Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Tag Archives: ida bhagawan dwija

Ida Bhagawan Dwija


Ida Bhagawan Dwija

stitidharma.org | Ida Bhagawan Dwija

Siapa yang tidak mengenal tokoh agama Hindu yang satu  ini? Terbuka, rendah hati dan bijaksana itulah gambaran sekilas  sosok intelektual, filsuf yang arif ini. Berikut adalah Biografi beliau yang dikutif dari stitidharma.org. Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi dari Geria Tamansari Lingga Ashrama Jalan Pantai Lingga Singaraja, ketika walaka bernama Putu Windu Hanaya, seorang Sentana Ida Bethara Dalem Tarukan, lahir di Singaraja pada Anggara Wage Wuku Sintha, tanggal 13 Maret 1945.

Jenjang pendidikan dimulai di Sekolah Rakyat No. 1 Singaraja (1956), kemudian dilanjutkan ke: Sekolah Menengah Pertama No. 1 Singaraja (1959), Sekolah Menengah Ekonomi Atas Singaraja (1963), Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang (1964), Sekolah Kader Pimpinan I Bank Rakyat Indonesia Jakarta (1966), University of Phillippines, Los Banos (1980), SESPIBANK Jakarta (1991)

Karir sebagai staf Bank Rakyat Indonesia berawal di Makasar (1966), Ambon (1967-1969), Sengkang (1970-1972), Banyuwangi (1972-1974), kemudian meningkat menjadi: Pemimpin Cabang di: Klungkung (1974-1981), Gianyar (1981-1983), Kepala Bagian Dana-Jasa- dan Luar Negeri di Kantor Wilayah Medan (1984), Pemimpin Cabang di: Tanjung Balai (1985-1987), Jakarta Jatinegara (1987-1991), kemudian meningkat menjadi: Wakil Pemimpin Wilayah Jawa Timur di Surabaya (1991-1995), Direktur Bank Industri di Jakarta (1995-1996), Konsultan Bank Danamon (1997).

Setelah pensiun pada tahun 1997, menekuni bidang spiritual. “Kajumput” untuk melinggih pada Redite Pon Wuku Julungwangi, tanggal 25 Oktober 1998 di Pura Batursari, Desa Subuk, Kecamatan Busungbiu, Buleleng.

Mulai aguron-guron sebagai Jero Gede di bawah asuhan Ida Pandita Mpu Nabe Parama Manik Dwija Kertha dari Geria Taman Bhadrika Ashrama – Seririt – Buleleng dan Ida Pandita Mpu Dwija Wira Kusuma dari Geria Taman Wandira Giri Desa Sangsit Banjar Celuk Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng, sejak Saniscara Kliwon Wuku Landep, tanggal 10 April 1999.

Didiksa sebagai Ida Pandita pada Saniscara Kliwon Wuku Landep, tanggal 6 Nopember 1999 oleh Ida Pandita Mpu Nabe Parama Manik Dwija Kertha. Bertindak sebagai Guru Waktra: Ida Pandita Mpu Nabe Istri dari Geria Pujungan, dan Guru Saksi: Ida Pandita Mpu Nabe Kakiang dari Geria Kekeran Menguwi. Pengesahan sebagai Brahmana Dwijati berdasarkan Surat Keputusan Parisada Hindu Dharma Indonesia Kabupaten Buleleng Nomor: 40/PHDI.BLL/XI/99 tanggal 6 Nopember 1999.

Dipilih menjadi Ketua Umum PHDI merangkap Ketua Paruman Pandita Kabupaten Buleleng masa bakti 2000-2005 dengan SK No.: 34/002/PHDI.BLL/2000 tgl. 24 Nopember 2000, dikuatkan dengan SK PHDI Prop. Bali No.: 18/Kep/I/PHDI.B/2001 tgl. 22 Januari 2001.

