Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Perjalanan Roh Salah Pati


Beberapa kasus kematian akibat kecelakaan, tindakan kekerasan dll, sering membuat menyesalkan kejadian itu sekalipun kita bukanlah keluarga korban. Apa yang kita rasakan tentu hal yang wajar dan manusiawi mengingat kematian tersebut “tidak wajar”. Dalam Nibanda disebutkan hendaknya kematian manusia seperti kematian Panca Pandawa, yakni diawali oleh kematian Nakula-Sadewa (kaki), Bima (tenaga), Arjuna (suhu badan dan sinar mata), dan terakhir Dharmawangsa (Roh meninggalkan tubuh). Namun didalam kematian yang disengaja atau tak disengaja, urut-urutan kematian itu tidak terjadi, artinya langsung mati, misalnya mati karena kecelakaan,Itulah yang dinamakan Mati Salah Pati Sedangkan Ulah pati artinya mati karena bunuh diri.

Image by: Dream, Ilustrasi

Istilah “atma kesasar” sudah lumrah bagi masyarakat Bali. Di setiap wilayah desa di Bali pasti saja ada cerita berkaitan dengan atma kesasar. Hal ini sangatlah wajar, mengingat Hindu Bali dengan filosofi atma tatwa sangatlah rinci dan mendalam mengurai mengenai atma. Namun dalam konteks atma kesasar, sejatinya yang kesasar bukanlah atma itu sendiri, namun “roh”. Sebab “atma” itu sendiri adalah percikan kecil dari “paramatman” yang memiliki sifat sama dengan paramatman. Artinya atma itu sendiri adalah murni dan bebas dari pengaruh suka dan duka. Sedangkan roh adalah atman yang diselubungi cita, budi, manah, ahamkara yakni sudah diliputi keinginan, kemauan, keakuan (ego), kecerdasan, akal, serta pikiran-pikiran baik maupun buruk.

Hal inilah yang menyebabkan atma yang tadinya murni menjadi terkungkung dalam emosi, keinginan, cita-cita serta perasaan-perasaan. Dalam kondisi begini atma sudah tidak murni lagi, bahkan sudah terkungkung dalam awidya atau kegelapan. Inilah yang kemudian mempengaruhi sifat manusia sebagai badan yang dihidupkan oleh atma yang sudah terkungkung yang disebut dengan roh. Dalam liputan awidya (kegelapan) tersebut, roh memiliki keinginan tertentu untuk memuaskan cita atau hasrat hatinya yang terwujud dalam berbagai pikiran, perkataan dan perbuatan. Keinginan yang sangat tinggi tersebut sampai-sampai terbawa mati, sehingga roh manusia yang meninggal masih membawa perasaan-perasaan, masih membawa keinginan, cita-cita, bahkan dendam sesuai dengan pengalaman hidupnya. Hal inilah yang menyebabkan roh manusia masih bergerak aktif ketika tubuhnya sudah mati.

Sehingga banyak cerita mengenai roh gentayangan dimuka bumi ini untuk memenuhi hasrat keinginannya yang masih tersimpan dalam memori badan astral (badan halus) nya. Bahkan banyak roh yang masih menyimpan dendam untuk membalas pada setiap kesempatan. Sehingga seringkali kita mendengar cerita tentang seseorang yang dihantui oleh bayangan-bayangan dari seseorang yang sudah meninggal. Selain itu ada pula roh-roh bergentayangan untuk menjalankan hasrat cintanya kepada seseorang yang semasih hidup sangat dicintai, atau ketika masih hidup cintanya tak kesampaian dan terbawa sampai orang itu meninggal.

Lain lagi cerita bahwa roh yang menangis tersedu-sedu di suatu tempat yang kerapkali dilihat oleh orang yang memiliki kemampuan untuk itu. Bisa jadi roh tersebut terpelanting secara tiba-tiba tanpa disadari oleh roh itu sehingga ia mendapatkan dirinya berada pada suatu tempat yang tak pernah dikenalnya, sehingga ia bingung, kesepian lalu menangis sendirian. Nah untuk roh seperti ini, maka manusia Bali dengan keyakinan Hindunya menjemput roh tersebut melalui jalan “Ngulapin”.

