Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Tag Archives: keluarga hindu

Memilih Pasangan Hidup


Memilih pasangan hidup itu tidak mudah. Pacaran boleh lama tapi pada saat waktunya menikah disanalah kita dituntut untuk berpikir dan bertanya pada diri sendiri benarkah kekasih hati adalah pasangan hidup kita? Memilih pasangan hidup tidak sekedar memilih pasangan tinggal seatap dan memiliki keturunan namun ada cinta dan komitmen bersama untuk membentuk keluarga yang bahagia lahir dan bathin.

varayet kulajam prajno
nirupamapi kanyakam
rupasilam na nicasya
vivahah sadrse kule
(Canakya Niti Sastra 1.14)

Artinya: “Orang bijaksana hendaknya menikah dengan wanita dari keluarga terpandang walaupun wanita tersebut tidak cantik. Sebaliknya hendaklah tidak menikahi wanita dari keluarga rendah meskipun berwajah cantik. Akan tetapi, yang terbaik adalah pernikahan dengan wanita sederajat.”

Sloka ini memberikan peringatan agar orang tidak sembarangan memilih pasangan hidup. Mereka tidak memilih calon suami atau istri hanya berdasarkan pada pertimbangan harta, kecantikan wajah, atau alasan material lainnya.

Image by: Hipwee

“Rupa-silam na nicasya vivahah” – keluarga rendah yang dimaksudkan di sini adalah keluarga yang tingkah laku dan hidupnya semrawut, suka membicarakan keburukan orang lain, suka memfitnah dan bertengkar, tidak menghargai kebersihan, kesucian, sopan santun, keluarga jahat, berdosa, dan lelap dalam berbagai berkebiasaan buruk lainnya. Di lain pihak, walaupun wanita berwajah kurang begitu cantik, tetapi kalau ia berasal dari keluarga yang mulia, keluarga baik-baik, sopan santun, berjiwa mulia dalam keagamaan dan spiritual, memiliki rasa malu, maka wanita demikian patut diambil istri oleh orang bijaksana. Itulah yang dimaksudkan di sini dengan kalimat “varayet kulajam prajno nirupamapi kanyakam” – walaupun mempunyai wajah yang cantik tetapi berhati jahat maka wanita seperti itu tidak akan menjadi pilihan orang bijaksana.

Kata kanyakam pada sloka di atas memang menunjuk pada wanita, namun dalam hal ini kata kanyakam juga bisa berarti laki-laki. Kitab suci dan orang suci tidak pernah memihak. Dengan demikian, baris ini juga berarti wanita baik-baik tidak akan sembarangan memilih calon suami. Sebaliknya walaupun wanita berwajah tidak cantik namun berasal dari keluarga mulia maka ia patut diambil sebagai istri oleh orang bijaksana. Keluarga mulia biasanya selalu mewariskan kebiasaan dan sifat-sifat mulia keluarga kepada anak-anak gadisnya yang akan tinggal di keluarga orang lain, agar tidak memalukan dan tidak menjatuhkan martabat keluarganya.

Ciri-ciri luar berupa kecantikan dan ketampanan wajah serta harta benda dapat berubah dalam waktu yang tidak terlalu lama. Semua bertahan hanya beberapa bulan atau tahun. Sedangkan sifat-sifat mulia yang merupakan bawaan sejak kecil dan bekal kebiasaan keluarga mulia tidak akan pernah hilang, bahkan semakin bertambah usia maka sifat-sifat mulia tersebut menjadi semakin bertambah dan bertambah mulia. Itulah yang akan menjadi “penyejuk” hidup keluarga. Tujuan orang berumah tangga adalah demi hidup lebih tenang, damai dan harmonis, terutama agar dikaruniai keturunan anak-anak yang baik, penurut dan berbudi pekerti luhur (Suputra). Hidup indah, mulia dan tenang damai seperti itu tidak didapatkan melalui kecantikan wajah maupun harta benda melainkan melalui sifat-sifat mulia dan budi pekerti yang luhur.

