Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Tag Archives: pendidikan anak

Pendidikan Karakter Anak Dalam Keluarga Hindu


PENDIDIKAN anak perlu mendapatkan perhatian serius. Anak adalah sebuah masa depan bagi dirinya, keluarganya, dan juga masyarakat bangsa dan negara. Anak yang suputra, anak yang berbudi luhur menjadi idaman setiap keluarga. Ciri khas dari anak yang suputra mampu menempatkan dirinya sebagai anak di samping hormat pada dirinya, dan juga pada orang lain. Akan tetapi, dalam kenyataan tidaklah mudah untuk mewujudkan anak yang suputra justru banyak anak yang kuputra, anak yang tidak mengenal etika moral sebagai manusia yang sejati. Manusia sejati adalah manusia yang menyadari harkat dan matabatnya sebagai manusia.

Kenyataan-kenyataan sosial seperti perkelahian, pemerkosaan, pembunuhan bisa dicari benang merahnya. Tentu ada sumber yang menjadikan penyebab mengapa seorang anak setelah remaja, dewasa bisa berubah dari harapan orang tuanya? Hal ini dapat dicari dari akarnya. Siapa akar itu? Keluarga.

Keluarga adalah pendidikan yang utama dan pertama. Pembentukan karakter anak lebih banyak ditentukan oleh keluarganya. Keluarga yang harmonis, rukun akan tercermin dari anaknya. Begitu juga sebaliknya, anak yang kurang berbakti bahkan melakukan tindakan di luar moral kemanusiaan keluargalah sumber utamanya. Beberapa teori mengatakan bahwa anak sebagai kertas putih (tabula rasa) yang bisa ditulisi apa saja oleh orang dewasa (orang tua, lingkungannya). Artinya, lingkungan memengaruhi moral si anak. Teori lain mengatakan bahwa anak membawa karakter, bakat, minat dari sejak lahirnya (nativisme). Artinya, anak lebih banyak dibentuk oleh faktor bawaan dari sejak lahir. Kenyataan menunjukkan bahwa kedua faktor bawaan dan lingkungan saling memengaruhi (konvergensi).

Dalam konsep Hindu, manusia lahir membawa karma-karma yang terdahulu (sancita karma). Bekas-bekas perbuatan ini masih melekat pada diri anak sesuai dengan kelahirannya terdahulu. Selama manusia belum menyatu dengan Tuhan, selama itu, ia akan mengalami reinkarnasi (proses kelahiran berulang – ulang). Karmalah sebagai penyebabnya. Untuk itu, selama hidup berkarmalah yang baik, benar, dan bermoral yang utuh.

Pendidikan yang menjadikan hidup manusia bermoral agar terus didengungkan bahkan sekarang ada wacana pendidikan berkarakter. Pendidikan dalam agama Hindu bahkan dimulai dari dalam kandungan, upacaranya disebut dengan magedong-gedongan. Suami yang menyadari dirinya bahwa istrinya masih mengandung buah hatinya akan amat memerhatikan kesehatan istri tercintanya. Kesehatan fisik dan psikhisnya menjadi prioritas utama. Pikiran, perkataan, dan perbuatan (trikaya parisudha) benar-benar dijaga sehingga si janin dalam keadaan tenang, damai, sejuk dalam kandungan. Suami selalu berperilaku dalam koridor kebenaran.

Perkembangan selanjutnya, dalam konteks modern orang tua bahkan ada yang memutarkan musik klasik(Mozart). Kalau di Bali, suara-suara kidung, suara gamelan smarpagulingan, rindik, musik legong kraton bisa digunakan karena iramanya yang lembut dan membawa ketenangan pada si jabang bayi. Jangan nodai kesucian bayi oleh kelakuan yang kurang berkenan pada hidup dan kehidupan ini. Anak adalah titipan Tuhan dan bersyukurlah sebagai seorang perempuan karena bisa sebagai jalan untuk melahirkan anak-anak Tuhan. Jangan sakiti anak-anak Tuhan yang lahir dari rahim yang suci.

Mendidik sering disandingkan dengan mengajar. Mendidik berarti memberikan nilai-nilai moral yang lebih utama. Mengajar lebih menekankan pada keilmuan. Mendidik dalam nuansa religius dikenal dengan istilah educare. Educare adalah usaha untuk membina dan menumbuhkembangkan potensi, nilai-nilai luhur yang ada dalam diri seorang anak. Educare juga memberi iklim yang kondusif, memberi situasi kontekstual yang nyaman kepada bibit yang unggul yang seyogyanya dibangkitkan dan ditumbuhsuburkan dari dalam diri anak (Jendra,2009 : 8)