Ada lagi roh manusia yang selalu menjaga badannya yang telah dikubur, karena sang roh sangat sayang dan menyukai badan kasarnya itu bagaikan ketika masih hidup. Roh-roh seperti ini kerapkali tampak di kuburan sebagai hantu kuburan yang selalu berada dekat dengan badannya yang sudah dikubur. Seolah-olah roh tersebut terbelenggu oleh kecintaaanya kepada badan kasarnya (stula sarira) tersebut. Untuk hal inilah manusia Bali menyiasati dengan melakukan “Ngaben” dengan maksud untuk mempercepat proses pengembalian badan kasar menuju ke panca maha bhuta agar roh tak terbelenggu dengan badan kasarnya, dan sang roh itu diberikan penyucian.

Selanjutnya roh yang masih terbungkus dalam badan astral (suksma sarira) tersebut kemudian dilakukan upacara “memukur”, sehingga sang roh dapat menuju ke alam sunia untuk menjalani proses karma selanjutnya sesuai dengan suba asuba karmanya. Terkait dengan “atma kesasar” yakni ibaratkan sebagai roh yang salah tempat, roh yang terobsesi dengan keinginanya sehingga bergentayangan ke sana ke mari untuk memenuhi hasratnya seperti ketika masih hidup di dunia. Sebab roh yang demikian tak menyadari bahwa alam mereka sudah berbeda, sehingga tak bisa berbuat seperti berada di alam manusia dengan badan kasarnya.

Seringkali yang begini ini tampak seperti hantu bergentayangan yang sering menghantui manusia.
Dalam kehidupan manusia Bali, maka roh manusia yang telah meninggal tersebut dimohonkan oleh orang yang memiliki kewaskitaan dengan sarana “Tirta Pengentas”. Entas artinya jalan. Tirtha pengentas adalah tirtha atau air suci yang memiliki kekuatan untuk menenangkan roh, untuk menyadarkan roh bahwa ia telah berada pada dunia yang lain, serta menunjukkan jalan kepada sang roh untuk menuju jalan yang mesti dituju sesuai dengan suba asuba karmanya di alam sunia. Sehingga dengan demikian roh orang yang meninggal di Bali tak akan kesasar, salah jalan, salah tempat serta tak diliputi oleh keinginan duniawi, sehingga tak bergentayangan lagi.

Nah apabila hal ini tak dilakukan, maka roh-roh orang yang meninggal akan mengalami kebingungan, tak ada yang menuntun di alam sunia, roh-roh akan menjalankan keingian duniawinya bergentayangan ke sana kemari menghantui kehidupan manusia di dunia, sehingga dalam agama Hindu Bali disebut dengan Bhuta Cuil atau hantu kuburan, roh gentayangan, atma kesasar, dll. Oleh karena itu, tirtha pengentas sangat penting dalam proses penguburan dan pengabnenan menurut keyakinan Hindu Bali.

Jadi kesimpulannya bahwa untuk mati salah pati dan ngulah pati dapat diupacarai sebagai mati biasa dengan syarat ditambah beberapa upacara panebusan yaitu di perempatan jalan Desa, ditempat kejadian, dan di cangkem setra, lalu ketiga pejati penebusan disatukan dengan sawa baik bila mapendem maupun bila segera di-aben.

Upacara meseh lawang merupakan loka dresta yang dipandang perlu untuk melengkapi upacara panebusan itu namun berbeda-beda pelaksanaannya; ada yang melaksanakan pada saat 42 hari setelah dikubur, dan ada yang melaksanakan pada saat pengabenan.

Kasus yang sering terjadi biasanya kematian salah pati tidak dilengkapi dengan banten penukar dan hanya diberi banten pengulap, biasanya keluarga atau yang bersangkutan akan menjadi orang yang sering bingung ataupun pemarah, ini karena sang atma masih belum mendapat tempat yang layak sembari mendapat proses hukuman akibat perbuatan-perbuatannya dimasa hidup.

**dari berbagai sumber.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: