Sosok kali ini kita akan mengangkat kisah perjalan spiritual seorang Pandhita Muda beliau didiksa /disahkan sebagai Sulinggih saat berusia 21 tahun. Berawal saat beliau melakukan meditasi, tiba-tiba beliau terlihat ngaweda dan melakukan mudra.

Image by: newearthfestival.com
Kita tentu setuju perjalanan hidup seseorang memang tidak bisa ditebak. Seperti halnya yang dialami Komang Widiantari dari Desa Tanggahan Tengah, Perbekelan Demulih, Susut Bangli.
Lahir dari keluarga sederhana yang notabene adalah pedagang. Seperti halnya anak-anak kebanyakan, Komang Widiantari pun memiliki cita-cita sederhana menamatkan sekolah kemudian mencari pekerjaan. Komang Widiantari termasuk murid yang berprestasi, ia sempat terpilih mewaliki Propinsi Bali untuk pertukaran pemuda. Setelah berhasil menamatkan sekolah Komang pun berniat untuk mencari pekerjaan di Bintan, namun gagal. Kegagalan ini mempuatnya terpukul dan ia pun memutuskan untuk kembali ke Bali dan mencoba mencari pekerjaan namun tetap belum berhasil. “Tiang merasa kecewa saat itu, malu dengan keluarga, diri sendiri dan teman-teman,” ujar wanita kelahiran (walaka) 14 Maret 1985 ini.
Peran Mangku Alit
Terpuruk dengan kegagalan demi kegagalan yang dihadapi Komang Widiantari pun mendapatkan masukan /saran dari kakak sepupunya, beliau adalah Mangku Alit. Mangku Alit menganjurkan untuk melukat (pembersihan rohani) dan bermeditasi. Sebagai anak muda, saat itu, Komang Widiantari belum mengerti apa yang dikatakan Mangku Alit. Yang ada dalam benaknya, meditasi adalah sebuah ritual yang rumit dan mesti dilakukan di tengah hutan seperti cerita-cerita kuno.
Singkat cerita melukat dan meditasi pun dilakukan. Disinilah kisah itu bermula. Komang Widiantari kerauhan (kerasukan) saat ditanya, ia mengatakan bahwa dirinya dalam kebingungan. Tidak ingin berlama-lama dalam situasi ini Komang pun diajak untuk menemui Balian (orang pintar) ke daerah Klungkung. Menurut balian tersebut Komang hidup dalam dua dunia, ini tentu membingungkan bagi Komang dan Mangku Alit.
Meditasi, Weda Turun
Meditasipun berlanjut demi sebuah ketenangan. Awal meditasi memang biasa saja. Namun kemudian setelah meditasi yang kelima, Mangku Alit tertegun menyaksikan Komang nguncarang Weda dan bahkan langsung melaksanakan mudra (gerakan tangan saat ngaweda). “Apa yang dirasakan ini memang tiang ketahui, namun awalnya kata-kata dan tindakan gerakan tangan ini tidak terasa dan secara sengaja dilakukan,” ujar Ida Maharsi Alit yang juga mengaku senang melakukannya.
Seiring waktu, semakin hari Komang semakin banyak mendapatkan anugerah, seolah mendapat wahyu Weda dengan mudah dimengerti dan tersimpan dalam ingatan Komang. Hingga pada rerahinan Tilem, Ditengah melakukan meditasi Komang mengatakan keinginannya untuk madiksa, Aneh ketika meditasi usai keinginan tersebut hilang dan Komang mengatakan bahwa dirinya tidak bersedia untuk madiksa. Tentu saja ini menimbulkan kontroversi mengingat faktor usia dan status. Keluarga berusaha mengganggap ini hal yang biasa mengingat keinginan madiksa disampaikan pada saat kerauhan. Komang melaksanakan Panewasrayaan (pergi mencari tempat suci keramat) seperti ke Puncak Gunung Agung, Batu Karu, Pulaki, Melanting, Lempuyang, dan juga Palinggih Siwa Pasupati (Ida Bhatara Lingsir di Serokadan).

Image by: Youtube
Seda (Meninggal) Berkali-kali
Setiap melaksanakan persembahyangan kerap ada perintah-perintah gaib yang intinya agar Ida segera malinggih atau madiksa. Saat di Batu Karu sendiri, ada pawisik bahwa ada paica berupa Manik Asta Gina dirumah Komang dan saat ini tidak diketahui keberadaannya. Paica tersebut adalah milik sang bapak, konon karena Manik Asta Gina inilah wahyu weda yang turun tidak akan hilang namun tersimpan dalam ingatan. Anjuran untuk malinggih dan bergelar Maharsi membuat keluarga gundah sebagian besar dari mereka tidak setuju. Selain kasihan dengan Komang keluarga juga berpikir bagaimana kepercayaan masyarakat nantinya. Dan yang utama adalah dana untuk upacara tersebut.
Kegundahan keluarga tersebut membawanya tangkil(menghadap) ke Griya Gede Nongan Karangasem untuk menanyakan apa yang dialami komang dan keluarganya. Ida Pedanda di Nongan tidak meragukan Komang harus madiksa. Kisah misterius juga terjadi saat dipuncak Gunung Agung sendiri berjanji akan segera melaksanakan padiksaan. Namun setelah turun gunung janji tersebut diingkari lagi. Secara mengejutkan keesokan harinya sekitar jam tujuh malam Komang Widiantari meninggal. Mendapati situasi seperti ini keluarga dan sanak saudara menangis. Dalam keberadaan matinya ini, Komang merasakan dirinya memang terasa ada yang menarik paksa dan membawa naik. Dilihatnya keluarganya menangisi dirinya namun tidak mampu berbuat apapun dalam kematiannya ini.
Ada sebuah mimpi dimana dalam mimpi itu seolah dia melihat ibunya sendiri, dia merasakan ada kedekatan yang besar saat melihat ibu tersebut walaupun hanya nampak sebagian saja (ditindih batu besar). Ibu itu memohon belas kasihan karena sudah lama menantikan kelahiran Maharsi dan menjemputnya untuk terbebas dari ‘hukuman’ yang berat itu. “Ning tulung ibu sudah lama ditindih batu besar ini, hanya cening yang bisa membantu,” demikian kata ibu tersebut. Dalam mimpi itu ada sabda langit (Ida Bhatara) “Jika mau melaksanakan tugas untuk madiksa dan menjadi sulinggih, maka Ibu ini akan terlepas,” katanya menirukan sabda yang turun langsung itu. setelah sadar kemudian ia berfikir kembali untuk madiksa. Pengalaman dan peristiwa-peristiwa yang dialami membuat Komang Widiantari yakin dengan keputusannya untuk Madiksa.
Keputusan untuk madiksa tidak berjalan mengingat Komang Widiantari berasal dari keluarga biasa bukan dari kalangan Brahmana terlebih tidak ada dasar pemangkunya. Selain itu dana yang dibutuhkan untuk madiksa sangat besar. Karena kemauan yang keras dan persetujuan keluarga, jalan keluar pun ditemukan. Salah seorang warga(soroh)Pasek Salahin Bapak Ir Made Budiana, Perbekel Peliatan, Ubud akan melangsungkan upacara dirumahnya dan menyetujuinya untuk mensupport upacara padiksan sebagai bentuk yadnya, selain berkeinginan agar ada sulinggih dari soroh Pasek Salahin. Ada sedikit keraguan dari Made Budiana atas kemampuan Komang Widiantari beliau khawatir kemampuan nge-weda yang dimiliki hanya akibat kerauhan biasa. Made Budiana menjadi yakin saat sembahyang bersama ke Pura Luhur Batu Karu. Dimana ia menyaksikan langsung Komang memang benar-benar memiliki kemampuan itu secara alami bukan karena kerauhan atau kalinggihan.
Proses padiksan pun terencana diawali legalitas hukum dari PHDI Bangli. Persetujuan dari sulinggih-sulinggih pun didapatkan. 21 hari sebelum pelaksanaan pediksaan dilaksanakanlah Upacara Dwijati menjadi Ida Bhawati di Griya Agung Padang Tegal, Gianyar.
Upacara padiksan dilakukan 14 Maret 2006 di Griya Agung Budha Salahin, Tanggahan Tengah, Susut Bangli. Sebagai Nabe napak adalah Ida Pandita Mpu Nabe Acarya Daksa, Guru Waktranya adalah Ida Bhagawan Bajra Sandi, Griya Taman Sari Tegak, Klungkung dan Guru saksinya adalah Ida Pandita Mpu Nabe Purwa Nata dari Singaraja. Dengan padiksan ini maka Komang Widiantari lahir kembali dengan bhiseka Ida Panditha Mpu Budha Alit Maharsi Parama Daksa untuk selamanya. Kehidupan di griya kemudian berjalan sebagaimana biasanya griya lainnya di Bali. Krama tidak pernah ada yang ragu untuk mapinunas di griya.
Terima kasih: baliaga.wordpress.com
Artikel lain:
- Ida Bhagawan Dwija
Semoga bermanfaat, Silahkan share:
Like this:
Like Loading...
Related
Recent Comments