Mendidik anak agar selalu berjalan dalam koridor moral dan budi pekerti yang luhur terus ditumbuhkembangkan dalam keluarga. Berikanlah kasih sayang Anda pada anak-anak bangsa ini .Anak yang tidak mendapatkan kasih sayang dari keluarganya sekarang ini teramat banyak. Orang tua hendaknya meluangkan waktunya unuk mendidik, membina anak tercintanya. Pendidikan yang bernuansa humanis menghargai harkat anak sebagai manusia melahirkan anak yang suputra, anak yang baik. Su bermakna “baik”, putra berarti ”anak”. Lawan dari suputra adalah kuputra. Anak yang kurang bermoral atau kurang beretika, kalau di Bali diistilahkan dengan anak dia-diu. Anak dia-diu umumnya dilahirkan dari hubungan yang tidak didahului dengan upacara agama. Kedua anak ini akan tampak dalam keseharian. Anak yang suputra memiliki karakter seperti bajik, selalu berbuat yang benar dan bermoral, damai dan memberikan kedamaian pada orang lain, tidak melakukan tindakan kekerasan, seperti perkelahian, curanmor dan sebagainya. Putra yang suputra adalah ”manusia dewa” manusia yang memberikan penerangan, menyinari diri dan orang lain selalu memberikan contoh dan sikap moral yang benar. Sikapnya selalu berada dalam koridor kebenaran. Ia akan mengurangi sikap marah, keinginan yang tak terarah, loba atau tidak puas dengan yang dimilikinya, kebingungan, sikap mabuk-mabukan, dan sikap iri hati pada orang lain.

Orang tua sebagai orang yang amat dekat dengan anak hendaknya memberikan contoh yang kondusif bagi perkembangan mentalnya. Orang tua yang melarang anaknya minum-minuman beralkohol, sebaiknya jangan minum-minuman yang beralkohol. Contoh-contoh yang membangun karakter yang benar, santun, bermartabat, bermoral terus diperbanyak. Pertengkaran yang terjadi dalam keluarga usahakan jangan dilihat langsung oleh anak. Jiwa anak yang amat rentan akan terpengaruh dan bisa terbentuk pada memorinya. Tindakan kekerasan yang terbiasa dilihat dalam keluarga dapat berakibat buruk pada anak.

Contoh-contoh yang benar sebagai bentengnya dalam pergaulan sosialnya. Anak akan bisa memilah dan memilih hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Bentengnya ada dalam keluarga. Keluarga yang berantakan, kurang harmonis niscaya akan melahirkan anak-anak yang sayang pada dirinya, orang lain, atau masyarakat sosialnya.

Pendidikan dalam keluarga memegang kendali dalam pembentukan karakter anak. Bangunlah sebuah keluarga dalam koridor kebenaran, kejujuran, dan kesucian hati.

Sumber: Bali Post, Senin, 07 Agustus 2011 | Pendidikan Karakater dalam Keluarga

 

 

 

Mendidik Anak Dalam Konsep Hindu


idapedandagunung.com – Anak merupakan anugerah. Dalam pandangan Agama Hindu, seorang anak merupakan pewaris sekaligus penyelamat bagi orang tua dan para leluhur. Begitu pentingnya peran dan kedudukan seorang anak, maka setiap keluarga tentu mengharapkan lahirnya seorang anak yang suputra, seorang anak yang berwatak dan berkarakter baik, berbakti kepada orang tua dan leluhur serta taat kepada ajaran agama. Watak dan karakter seorang anak sesungguhnya dapat dibentuk melalui pendidikan. Ibarat kertas putih bersih, maka seperti itulah perumpamaan bagi seorang anak yang baru lahir. warna, corak dan karakternya tergantung dari goresan pendidikan yang diberikan dalam hal ini pendidikan oleh orang tua dan lingkungan.

Dalam konsep Hindu, mendidik seorang anak dimulai semenjak dalam kandungan. Hal ini termuat dalam lontar Semara Reka dan Angastya Prana. Untuk dapat mendidik anak agar menjadi seorang yang suputra, maka terlebih dahulu orang tualah yang harus merubah dirinya menjadi orang tua yang baik. Karena itu dianjurkan dalam satra agar seorang ibu mengandung setelah melalui proses upacara perkawinan. Disamping menghindari pengaruh beban psikis jika hamil sebelum melangsungkan upacara perkawinan, setelah melalui upacara perkawinan maka sanghyang kama ratih dalam diri orang tua telah disucikan sebelum bertemu dan menjadi benih.  Hal ini sangatlah penting karena ibarat menanam benih maka benih dan ladang harus dibersihkan dan disucikan terlebih dahulu untuk mendapat hasil yang baik. Mendidik anak semasih di dalam kandungan atau yang diistilahkan prenatal, dimulai dari pembenahan pola fikir dan sikap kedua orang tua. Saat mengandung maka kedua orang tua sesungguhnya sedang beryoga untuk mampu mengekang dan menghindari segala sesuatu yang tidak baik agar tidak berpengaruh pada janin. Wanita hamil diharuskan untuk terhindar dari perasaan yang kuat, misalnya marah, sedih, terlalu bergembira, terlebih lagi sampai bertengkar saat hamil karena perasaan tersebut akan mempengaruhi perkembangan dan karakteristik si bayi. Masa – masa ngidam bagi wanita hamil merupakan sebuah ujian bagi para calon ayah. Banyak para calon ayah yang sering tidak memperhatikan istri hamil yang sedang dalam masa ngidam, dan itu merupakan salah satu pendidikan yang salah. Karena sesungguhnya saat itu si calon bayi sedang menguji keteguhan sang calon ayah untuk membuktikan bahwa dia adalah seorang yang pantas dan bertanggung jawab untuk dijadikan orang tua. Jika sampai ada calon ayah yang mengabaikan istri pada saat hamil, maka akan lahir seorang anak yang berani kepada orang tua, hal ini seperti termuat dalam lontar Semara Reka dan Angastya Prana. Masa kehamilan adalah masa yang penting untuk mendidik si calon bayi. Maka dari itu tidak diperbolehkan memarahi wanita hamil, menipu, atau bahkan mengagetkan wanita hamil. Seperti termuat dalam tatwa cerita tentang Ida Bhatara Dewi Uma yang pada waktu beliau hamil sempat dikagetkan olah gajah sehingga saat melahirkan maka lahirlah putera beliau sang ganesha yang berkepala gajah. Cerita ini sesungguhnya menjelaskan kepada kita bahwa seberapa pun beratnya kondisi, rasa emosi dan perasaan yang tidak baik lainnya, maka semua itu harus dikendalikan karena masa kehamilan adalah masa beryoga bagi kedua orangtua.

Setelah pendidikan dalam kandungan, maka ada pendidikan setelah bayi lahir atau yang diistilahkan pascanatal. Dalam konsep ajaran Hindu, seorang anak yang baru lahir hingga berusia enam tahun tak ubahnya seperti seorang dewa, maka perlakukanlah dia seperti seorang dewa. Tidak diperbolehkan melakukan kekerasan terhadap anak usia tersebut baik itu berupa kekerasan kata – kata maupun fisik. Pendidikan seorang anak dalam fase seperti dewa telah diterapkan oleh para leluhur kita sejak lampau, oleh karena itu jika kita lihat implementasinya di masyarakat, misalnya tidak ada akan ada orang yang marah jika ada anak kecil mempermaikan kepala kakeknya, atau anak kecil yang bermain di atas bantal tempat tidur.

Ketika si anak sudah menginjak usia enam sampai dua belas tahun maka seorang anak tidak ubahnya seperti seorang raja, dia sudah mulai meminta ini dan itu. Sebisa mungkin orang tua harus menuruti, tentunya dalam batas batas yang wajar. Jika anak agak nakal maka harus dinasehati dengan sabar dan dengan kasih sayang seperti menasihati seorang raja, karena dalam masa ini seorang anak sedang mengembangkan kemampuan otaknya sehingga memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi.

Saat anak sudah berusia dua belas tahun hingga tujuh belas tahun maka seorang anak harus mulai diajarkan disiplin. Seorang anak harus mulai diberi tugas dan tanggung jawab. Ajari anak untuk melakukan tugasnya dengan bertanggung jawab. Misalnya diberi tugas menyapu, mengepel, mebanten dan sebagainya. Dalam masa ini orang tua harus bisa menerapkan ajaran Catur Naya Sandhi yaitu sama, beda, dhana dan danda. Kapan orang tua harus berposisi sama dan sejajar dengan anak (sama), kapan harus memposisikan diri berbeda dengan anak yaitu sebagai seorang guru dan pendidik sekaligus pengawas (beda), kapan saatnya orang tua harus memberikan hadiah kepada anak sebagai motivasi bagi si anak (dhana) dan kapan saatnya kita memberikan hukuman kepada anak (danda). Harus dipahami saat – saat yang tepat untuk menjalankan fungsi di atas.

Setelah anak berusia diatas tuju belas tahun, maka orang tua harus bisa memposisikan diri sebagai seorang sahabat bagi anak – anaknya. Saat dewasa seorang anak sudah mulai mengikuti kata hatinya, sehingga orang tua harus mampu memahami kondisi tersebut. Dengan bersikap seperti sahabat bagi si anak, maka akan ada keterbukaan antara orang tua dan anak sehingga orang tua akan lebih mudah mengontrol dan menasehati si anak. Sudah tidak tepat lagi dalam usia tersebut untuk memarahi dan mengekang anak seperti memarahi anak kecil. Hal tersebut justru akan membuat anak semakin jauh dan tertutup dengan orang tua.

Artikel terkait:

  1. Kewajiban Anak Dalam Menurut Hindu