Identitas lengkap beliau:

Nama: Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi
Tempat Lahir: Singaraja – Bali
Tanggal Lahir: 13 Maret 1945
Alamat: Geria Tamansari Lingga Ashrama, Jalan Pantai Lingga, Singaraja-Bali
Telepon: 0362-22113, 27010
HP: 081-338-423720
Email: bhagawan.dwija@yahoo.com

Menjadi Sulinggih (Pendeta)

Dari Nabe: Ida Pandita Mpu Nabe Parama Manik Dwija Kertha, Geria Taman Bhadrika Ashrama, Seririt, Buleleng
Tanggal: 06 Nopember 1999
Gelar: Ida Pandita Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi
Alamat: Surat Keputusan PHDI Kabupaten Buleleng Nomor: 40-PHDI.Bll/XI/99 Tanggal 6 Nopember 1999

Dikukuhkan sebagai Nabe (Guru)

Tanggal: 23 Pebruari 2002

Hewan Dalam Upacara(2)


Di berbagai forum diskusi dan berbagai media sering saya temukan mengenai boleh atau tidaknya penggunaan hewan dalam upacara agama Hindu. Salag satunya adalah tulisan dari Ida Bhagawan Dwija tentang penyembelihan binatang yang diperbolehkan untuk tujuan upacara.

Dalam Manawa Dharmasastra Buku ke-5 pasal 22, 23, 28, 29, 31, 35, 39, 40, 41, 42, penyembelihan binatang dibolehkan. Lihat pasal-pasal berikut ini:

Pasal 39 :
Yajnartham pasawah sristah swamewa sayambhawa,
yajnasya bhutyai sarwasya tasmadyajne wadho wadha.

Artinya :
Swayambhu telah menciptakan hewan-hewan untuk tujuan upacara-upacara kurban. Upacara-upacara kurban telah diatur sedemikian rupa untuk kebaikan seluruh bumi ini, dengan demikian penyembelihan hewan untuk upacara bukanlah penyembelihan dalam arti yang lumrah saja.

Pasal 40 :
Osadhyah pasawo wriksastir yancah paksinastatha,
yajnartham nidhanam praptah prapnu wantyutsitih punah

Artinya :
Tumbuh-tumbuhan, semak-semak, pohon-pohon, ternak-ternak, burung-burung dan lain-lain yang telah dipakai untuk upacara, akan lahir dalam tingkatan yang lebih tinggi pada kelahirannya yang akan datang.

Pasal 35 :
Niyuktastu yathanyayam yo mamsam natti manawah, sa
pretya pasutam yati sambhawaneka wimsatim

Artinya :
Tetapi seseorang yang memang tugasnya memimpin upacara atau memang tugasnya makan dalam upacara-upacara suci, lalu ia menolak memakan daging, malah setelah matinya ia menjadi binatang selama dua puluh satu kali putaran kelahirannya.

Pasal 42 :
Eswarthesu pacunhimsan weda tattwarthawid dwijah,
atmanam ca pasum caiwa gamayatyuttamam gatim

Artinya :
Seorang Dwijati (Brahmana) yang mengetahui arti sebenarnya dari Weda, menyembelih seekor hewan dengan tujuan-tujuan tersebut diatas menyebabkan dirinya sendiri bersama-sama hewan itu masuk keadaan yang sangat membahagiakan.

Kesimpulan :
Menurut tradisi beragama Hindu di Bali, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Manawa Dharmasastra itu ditambah dengan Lontar-lontar antara lain Yadnya Prakerti, maka penyembelihan binatang untuk tujuan upacara dan makan, dibolehkan.

Dengan syarat, terlebih dahulu mohon kepada Bhatara Brahma ‘ijin untuk membunuh’ yang dinamakan upacara ‘pati wenang’. Yang berdosa adalah membunuh binatang atau tumbuh-tumbuhan bukan untuk keperluan makan dan upacara, tetapi untuk kesenangan, misalnya menembak burung gelatik.

Apakah kitab-kitab yang seolah-olah kontradiktif ini akan membuat kita bingung? Saya rasa tidak. Kitab-kitab tersebut mesti ‘dibaca’ secara mendalam bukan sekedar yang terlihat, kemudian disesuaikan dengan guna karma kita masing-masing. Kalau kita hubungkan dengan ilmu medis modern, bahkan setiap individu mempunyai kecenderungan dalam kecocokan makanan. Bagi yang masih merasa nyaman dengan makanan yang mengorbankan binatang, maupun yang memilih untuk tidak mengorbankan binatang semestinya dapat saling memahami.