Orang tua dari keluarga mulia selalu mendidik dan menyempurnakan anak gadisnya menjadi layak sebagai seorang istri sebelum diserahkan kepada pemuda pilihan yang akan menjadi suaminya. Pendidikan diberikan tidak akan mengabaikan hal-hal yang kelihatan kecil dan remeh. Mereka akan memastikan bahwa anak putrinya tidak akan pernah duduk menaikkan kaki di hadapan mertua, mereka tidak akan menikahkan anak putrinya sebelum memastikan dia sudah bisa memasak dan lain-lain bekal sifat atau kebiasan mulia yang diperlukan untuk membangun rumah tangga yang indah harmonis. Keluarga-keluarga rendah pada umumnya tidak memperhatikan tugas-tugas mulia para anggota keluarga, tata-krama dan sopan-santun pergaulan, serta sangat jauh dari kehidupan agama spiritual. Anak-anak duduk nangkring sambil nonton TV, main games, iPad, iPhone, atau minum teh, kopi, hotchocolate tanpa peduli dengan orang tua yang sedang bekerja.

Keluarga baik-baik sangat berhati-hati serta berpikir ribuan kali terlebih dahulu sebelum mengawini gadis dari keluarga rendah. Keluarga dan/atau calon suami yang bijaksana selalu memastikan bahwa calon istrinya adalah seorang wanita yang akan memberikan kedamaian dan kesejukan dalam rumah tangga yang akan dibangunnya bersama. Memilih pasangan yang mempunyai sifat-sifat tidak terpuji walaupun berwajah cantik pasti akan memberikan kedukaan pada suami dan keluarganya. Karena, wanita tidak terdidik dalam tingkah laku dan budi pekerti luhur sulit mengubah atau meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruknya.

Sesuai tradisi leluhur, pemuda atau gadis dianjurkan agar berhati-hati memilih lelaki untuk menjadi pasangan hidupnya. Memilih suami tidak karena ketampanan wajah dan juga bukan karena harta atau status lainnya. Leluhur kita sangat rapi menyusun pernikahan putra-putrinya. Hasilnya, zaman dahulu hampir tidak ada perceraian. Namun sekarang, ketika orang menentukan pembentukan keluarga melalui “Cinta sama Cinta”, menurut cerita kawan yang adalah seorang hakim, kasus perceraian merupakan kasus tertinggi yang ditangani di pengadilan. Orang-orang pada antre untuk bercerai. Perceraian tidak lagi kasus melainkan sudah menjadi masalah sangat umum, hal yang biasa, atau hal yang “memang harus terjadi”. Bagaimana pun cara kita menilai leluhur namun “teknik” leluhur ternyata lebih ampuh. Melalui “teknik” Pawukon, Horoscope, Numerology dan lain-lain cara Jyotisa (astrology) leluhur dapat mengetahui apakah pernikahan tersebut akan langgeng atau tidak, bisa mempunyai keturunan ataukah tidak, berapa pasangan tersebut akan mempunyai anak laki atau perempuan, – semua dapat “diketahui” melalui peritungan Pawukon atau Jyotisa. Pasangan memulai hidup Grhastha “tanpa atau melalui cinta” namun dalam perkembangan waktu akhirnya mereka menjadi cinta setengah mati, bahkan sampai tingkat “mesati” (ikut mati dalam pembakaran mayat suami). Tentu saja Veda tidak pernah menganjurkan hal-hal seperti ini.

Wanita yang mendapatkan suami santun bijaksana pastilah wanita yang sudah menanam karma indah pada penjelmaan sebelumnya, atau mendapatkan karunia khusus Tuhan dalam hidup sekarang ini. Pria atau wanita yang mendapatkan istri atau suami yang berwajah cantik/ganteng sekaligus “cantik atau ganteng hati” dianggap dalam kehidupan lampaunya sudah melakukan kegiatan-kegiatan yang sangat mulia. Paling tidak, itulah pendapat pustaka Sarasamuccaya.

Terlahir sebagai seorang wanita mulia yang berwajah cantik (ikang striratna anakӗbi rahayu), pantas memakai berbagai macam pakaian, yang menyenangkan para pria, memiliki rumah besar megah bagaikan istana (lawan umah rahayu, makadi prasadaprsta), dengan menara dan banyak ruangan, dihormati dan disegani, tidak kekurangan santapan jasmani dan rohani, berbagai pakaian dan perhiasan mewah wastrabharanadi, harta benda berlimpah, semua itu dimiliki oleh orangorang dermawan (drbya sang punyakari ika kabeh).

