Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Monthly Archives: August 2013

Kerelaan dan Kepasrahan yang Sempurna


Cerita spiritual yang mengharukan ini adalah sebuah kisah nyata dari seorang sahabat di Rumah Dharma-Hindu Indonesia semoga bermanfaat bagi kita semua.

Pulau Bali adalah pulau yang suci dan sakral. Kalau mau serius sedikit saja, dimana-mana ada guru kosmik yang membimbing perjalanan spiritual kita. Ini adalah pengalaman saya dalam melakukan perjalanan tirtayatra dan melukat ke sebuah pura di tampaksiring dan di tegalalang, setiap pulangnya saya selalu membawa berkah spiritual. Kadang berkahnya adalah pembersihan dan kadang berkahnya adalah ajaran. Kali ini saya sembahyang, meditasi dan melukat di pura yang ada di tegalalang dan mendapat berkah ajaran yang penting. Ajaran ini tidak selalu datang melalui pesan-pesan kosmik, tapi akan datang dengan sendirinya melalui berbagai cara.

Dalam perjalanan pulang dari pura tersebut kami singgah di Pasar Mengwi, dimana kakak ipar berjualan disana. Ngobrol ini itu dengan kakak ipar dan sahabatnya seorang pedagang lain, sampai akhirnya mereka bercerita tentang salah seorang pedagang disana yang hidupnya penuh kesengsaraan dan ketidak-adilan.

Awalnya dia berpacaran dengan seorang laki-lai bujangan, sampai kemudian hamil. Dari sinilah ketidakadilan dan kesengsaraan dimulai. Setelah hamil dia baru tahu bahwa dia tertipu, karena ternyata laki-laki tersebut sudah punya istri dan anak. Karena keluarganya malu dan tidak mau menerimanya lagi, dia tidak punya pilihan lain kecuali menikah dengan laki-laki tersebut dan menjadi istri kedua.

Kesengsaraan berikutnya datang tidak lama setelah anaknya lahir. Laki-laki tersebut kehilangan pekerjaan dan menjadi pengangguran. Istri pertama-nya pun tidak bekerja. Mau tidak mau dia yang harus bekerja dan mencari uang dengan berjualan di Pasar Mengwi. Karena dia yang sekarang menanggung semua beban kebutuhan hidup keluarga, semua jenis pekerjaan yang menghasilkan uang dia ambil dengan bekerja keras. Hanya dia sendiri yang menanggung beban kebutuhan hidup keluarga, selain dia juga harus melayani berbagai tugas-tugas rumah tangga bagi suaminya.

Ketika anaknya berumur sekitar 5 tahun, dia sudah menjadi pedagang dan berbagai pekerjaan lainnya yang cukup sukses. Dan semua hasilnya digunakan untuk kebutuhan hidup keluarga [suami, istri pertama dan anak-anak] dan hanya sedikit untuk dirinya sendiri. Ini dijalaninya dengan penuh rasa bakti dan tanpa keluhan.

Kejutan berikutnya kemudian datang dalam hidupnya, suaminya menikah lagi. Ketidakadilan dan kesengsaraan berikutnya dimulai dari sini. Setelah menikah lagi suaminya menindasnya semakin menjadi-jadi. Semua minta dilayani, semua kebutuhan harus ada, kalau tidak suaminya marah dan marah. Tidak hanya itu saja, karena jumlah kamar di rumahnya terbatas, diapun harus sering-sering sekamar dan melihat suaminya [maaf] berhubungan badan dengan istri barunya di depan mata.

Ditambah lagi jumlah keluarga yang bertambah dan beban kebutuhan hidup yang meningkat membuatnya harus bekerja lebih keras lagi. Sehingga dia bekerja, bekerja dan bekerja lebih keras lagi. Hasil kerja kerasnya ternyata berbuah, sampai dalam sehari dia bisa bersih mendapat uang kurang lebih 300 ribu dari berbagai sumber penghasilannya. Dan semua hasilnya tersebut digunakan untuk kebutuhan hidup keluarga [suami, istri pertama, istri ketiga dan anak-anak].

Sesungguhnya mudah mengakhiri semua kesengsaraan dan ketidakdilan ini. Cukup dia minta cerai saja, apalagi penghasilannya sudah sangat mapan. Pedagang-pedagang lain di Pasar Mengwi banyak yang geregetan melihat kelakuan suaminya atau kasihan melihat ketidakadilan yang dialaminya dan mendorongnya untuk bercerai. Apalagi dia tidak terlalu tua, masih menarik dan masih bisa mencari laki-laki lain yang lebih baik. Tapi dengan polos dia berkata bahwa dia lebih kasihan nanti memikirkan bagaimana nasib anak kandung dan anak tirinya kalau dia bercerai, dibandingkan memikirkan dirinya sendiri.

Ada juga petugas pasar yang geregetan dan menyarankannya “menyewa” laki-laki lain untuk membalas kelakuan suaminya. Tapi dengan tulus dia berkata bahwa dia tidak ingin membalas agar tidak membuat karma buruk dan hanya berharap bahwa kelak anak kandung dan anak tirinya tidak mengalami nasib yang sama dengan dirinya. Karena dia sangat menyayangi baik anak kandung maupun semua anak-anak tirinya.

Bathin saya bergetar mendengar kisah ini. Tambah bergetar lagi ketika bertemu dengan pedagang tersebut. Pancaran dari wajahnya adalah pancaran wajah orang yang tingkat kepasrahan dan kerelaannya sempurna, serta penuh bhakti dan welas asih. Saya terharu dan melakukan namaskara memberi hormat dalam bathin, karena saya telah bertemu dengan orang suci.

