dapat berbuat banyak. Menurut ajaran agama Hindu, manusia itu dapat menyelamatkan dirinya dengan jalan mengamalkan ajaran Tri Parartha. Ada pun ajaran Tri Parartha yang dimaksud yang dapat mengantarkan umat Hindu mencapai keselamatan dan kebahagiaan serta kesejahteraan hidupnya. Terdiri dari Asih, Punia dan Bhakti.

Asih artinya cinta kasih, umat Hindu hendaknya selalu mengupayakan hidupnya dengan berlandaskan cinta kasih dengan sesama. Asih juga dapat diartikan sebagai kasih sayang. Asih juga memiliki kasih yang lebih dalam daripada cinta. Dalam mengasihi sudah terkandung makna mencintai. Cinta adalah perasaan pada kesenangan, kesetiaan, kepuasan terhadap suat objek sedangkan kasih adalah perasaan cinta yang tulus lascarya terhadap suat obiek. Perbedaan antara cinta dan kasih terletak pada kesanggupan dan kemampuan dalam memahami hakikat cinta dan kasih serta hal yang mendasari adanya cinta kasih adalah ajaran “tat tvam asi” yang berarti engkau adalah dia, dia adalah mereka seperti yang dinyatakan pada kitab Chandogya Upanisad VI.14.1.

Pustaka suci Bhagavadgita Sloka XII. 13. menyebutkan:
Advesta sarwa bhutanam, Maitrah karuna eva ca 
Nirmano niraham karah, sama dukha-sukhah ksami

Terjemahannya:
Dia yang tidak membenci segala makhluk, bersahabat, dan cinta kasih
Bebas dari keakuan dan keangkuhan, sama dalam suka dan duka, serta pemberi maaf.

Akan tetapi dewasa ini pada orang-orang tertentu ada yang memiliki kemiskinan dalam cinta kasih. Hal ini dapat dilihat dari maraknya kekerasan yang terjadi di negeri ini. Ada kecenderungan cinta kasih yang ada pada setiap orang telah mengalami kekeringan dan bahkan manusia telah kehilangan seluruh cinta kasihnya sehingga terjadilah perbuatan yang menimbulkan kekerasan. Para generasi muda yang menjadi harapan baik keluarga maupun bangsa banyak yang terjerumus ke dalam tindakan yang sia-sia, seperti mabuk-mabukan, pesta narkoba, dan tindakan lain yang menyimpang dari aturan hukum dan agama.

Mengacu pada realita yang terjadi di masyarakat dewasa ini khususnya pada kaum generasi muda dapat diketahui bahwa terjadi degradasi moral atau pengikisan nilai-nilai kemanusiaan sebagai akibat dari mulai menurunnya nilai-nilai kasih sayang dalam diri manusia. Dengan demikian berdasarkan kutipan sloka di atas dapat diketahui bahwa objek dari cinta kasih itu adalah semua ciptaan Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa.

Punya (Punia), dermawan atau tulus ikhlas. Seluruh aktivitas hidup umat Hindu hendaknya berlandaskan tanpa pamrih/balasan, karena ketertarikan itu sesungguhnya ia menyebabkan menderita. Dan Bhakti artinya hormat-menghormati terhadap sesama, sujud terhadap orang yang lebih tua. Di antara sesamanya manusia hendaknya saling menghormati, serta tidak melupakan untuk bersujud kehadapan sang pencipta (Tuhan).

Ajaran Tri Parartha itu sudah sepatutnya dipahami dan diaktualisasikan oleh umat Hindu, dengan demikian kesempurnaan hidup ini akan menjadi kenyataan.

Sebagaimana dijelaskan dalam sloka suci (Menawa Dharmasastra,V.109) berikut ini:
Abdhir gatrani cudhayanti, 
manah satyena cudhayanti, 
widyatapobhyam bhratatma, 
buddhir jnanena cudhayanti
(Sudharta. 2004:250).

Terjemahan :
Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersikan dengan kejujuran, roh dibersihkan dengan ilmu dan tapa, akal dibersihkan dengan kebijaksanaan.
Selain mengamalkan ajaran tattwam asi, catur paramitha dan Tri Parartha, umat juga patut memahami dan mengamalkan ajaran ethika yang lainya. Dengan demikian hidup ini akan menjadi lebih bermanfaat di masyarakat.