Yang jauh lebih penting, bagaimana sloka-sloka dalam kitab suci tersebut bisa memberikan tuntunan bagi kita semua untuk menjadi lebih baik dalam kehidupan di dunia ini. Baik buruknya perbuatan kita itulah nantinya yang akan menjadi nilai rapor dalam menentukan apakah kita naik kelas pada kehidupan berikutnya, atau bahkan bisa lulus alias mencapai Moksa.

Upacara Agama Hindu


Banyak pertanyaan dari teman-teman non-Hindu, kenapa umat Hindu banyak sekali melakukan upacara dan biayanya sangat mahal. Adalah Ida Bhagawan Dwija menjelaskan secara gamblang apa tujuan upacara/upakara, yadnya dll. Mudah-mudah dapat memberikan pencerahan bagi kita semua.

Hindu memiliki 3(tiga) kerangka agama dasar yaitu: Tattwa, Susila, dan Upacara. Yang dimaksud dengan Tattwa adalah cara kita melaksanakan ajaran agama dengan mendalami pengetahuan dan filsafat agama. Susila adalah cara kita beragama dengan mengendalikan pikiran, perkataan, dan perbuatan sehari-hari agar sesuai dengan kaidah-kaidah agama. Upacara adalah kegiatan keagamaan dalam bentuk ritual Yadnya, yang dikenal dengan Panca Yadnya: Dewa, Rsi, Pitra, Manusa, dan Bhuta Yadnya.

Yang berkaitan dengan pertanyaan tersebut diatas adalah kegiatan-kegiatan upacara yang lebih banyak terlihat dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali, sedangkan segi-segi tattwa dan susila kurang diperhatikan, padahal menurut Weda Sruti, cara umat Hindu menjalankan agama ditiap “yuga” berbeda-beda.

Yuga adalah suatu siklus zaman yang lama waktunya di setiap zaman tidak menentu. Zaman keberadaan jagat raya ini dibagi dalam empat yuga(catur yuga), yaitu Kerta Yuga, Tritya Yuga, Dwipara Yuga, dan Kali Yuga.

Tiap periode (yuga) dikaitkan dengan unsur-unsur pokok:

  1. Perimbangan jumlah penduduk (manusia) dengan alam (kamadhuk)
  2. Pengaruh zaman pada sifat-sifat manusia
  3. Sumber-sumber alam yang tersedia

Zaman Kerta disebut sebagai zaman yang paling stabil, yaitu penduduk yang tidak banyak, sifat-sifat manusia yang baik/ positif, dan tersedianya sumber-sumber alam yang melimpah. Kestabilan itu selanjutnya makin berkurang sehingga di zaman Kali keadaan sudah jauh berbeda, terutama mengenai berkurangnya sumber-sumber alam, dan perilaku manusia yang makin jauh dari dharma.

Oleh karena itu Hyang Widhi melalui para Maha Rsi mengingatkan umat manusia agar pelaksanaan ajaran agama tidak sama pada setiap zaman. Di zaman Kerta dan Tritya, pelaksanaan upacara-upacara yadnya dengan menggunakan sarana upakara (banten) lebih menonjol daripada pengetahuan agama (tattwa) dan susila karena:

  1. Sumber-sumber alam masih melimpah
  2. Tingkat kecerdasan manusia masih rendah di mana segi positifnya manusia belum mempunyai pikiran macam-macam (masih lugu) dan gampang dibimbing oleh para Maha Rsi untuk melaksanakan ajaran agama

Di zaman Dwipara, apalagi di zaman Kali seperti sekarang ini cara kita melaksanakan ajaran agama harusnya lebih menekankan segi tattwa dan susila daripada upacara karena:

  1. Kemampuan alam menyediakan keperluan manusia berkurang disebabkan jumlah penduduk meningkat drastis sedangkan alam: lahan, tanaman dan binatang makin berkurang.
  2. Kecerdasan manusia meningkat namun dengan berbagai dampak negatifnya seperti: sad-ripu (kama, lobha, kroda, mada, moha, dan matsarya) yang semakin menonjol, dan umat makin sulit dibimbing oleh para pemuka agama selain karena jumlah mereka terbatas, juga karena banyak umat yang tidak menyadari perlunya siraman rohani.