Vivahah sadrse kule — pernikahan terbaik adalah dengan pasangan yang sederajat, baik wanita maupun lelaki. Wanita mulia akan sakit hati melayani suami yang memiliki kebiasaan buruk. Ia pun pasti akan merosot jatuh ke dalam kebiasaan buruk keluarga suami. Sebaliknya suami yang terjauhkan dari sifat mulia tetapi memiliki istri bersifat mulia maka ia akan merasa seolah-olah “bermimpi”. Bahkan banyak pula yang menganggap istrinya gila karena rajin sembahyang, tidak makan daging, dan lain-lain. Pernikahan terbaik adalah menikah dengan keluarga sederajat. Jika suami-istri sama-sama tidak makan daging, sama-sama rajin bersembahyang, sama-sama suka membaca kitab suci Veda, maka dengan sendirinya akan tercipta keluarga yang damai, rukun dan suci.

Manava Dharma Sastra sangat menekankan agar golongan varna memilih pasangan hidup untuk berkeluarga dari varna yang sama, demi terciptanya keseimbangan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Bila seseorang dari varna Brahmana menikah dengan sesama Brahmana tentulah mereka dapat saling mendukung. Bila Brahmana menikah dengan varna Vaisya, ada bahaya mereka akan “memperdagangkan” ke-brahmana-an. Mereka yang memiliki sifat kependetaan lalu bekerja sebagai pebisnis, bukan hanya rugi melainkan modal pun ludes “dimakan kebaikan”. Sedangkan yang berjiwa bisnis lalu mengambil pekerjaan kependetaan, maka segala pelayanan agama spiritualnya akan musnah “dimakan kali-kalian”.

Pernikahan bukan untuk “kawin” melainkan demi membangun sebuah rumah tangga yang ideal dan harmonis dalam jalan Veda. Keluarga seperti inilah yang akan membentuk masyarakat, bangsa dan Negara yang tenang, damai, “gemah ripah loh jinawi”. Keluarga yang hidupnya selalu dalam jalan Veda. Grhastha yang siap dan layak menjadi keluarga Sukhinah.

Sumber: Weda Wakya Bali Post 04-03-2018

Istri Menurut Kitab Suci Weda


Menjadi istri tentu harapan semua wanita didunia ini, dapat diterima dikeluarga besar suami adalah impian setiap wanita yang baru menikah. Tidak dipungkiri memasuki jenjang pernikahan kita harus menyiapkan mental untuk menjadi anggota baru dirumah suami. Keluarga suami hendaknya menerima kehadiran menantu tanpa syarat apapun, seperti menerima kehadiran anak kandung. Menciptakan suasana yang ramah untuk anggota baru dalam keluarga adalah kewajiban semuanya. Berikut adalah beberapa kutipan Kitab Suci Weda yang bisa jadikan pedoman untuk memasuki dunia baru rumah tangga.

Wahai mempelai wanita, dengan kedatanganmu ke rumah suamimu, semogalah kamu menjadi petunjuk yang terang terhadap keluarganya. Membantu dengan kebijaksanaan dan pengertian, semogalah kamu senantiasa mengikuti jalan yang benar dan hidup yang sehat dalam rumahmu. Semogalah Hyang Widhi menghujankan rahmat-Nya kepadamu.(Atharwa Weda XIV.2.27).

Wahai penganten wanita, datangilah dengan keramahanmu seluruh anggota suamimu. Bersama-samalah dalam suka dan duka dengan mereka. Semoga kehadiranmu di rumah suamimu memberikan kebahagiaan dan keberuntungan kepada suamimu, mertuamu laki-laki dan perempuan dan menjadi pengayom bagi seluruh keluarga. (Atharwa Weda XIV.2.26).

Seorang wanita, istri atau ibu juga hendaknya berpenampilan lemah lembut dan menjaga dengan baik setiap bagian tubuhnya. “Wahai wanita, bila berjalan lihatlah ke bawah, jangan menengadah dan bila duduk tutuplah kakimu rapat-rapat”(Rgveda VIII.33.19).

Wahai istri, tunjukkan keramahanmu, keberuntungan dan kesejahtraan, usahakanlah melahirkan anak. setia dan patuhlah kepada suamimu (Patibrata), siap sedialah menerima anugrah-Nya yang mulia” (Atharvaveda XIV.1.42)

Sungguhlah dosa besar jika seorang istri berani terhadap suaminya, berkata kasar terhadap suaminya. “Hendaknya istri berbicara lembut terhadap suaminya dengan keluhuran budi pekerti” (Atharvaveda , III.30.2).

Sebagai seorang istri tahan ujilah kamu, rawatlah dirimu, lakukan tapa brata, laksanakan Yajna di dalam rumah, bergembiralah kamu, bekerjalah keras kamu, engkau akan memperoleh kejayaan” (Yajurveda XVII.85).

Jadikanlah rumahmu itu seperti sorga, tempat pikiran-pikiran mulia, kebajikan dan kebahagiaan berkumpul di rumahmu itu”(Atharvaveda VI.120.3).

Seorang istri hendaknya melahirkan seorang anak yang perwira, senantiasa memuja Hyang Widhi dan para dewata, hendaknya patuh kepada suaminya dan mampu menyenangkan setiap orang, keluarga dan mengasihi semuanya.(Reg Weda X.85.43).

Seorang istri sesungguhnya adalah seorang cendekiawan dan mampu membimbing keluarganya”(Rgveda VIII.33.19)

Wahai para istri, senantiasalah memuja Sarasvati dan hormatlah kamu kepada yang lebih tua” (Atharvaveda XIV.2.20)

**Dari berbagai sumber

Rumah Tinggal yang Ideal Dalam Hindu


RUMAH tinggal bukan sekedar sebagai tempat berteduh saat panas dan saat hujan. Rumah tinggal itu adalah tempat mengembangkan konsep kehidupan yang seimbang baik lahir maupun batin. Karena itu harus diciptakan kondisi yang seimbang antara eksistensi alam lingkungan yang sejuk dan hubungan sosial yang harmonis sesama penghuni rumah tinggal sebagai pemujaan pada Tuhan. Konsep rumah tinggal yang idial normatif itu ada dinyatakan dalam berbagai susastra Hindu.

Dalam Sloka dibawah dinyatakan:

Trnaani bhuurmirudakam
Wak caturti ca suunartaa
Etaanyapi sataan gehesu
Nocchidyante kadaacana. (Manawa Dharmasastra. III.101)

Artinya: Di rumah tinggal orang yang baik akan senantiasa ada empat hal yaitu pepohonan, air yang jernih yang mengalir, ruang istirahat dan kata-kata yang sopan santun dan kesetiaan.

Sloka diatas menyatakan adanya empat unsur yang harus ada dalam setiap rumah tinggal orang baik. Empat unsur itu membentuk lingkungan alam yang sejuk dan lingkungan sosial yang harmonis dan dinamis dalam rumah tinggal tersebut. Konsep rumah tinggal yang demikian itu juga dinyatakan kembali dalam Sarasamuscaya 224. Tentang rumah tinggal yang idial itu amat sejalan dengan fungsi rumah tingga yang ada dikalangan umat Hindu di Bali. Fungsi rumah tinggal bagi umat Hindu di Bali tergambarkan pada saat rumah tinggal itu di-pelaspas yaitu upacara untuk mengupacarai rumah tinggal tersebut secara ritual sakral.

Puncak upacara melaspas umumnya disertai dengan menancapkan tiga jenis bentuk banten yang disebut ”Orti”. Tiga jenis banten Orti itu adalah Orti Temu, Orti Ancak dan Orti Bingin. Tiga Orti ini menggambarkan makna dari rumah tinggal tersebut. Orti Temu sebagai simbol yang melukiskan rumah tinggal itu setelah dipelaspas bukan merupakan rangkaian bahan-bahan bangunan yang bersifat sekala semata yang tak bernyawa, tetapi sudah ditemukan dengan kekuatan spiritual yang niskala dengan upacara yadnya yang sakral. Ini artinya rumah tinggal itu sudah hidup atau ”maurip” secara keagamaan.

Sedangkan Orti Ancak adalah lambang bahwa rumah tinggal itu sebagai tempat untuk mengembangkan kehidupan yang baik dan benar atau lambang ”kawerdian”. Kata werdhi artinya berkembang kearah yang semakin baik. Ini artinya rumah tinggal itu harus difungsikan sebagai sarana untuk mengembangkan kehidupan yang semakin baik, benar dan wajar mewujudkan tujuan hidup yang disebut Purusa Artha. Orti Bingin lambang ”kelanggengan”. Langgeng atau keabadian. Hidup itu banyak seginya. Hal yang tidak baik dan tidak benar wajib ditinggalkan. Tetapi hal yang baik dan benar wajib dijadikan dasar mengembangkan kehidupan yang baik dan benar atau werdhi sampai yang baik dan benar itu menjadi langgeng sebagai dasar kehidupan manusia yang tinggal dalam rumah tinggal tersebut.

Sejalan dengan makna tiga Orti itu Sloka Manawa Dharmasastra III.101 diatas dan juga Sarasamuscaya 224 memberikan tuntunan tentang unsur yang seyogianya ada dan dikembangkan dalam rumah tinggal yaitu: yaitu adanya pepohonan yang berguna untuk makanan dan obat-obatan atau trna atau sam sam. Hal ini untuk memelihara kualitas oksigen yang selalu dihirup oleh mereka yang tinggal di rumah tinggal tersebut. Dalam Mantra Atharvaveda X.44.1 ada dinyatakan bahwa: Terdapat warna hijau pada daun tumbuh-tumbuhan (klorofil) yaitu unsur yang menyelamatkan hidup yang pada hijau daun. Ia ditutupi oleh tumbuh-tumbuhan berkhasiat obat dan makanan.

Rumah tinggal itu hendaknya tidak dipenuhi oleh bangunan fisik saja. Betapapun sempitnya halaman hendaknya diusahakan ada pepohonan setidaknya pohon sejenis perdu yang ada manfaatnya sebagai bahan makanan, obat-obatan dan keindahan warna daun dan bunganya. Mungkin hal ini yang disebut adanya pasar hidup dan apotek hidup dalam pembinaan keluarga dewasa ini. Air jernih yang mengalir atau bhumi udaka disebut juga ”wwai hideng” seyogianya juga ada dalam setiap pekarangan rumah tinggal. Air ini merupakan satu dari tiga Ratna Permata Bumi menurut Nitisastra XII.21. Dua Ratna Permata Bumi lainnya adalah anna atau tumbuhan bahan makanan dan obat-obatan dan subha sita yaitu kata-kata bijak yang dirumuskan dari Mantra Weda.

Kata-kata bijak itulah yang wajib dijadikan dasar dan pedoman berperilaku dalam mengelola hidup bersama di rumah tinggal tersebut. Air adalah sumber alam yang amat menentukan perjalanan hidup semua mahluk di bumi ini, karena itu air itu disebut Ratna Permata Bumi. Dewasa ini cara mengolah aliran air di rumah tinggal agar terus mengalir sudah ada berbagai teknologi modern. Unsur yang ketiga yang wajib ada dalam rumah tinggal itu adalah tempat istirahat seperti kamar tidur, kamar keluarga dan juga ruang untuk terima tamu. Keberadaan ruangan inilah yang lebih diutamakan pada umumnya, karena itu memang kebutuhan yang paling mendasar dalam rumah tinggal itu.

Namun demikian keberadaan tumbuh-tumbuhan dan air mengalir dan kata-kata bijak amat dipentingkan agar kamar atau ruangan itu menjadi berfungsi sebaik mungkin memberi kesehatan dan kesejukan bertempat tinggal di rumah tersebut. Unsur yang keempat seharusnya ada dalam setiap rumah tinggal adalah ”Ujar umanis” dan ”Satya hitaawasaana” atau disebut suunrtaa. Kata-kata manis dan kesetiaan dan kebenaran inilan menajadi norma utama yang jadi pegangan dalam rumah tinggal suatu keluarga. Dalam komunikasi di intern keluarga dalam rumah tinggal itu tidak ada ”ujar apergas” atau kata-kata kasar, ujar ahala kata-kata jahat, ujar pisuna kata kata fitnah dan ujar mithya atau kata-kata bohong.

Komunikasi senantiasa memberikan kesan kebenaran dan kejujuran atau satyahita wasana dalam keluarga tersebut. Unsur-unsur yang seyogianya ada dalam setiap rumah tinggal orang baik ini perlu kembali direnungkan untuk membangun suatu pemukiman yang sehat baik ditinjau dari sudut lingkungan alam maupun dari sudut lingkungan sosialnya. Dalam rumah tinggal yang idial itulah akan tumbuh generasi penerus yang sehat lahir dan batin.

**I Ketut Wiana