Asih, Punia, dan Bhakti merupakan ajaran agama Hindu yang patut dihayati dan diamalkan dalam kehidupan agar tetap tegaknya dharma. Tri Parartha adalah ajaran agama Hindu untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Hidup saling mengasihi di antara kita merupakan perilaku umat manusia utama yang dapat mengantarkan tercapainya kebahagiaan yang abadi (moksa).

Dalam Kitab suci Rg. Veda dinyatakan sebagai berikut: 
“Ajaran berdhana punia yang didasari dengan cara bhakti dan rasa cinta kasih mempunyai suatu manfaat yang amat penting dalam kehidupan ini, dan semuanya itu hendaknya diwujudkan sebagai amal dalam beryajñya.” 

Seluruh umat Hindu hendaknya melakukan hal tersebut, karena itu merupakan kewajiban untuk menegakkan dharma. Tujuan pokok dari ajaran Tri Parartha (asih, punia, dan bhakti) ini adalah menumbuhkan sikap mental masing-masing pribadi umat manusia, dalam hal ini adalah peserta didik untuk mewujudkan ajaran wairagya (tidak terikat akan pengaruh benda-benda duniawi) yang dapat memuaskan indria/nafsu belaka manusia secara pribadi.

Berdasarkan uraian di atas, maka untuk menghayati ajaran kasih dapat diwujudnyatakan melalui ajaran “Tri Hita Karana”. Tri Hita Karana terdiri dari tiga kata Tri yang berarti tiga, hita yang berarti kebahagiaan sedangkan karana berarti penyebab. Jadi Tri Hita Karana berarti tiga hal yang menyebabkan kebahagiaan. Tri Hita Karana dapat diterapkan dengan senantiasa menciptakan hubungan atau interaksi yang harmonis antara manusia dengan Tuhan (prhyangan), membina hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesama manusia (pawongan) serta senantiasa membina hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan (palemahan).
Dapat disimpulkan bahwa ajaran asih/kasih dalam Tri Parartha dapat diimplementasikan melalui ajaran Tri Hita Karana. Ajaran ini dapat diaktualisasikan baik di bangku SD maupun SMP.

Penerapan ajaran Tri Hita karana kepada peserta didik khususnya di sekolah dapat dilakukan dengan:

  • Untuk poin Parhyangan, maka sebelum mulai pelajaran didahului dengan berpuja tri sandya. Begitu pula mengakhiri pelajaran saat akan pulang ke rumah juga bertrisandya pada madyama dina. Setiap akhir tahun pelajaran atau akhir tahun semester dilakukan pasraman kilat. Pada kegiatan ini diberikan materi temtamg praktik beragama dengan menitikberatkan pada tattwa, susila, dan acara.Tentu acara ini dikemas pula dengan pemberian yoga dan estetika.
  • Praktik implementasi pawongan di sekolah dilakukan dengan menggalang dana punya yang disumbangkan secara sukarela oleh siswa yang nantinya akan dapat dimanfaatkan untuk kunjungan sosial kemanusiaan. Selain itu dalam interaksi sehari-hari membiasakan diri dalam mengucapkan Om swastyastu kepada orang lain yang tentunya seumat, misalnya kepada orang tua di rumah, guru di sekolah, dan dalam setiap kesempatan antarumat Hindu.
  • Untuk kategori palemahan misalnya dapat dilaksanakan dengan menciptakan kepedulian dan rasa sayang terhadap lingkungan sekolah. Bali punya program go green and clean. Hal ini dapat diaktualisasikan melalui program “Green school” yaitu dengan mewajibkan setiap siswa untuk menanam dan memelihara satu jenis tumbuhan bebas, setiap komite diwajibkan untuk menanam dan memelihara dua jenis tumbuhan langka, dan setiap guru wajib memelihara tiga jenis tumbuhan langka. Pada akhir tahun pelajaran pihak sekolah bekerja sama dengan DKLH untuk melakukan penghijauan massal pada tempat yang telah disepakati bersama.