Umat lebih mementingkan kebutuhan materi seperti sandang, pangan, papan, tetapi kurang memperhatikan kesehatan rohani, padahal kesehatan rohani akan membawa manusia pada perasaan yang suci, tenang, damai, dan bahagia. Dengan penjelasan di atas, Pandita ingin menyampaikan bahwa di zaman sekarang ini umat agar melaksanakan tiga kerangka agama Hindu dengan bobot yang lebih banyak pada segi pemahaman tattwa dan menjaga susila sebaik-baiknya.

Upacara-upacara Yadnya tetap perlu dilaksanakan namun diupayakan sesederhana mungkin dengan biaya upakara yang terjangkau oleh kemampuan masing-masing. Janganlah memaksakan diri mencari dana seperti menjual tanah warisan leluhur, mencari hutang yang besar, lebih-lebih dengan ber-KKN.

Di beberapa tempat ada penduduk suatu desa yang mencari dana membangun Pura atau melaksanakan upacara Yadnya dengan mengadakan tajen. Hal ini tentulah sangat bertentangan dengan ajaran agama, karena tajen adalah judi, dan judi dilarang dalam agama Hindu.

Para leluhur kita telah mengajarkan bahwa sesajen (banten) itu dapat disederhanakan. Oleh karena itu dilihat dari volumenya, bebanten dapat dikelompokkan pada tiga jenis, yaitu:

  1. Banten yang alit
  2. Banten yang madya
  3. Banten yang utama

Banten sederhana (alit) tidaklah berati nilainya lebih rendah daripada yang madya dan utama, demikian sebaliknya. Yang menentukan sukses tidak suksesnya upacara Yadnya tidaklah terletak pada banten saja, tetapi yang lebih penting adalah niat berkorban dalam kesucian yang tulus dan iklas sebagaimana hakekat pengetian “Yadnya”.

Dalam konteks ini ada tiga jenis Yadnya, yaitu:

  1. Satwika Yadnya
  2. Rajasika Yadnya
  3. Tamasika Yadnya

Satwika Yadnya adalah Yadnya yang dilaksanakan secara tulus, suci, dan sesuai dengan kemampuan. Rajasika Yadnya adalah Yadnya yang didorong oleh keinginan menonjolkan diri seperti kekayaan, kekuasaan, dan hal-hal yang bersifat feodalisme: kebangsawanan, kesombongan, penonjolan soroh, dll. Tamasika Yadnya adalah Yadnya yang dilaksanakan oleh orang-orang yang tidak mengerti pada tujuan Yadnya. Dengan demikian jelaslah bahwa Yadnya yang terbaik adalah Satwika Yadnya. Mengenai bebanten, ada disebutkan dalam lontar Yadnya Prakerti bahwa kita mempersiapkan banten sesuai dengan Desa, Kala, dan Patra.

Yang dimaksud dengan Desa adalah menggunakan bahan-bahan banten yang berasal dari lingkungan tempat tinggal kita. Kala adalah waktu yang tersedia untuk menyiapkan banten, dan Patra adalah dana yang tersedia untuk membeli bahan-bahan. Jika kita perhatikan sekarang, banyak sekali umat menggunakan bahan-bahan banten yang tidak berasal dari desa kita seperti buah apel, pir, anggur, dan lain-lain.

Buah-buahan lokal seperti sabo, manggis, ceroring, kepundung, wani, kucalcil. dll. hampir tidak nampak. Itu tandanya bahwa di kebun-kebun penduduk jenis buah-buahan itu sudah langka. Selain itu busung, biu, bahkan bebek dan ayam sudah didatangkan dari luar Bali. Busung datang dari Lombok atau Sulawesi, biu, bebek, dan ayam ber ton-ton didatangkan dari Jawa.

Keadaan seperti ini hendaknya menjadi perhatian kita yang serius dengan mengambil langkah-langkah yang positif misalnya: menanami lahan-lahan dengan bahan-bahan banten seperti pisang, kelapa gading, bunga-bungaan, buah-buahan, dll. Para peternak/ petani lebih giat lagi memelihara binatang seperti ayam, bebek, babi dll.

Langkah lainnya kembali kepada bahasan di atas, yaitu buatlah sesajen atau banten dengan sederhana tetapi tidak menyimpang dari sastra-sastra agama sehingga semua umat dapat melaksanakan upacara yadnya sesuai dengan kemampuan keuangannya masing-masing.

 

 

 

%d bloggers like this: