Di berbagai forum diskusi dan berbagai media sering saya temukan mengenai boleh atau tidaknya penggunaan hewan dalam upacara agama Hindu. Salag satunya adalah tulisan dari Ida Bhagawan Dwija tentang penyembelihan binatang yang diperbolehkan untuk tujuan upacara.
Dalam Manawa Dharmasastra Buku ke-5 pasal 22, 23, 28, 29, 31, 35, 39, 40, 41, 42, penyembelihan binatang dibolehkan. Lihat pasal-pasal berikut ini:
Pasal 39 :
Yajnartham pasawah sristah swamewa sayambhawa,
yajnasya bhutyai sarwasya tasmadyajne wadho wadha.
Artinya :
Swayambhu telah menciptakan hewan-hewan untuk tujuan upacara-upacara kurban. Upacara-upacara kurban telah diatur sedemikian rupa untuk kebaikan seluruh bumi ini, dengan demikian penyembelihan hewan untuk upacara bukanlah penyembelihan dalam arti yang lumrah saja.
Pasal 40 :
Osadhyah pasawo wriksastir yancah paksinastatha,
yajnartham nidhanam praptah prapnu wantyutsitih punah
Artinya :
Tumbuh-tumbuhan, semak-semak, pohon-pohon, ternak-ternak, burung-burung dan lain-lain yang telah dipakai untuk upacara, akan lahir dalam tingkatan yang lebih tinggi pada kelahirannya yang akan datang.
Pasal 35 :
Niyuktastu yathanyayam yo mamsam natti manawah, sa
pretya pasutam yati sambhawaneka wimsatim
Artinya :
Tetapi seseorang yang memang tugasnya memimpin upacara atau memang tugasnya makan dalam upacara-upacara suci, lalu ia menolak memakan daging, malah setelah matinya ia menjadi binatang selama dua puluh satu kali putaran kelahirannya.
Pasal 42 :
Eswarthesu pacunhimsan weda tattwarthawid dwijah,
atmanam ca pasum caiwa gamayatyuttamam gatim
Artinya :
Seorang Dwijati (Brahmana) yang mengetahui arti sebenarnya dari Weda, menyembelih seekor hewan dengan tujuan-tujuan tersebut diatas menyebabkan dirinya sendiri bersama-sama hewan itu masuk keadaan yang sangat membahagiakan.
Kesimpulan :
Menurut tradisi beragama Hindu di Bali, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Manawa Dharmasastra itu ditambah dengan Lontar-lontar antara lain Yadnya Prakerti, maka penyembelihan binatang untuk tujuan upacara dan makan, dibolehkan.
Dengan syarat, terlebih dahulu mohon kepada Bhatara Brahma ‘ijin untuk membunuh’ yang dinamakan upacara ‘pati wenang’. Yang berdosa adalah membunuh binatang atau tumbuh-tumbuhan bukan untuk keperluan makan dan upacara, tetapi untuk kesenangan, misalnya menembak burung gelatik.
Apakah kitab-kitab yang seolah-olah kontradiktif ini akan membuat kita bingung? Saya rasa tidak. Kitab-kitab tersebut mesti ‘dibaca’ secara mendalam bukan sekedar yang terlihat, kemudian disesuaikan dengan guna karma kita masing-masing. Kalau kita hubungkan dengan ilmu medis modern, bahkan setiap individu mempunyai kecenderungan dalam kecocokan makanan. Bagi yang masih merasa nyaman dengan makanan yang mengorbankan binatang, maupun yang memilih untuk tidak mengorbankan binatang semestinya dapat saling memahami.
Yang jauh lebih penting, bagaimana sloka-sloka dalam kitab suci tersebut bisa memberikan tuntunan bagi kita semua untuk menjadi lebih baik dalam kehidupan di dunia ini. Baik buruknya perbuatan kita itulah nantinya yang akan menjadi nilai rapor dalam menentukan apakah kita naik kelas pada kehidupan berikutnya, atau bahkan bisa lulus alias mencapai Moksa.
Semoga bermanfaat, Silahkan share:
Like this:
Like Loading...
Related
Recent Comments