Cendikiawan Hindu, Svami Vivekananda mengatakan “ Cinta kasih adalah daya penggerak, karena cinta kasih selalu menempatkan dirinya sebagai pemberi yang tanpa keterikatan dan bukan penerima.” Dengan demikian, kasih sayang merupakan jalan pintas untuk mencapai tujuan hidup kita, yaitu Keutamaan manusia (Human Excellence). Asih tidak hanya bisa diterapkan kepada sesama manusia, tetapi juga kepada binatang dan tumbuh-tumbuhan yang sama-sama merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Asih kepada binatang dapat dilakukan dengan tidak membunuh binatang sembarangan seperti menembak burung, meracuni ikan dengan potas, dan lain-lain. Sikap asih terhadap tumbuh-tumbuhan dapat dilakukan dengan tidak menebang pohon sembarangan, tetapi sebaliknya kita harus menanam pohon dan melakukan penghijauan. Sikap asih terhadap alam atau lingkungan sekitar sangat penting untuk diterapkan karena dengan demikian kelestarian lingkungan akan terjaga dan kita akan merasa tenang dan nyaman berada di sekitarnya. Umat Hindu di Bali menerapkannya melalui perayaan tumpek pengatag dan tumpek uye.

Sumber: Majalah Raditya

Nyuciang Angga, Ngicalang Kaletehan


Akéh krama Hindu ring Bali sané bimbang yéning sampun maosang pacang nglaksanayang rahinan Sugihan pinaka reruntutan rahinan jagat Galungan lan Kuningan. Krama Bali kantun bimbang, rahina Sugihan sané cén pacang kalaksanayang. Sugihan Bali napi Sugihan Jawa?

Maosang indik rahinan Sugihan Jawa miwah Sugihan Bali, i raga dados krama Hindu Bali patut nglaksanayng makekalih rerahinan puniki manut tegesnyané soang-soang. Sugihan Jawa jatuh ring rahina Wraspati Wagé, wuku Sungsang. Rahina Puniki mateges nyuciang Bhuana Agung (Makrokosmos) mawit saking sekala miwah niskala sané kaniasayang antuk nglaksanayang pamuspan ring genah-genah suci rumasuk ring merajan. Mareresik ring pura, nglaksanayang rerebu ring sanggar, parahyangan miwah ring pura-pura siosan, kalanturang antuk nglaksanayang pangraratan miwah pamuspan. Ring Rahina Sukra Kliwon, wuku Sungsang kawastanin rahina Sugihan Bali. Rahina puniki mateges nyuciang Bhuana Alit (Mikrokosmos) utawi angga sarira antuk nglaksanayang panglukatan majeng angga sarirané. Lianan nglaksanayang penglukatan, taler kalaksanayang bakti Yoga sané matetujon ngicénin katreptian pikayunan.

Manut Drs. I Ketut Wiana, M.Ag., ring Rahina Sugihan puniki i raga nglaksanayang panyucian taler pabersihan majeng Bhuwana Alit lan Bhuwana Agung.

“Ring Rahina Sugihan Jawa, i raga nyuciang Bhuwana Agung mawit saking mareresik kantos ngaturang bebanten tur nglaksanayang pamuspan. Rahina puniki mapaiketan sareng Tri Hita Karana. Ring Rahinan Sugihan Bali i raga nglaksanayang panyucian majeng angga sarira santukan ring angga i ragané wénten akéh pisan sifat-sifat sané leteh sané patut kabersihang,” baosnyané.

Dané taler maosang, leteh sané wénten sajeroning angga inggih punika kawastanin Dasa Mala minakadi Tandri wantah anak sané sakit-sakitan, Kleda mateges anak sané stata maselselan, Leja wantah anak sané sombong, Kuhaka wantah anak sané brangti, congkak miwah ajum, Metraya wantah anak sané seneng nguluk-uluk anak lianan, Megata wantah anak sané seneng mabaos tan jakti, Ragastri wantah anak sané seneng memitra, Kutila wantah anak sané sering plintat plintut, Baksa Bhuwana wantah anak sané seneng nyakitin sesamenné, Kimbura wantah anak sané madué rasa iri hati.

“Makasami kaletehan punika sané patut kaicalang sajeroning nglaksanayang rahinan Sugihan Bali. Ring rahina puniki, i raga dados nglaksanayang panglukatan ring jero soang-soang, nanging i raga mangda nunas Tirtha Panglukatan majeng Ida Ratu Peranda. Lianan punika iraga taler dados nglaksanayang panglukatan ring genah-genah suci minakadi ring Pura Tirta Empul Tampak Siring,” baos Wiana ngwewehin.

Artikel Olih: Drs. I Ketut Wiana, M.Ag. | Orti Bali – Bali Post