Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Tag Archives: odalan

Tentang Odalan


Odalan atau Piodalan pada hakikatnya adalah peringatan hari kelahiran(hari jadi) sebuah pura, sebut saja seperti peringatan ulang tahun. Jika ulang tahun kita diperingati berdasarkan perhitungan kalender(umumnya: tanggal dan bulan) sedangkan ulang tahun(tegak odalan) pura/kahyangan ditentukan berdasarkan perhitungan sasih atau wewaran terutama memadukan sapta wara dan panca wara serta wuku. Jika perhitungan berdasarkan sasih maka umumnya dikaitkan dengan saat datangnya bulan sempurna(bulan purnama). Umumnya odalan/piodalan yang berdasarkan sasih selalu jatuh pada saat purnama dengan sasih yang berbeda-berbeda dan diperingati setahun sekali.

Odalan yang perhitungannya berdasarkan wewaren dan wuku maka odalan sebuah pura akan jatuh setiap 210 hari atau 6(enam) bulan sekali. Misalkan: Odalan di Pura Batukaru, Tabanan jatuh pada Wrespati Umanis Wuku Dungulan(Umanis Galungan). Setelah diketahui dasar-dasar perhitungan tegak odalan maka akan dilakukan upacara melaspas atau ngenteg linggih untuk kemudian dijadikan sebagai tegak odalan berikutnya.

Perubahan atau pergantian tegak odalan dapat saja dilakukan sepanjang merupakan keputusan krama penyungsung, pengemong atau pengempon pura tersebut. Dan hendaknya keputusan atau kesepatakan sekala tersebut wajib disampaikan (matur piuning) kehadapan Ida Bhatara yang malingga di pura tersebut.

Dalam sebuah odalan di pura-pura besar seperti Tanah Lot, Pura Uluwatu, Pura Sakenan sering kita mendengar istilah nyejer(perpanjangan waktu ngaturang bhakti) hal ini bisa dilakukan bisa juga tidak tergantung pada kepentingan dan kondisi krama penyungsung. Ada atau tidaknya nyejer odalan/piodalan yang menjadi inti perayaan/upacara peringatan hari jadi di pura tersebut sudah berjalan dan sidhakarya.

Mengenal Sosok Pemangku


Pemangku adalah rohaniawan Hindu yang termasuk ekajati dan digolongkan sebagai pinandita serta telah menjalani upacara yadnya berupa pawintenan sampai dengan Adiksa Widhi. Dilihat dari tingkatannya, ada yang disebut Pemangku Tapakan Widhi pada Sad Kahyangan, Dang Kahyangan, Kahyangan Tiga termasuk Paibon, Panti, Pedharman, Merajan dan sejenisnya. Ada juga yang disebut pemangku Dalang.

Sebagai pemangku, pedoman yang digunakan untuk menjalankan tugasnya adalah Sasana Pemangku yang menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan Gagelaran Pemangku/Agem-agem(lontar Kusuma Dewa, Sangkul Putih, dll), Hak pemangku(bebas ayahan, menerima sesari, mendapat laba dari hasil laba pura, dll) dan juga beberatan pemangku serta wewenang pemangku/kewajiban pemangku.

Seorang Pemangku dibenarkan untuk menjadi Pamuput Karya karena situasi tertentu, acuan atau landasan hukumnya adalah Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu yang menyangkut hal “Batas-batas dan Wewenang Muput Upacara/Upacara Yadnya”.

Kewenangan Pemangku adalah sebagai berikut:

  1. Pinandita berwenang menyelesaikan(muput)upacara puja wali/odalan sampai tingkat piodalan pada pura yang bersangkutan.
  2. Apabila pinandita menyelesaikan upacara diluar pura atau jenis upacara/upakara yadnya tersebut bersifat rutin seperti puja wali/odalan, manusa yadnya, bhuta yadnya yang harus dipuput dengan tirtha sulinggih maka pinandita boleh menyelesaikan dengan nganteb serta menggunakan tirtha sulinggih selengkapnya.
  3. Pinandita berwenang menyelesaikan upacara rutin di dalam pura dengan nganteb/mesehe serta memohon tirtha kehadapan Hyang Widhi dan Bhatari-bhatari yang melinggih atau berstana dipura tersebut termasuk upacara yadnya membayar kaul dan lain-lain.
  4. Dalam menyelesaikan upacara bhuta yadnya/caru, pinandita diberi wewenang muput upacara bhuta yadnya tersebut maksimal sampai dengan tingkat “Panca Sata” dengan menggunakan tirtha sulinggih.
  5. Dalam hubungan muput upacara Manusa Yadnya, pinandita diberi wewenang dari upacara lahir sampai dengan otonan biasa dengan menggunakan tirtha sulinggih.
  6. Dalam hubungannya dengan muput upacara Pitra Yadnya, pinandita diberi wewenang sampai pada mendem sawa sesuai dengan catur dresta.

Jadi, seorang Pemangku mempunyai wewenang untuk muput karya termasuk menjadi pemimpin dalam upacara odalan, terutama di pura dimana pemangku tersebut “ngamong”. Tidak saja dapat menggantikan sulinggih yang seharusnya atau biasanya muput odalan tetapi bisa langsung ditunjuk/ditetapkan sebagai “Sang Pemuput Karya Odalan”, dengan tetap memperhatikan tingkatan dari upacara/upakara yang akan dilaksanakan.

Tumpek Wariga


Tumpek Wariga jatuh setiap 6(enam) bulan sekali atau 210 hari. Tumpek Wariga juga dikenal sebagai Tumpek Bubuh(bubuh=bubur) dan juga sering disebut sebagai Tumpek Pengatag(tumpek ngatag). Tumpek Wariga/Tumpek Bubuh/Tumpek Pengatag selalu jatuh pada hari Sabtu Kliwon Wuku Wariga. Bentuk upacara Tumpek Wariga berupa banten selamatan, yakni peras, tulung sesayut tumpeng, bubur gendar, tumpeng agung, penyeneng, tetebus dan serba harum-haruman. Banten tersebut dilengkapi ikan dari gulung babi atau itik. Sarana Upacara tersebut diatas terdapat juga widhi-widhana untuk badan sendiri pada upacara ini juga menggunakan sesayut cakrageni, dan dupa harum. Sesayut itu ditatab dengan cipta menjernihkan segenap pikiran menuju ketenangan batin yang mengakibatkan timbulnya Adnyana Sandhi.

Image by: facebook

Apa makna Tumpek Wariga? Tumpek Wariga merupakan refleksi rasa syukur kepada Hyang Widhi(Tuhan Yang Maha Esa) dengan manifestasiNya sebagai Dewa Sangkara atas karuniaNya berupa tumbuh-tumbuhan sebagai sumber makanan. Kita semua tentu mengetahui manfaat tumbuh-tumbuhan sangat besar bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Tumpek Wariga sesungguhnya mengingatkan kita bahwa manusia harus merawat alam. Manusia tak akan bisa hidup dengan baik tanpa didukung oleh lingkungan alam yang sehat. Lingkungan hidup yang baik adalah sumber kehidupan bagi manusia. Oleh karena itu agama Hindu selalu mengingatkan tentang hal ini melalui perayaan Tumpek Wariga.

Tumpek Wariga merupakan momentum untuk menyadarkan kita akan betapa pentingnya tanam-tanaman dalam arti luas, sebagai sumber makanan dan sumber zat asam yang sehat bagi kelangsungan hidup manusia. Cintailah lingkungan kita demi generasi muda yang sehat dan cerdas. Tindakan nyata yang bisa dilakukan adalah menyelamatkan pertanian kita. Tiap orang wajib menanam dan merawat tanamannya. Terpenting lagi agar tanaman bisa menghasilkan sumber makanan yang sehat bagi tubuh manusia, kendalikanlah penggunaan pestisida dan zat kimia lainnya. Kita perlu kembali ke pertanian organik dalam rangka mengembalikan kesehatan tanah yang pada akhirnya berpengaruh baik bagi kesehatan manusia.

Semoga tumbuh-tumbuhan senantiasa subur dan memberikan sumber kehidupan bagi semua makhluk hidup. Odalan yang jatuh bertepatan dengan Tumpek Wariga antara lain: Odalan di Pura Manik Besakih, Pura Agung Wira Dharma Samudra Cilandak Jakarta Selatan, Odalan di Pura Tri Buana Agung Depok Jawa Barat, Odalan di Pura Puseh Desa Batuan Sukawati, Odalan di Merajan Pasek Bendesan Kekeran Mengwi.

Artikel terkait:

  1. Upacara, Etika dan Filosofi Tumpek Wariga
  2. Menyembah atau Menghormati Pohon?