Saya jadi ingat kisah seorang guru di India. Ketika masih muda dan masih belajar, suatu ketika pergi ke pasar bersama gurunya. Di pasar tersebut gurunya namaskara memberi hormat kepada seorang pengemis kotor dan hina. Tentu saja dia terheran-heran, kenapa gurunya yang dihormati banyak orang malah namaskara memberi hormat kepada seorang pengemis kotor dan hina. Ketika sampai di ashram gurunya menjelaskan bahwa pengemis itu orang suci. Dengan mata bathin beliau jelas sekali vibrasinya, bahwa pengemis itu memiliki tingkat kepasrahan dan kerelaannya sempurna, serta penuh bhakti dan welas asih. [Kemudian di lain waktu terbukti bahwa pengemis itu menjadi pemberi makan anak-anak terlantar yang ada di pasar].

Pedagang dan pengemis itu tidak pernah mengenakan baju orang suci. Tidak mengenakan baju putih-putih, baju pendeta atau baju seorang yogi. Juga tidak pernah belajar dharma secara mendalam. Tapi jauh di kedalaman bathin mereka, mereka sesungguhnya adalah sadhaka di jalan rahasia, jalan yoga yang tertinggi. Tanpa konsep agama [yang mungkin malah bisa menjadi racun karena membuat seseorang menjadi fanatik], tapi punya dua bekal perjalanan yang penting, yaitu “ke dalam” adalah tingkat kepasrahan dan kerelaan yang sempurna [tetua di Jawa menyebutnya nrimo ing pandum ] dan “keluar” yang muncul hanya bhakti dan welas asih.

Saya membuka kembali sebuah teks kuno di India yang menuliskan, bahwa seseorang bisa mengalami jivan-mukti bahkan ketika mereka sendiri tidak tahu. Praktisi yoga tingkat tinggi pasti tahu bahwa ketika bathin masih sesempit diri ini [ahamkara, ke-aku-an, ego], kita mudah marah, benci, tersinggung, sombong, resah, tidak puas, dsb-nya. Semakin besar egonya maka akan semakin menyakitkan kesengsaraan dan ketidakadilan. Inilah pe-er besar seorang yogi, meruntuhkan ego dan semua bentuk kegelapan bathin.

Bagi orang-orang daiwa sampad [manusia berbathin dewa], kesengsaraan dan ketidakadilan tidak menjadi kutukan kehidupan, tapi menjadi berkah spiritual yang tertinggi yang mengantar mereka menuju kesadaran dan kemahasucian. Pedagang di Pasar Mengwi dan pengemis di India itu tidak pernah belajar yoga. Tapi mereka dapat melenyapkan ego dan kegelapan bathin-nya cukup dengan dua sadhana mendalam, “ke dalam” tingkat kepasrahan dan kerelaan yang sempurna dan “keluar” yang muncul hanya bhakti dan welas asih. Sebagai hasilnya adalah bathin yang seluas ruang.

Mudah bersikap sabar, sejuk dan penuh welas asih disaat kita dihormati, dipercaya dan dihargai oleh orang lain, tapi mereka yang bisa tetap sabar, sejuk dan penuh welas asih disaat disakiti, ditindas dan dibuat sengsara oleh orang, itulah orang yang bathinnya terang dan seluas ruang.

Leluhur kita pernah mewariskan pupuh sinom seperti berikut :

Jenek ring meru sarira
gunakan tubuh ini sebagai meru atau tempat suci

Kastiti Hyang Maha suci
yang disadari oleh orang yang bathinnya sudah suci [bersih]

Mapuspa padma hredaya
bunganya adalah bunga padma [simbolik advaitacitta, bathin yang bebas dari dualitas]

Magenta swaraning sepi
gentanya adalah keheningan bathin

Maganda ya tisnis budi
gandanya adalah kesabaran dan welas asih tanpa syarat

Malepana sila rahayu
lepananya adalah tingkah laku yang indah [tidak membunuh, menyakiti, korupsi, mencuri, menipu, narkoba, mabuk-mabukan, berjudi, dsb-nya]

Mawija menget prakasa
bijanya adalah bathin yang tegar-kokoh [sanggup menahan segala macam penderitaan dengan bathin damai]

Kukusing sad ripu dagdidupan ipun
dengan demikian seluruh sad ripu [enam kegelapan bathin] lenyap

Madipa hidepe galang
bathinnya laksana cahaya terang benderang

Maknanya adalah meru atau tempat suci tidak hanya ada “diluar”, tapi “didalam” juga ada tempat suci. Kita dapat membadankan meru dalam diri. [Pertama] dengan mengurangi penderitaan para mahluk. Artinya selalu penuh welas asih dan penuh kebaikan dengan tingkat kerelaan yang sempurna. Itu semua mengurangi penderitaan para mahluk. Termasuk tidak membalas caci-maki dan hinaan orang lain, tidak balas menyakiti orang yang jahat, dsb-nya. Malah sebaliknya kita memberi lebih, kita membalasnya dengan welas asih dan kebaikan. [Kedua] Semua mahluk memperebutkan kebahagiaan dan lari dari penderitaan, sehingga alam semesta ini tidak seimbang. Kitalah yang menjaga keseimbangan alam semesta dengan mengambil yang jelek-jelek [penghinaan, kesengsaraan, kesusahan, dsb-nya]. Badan, pikiran dan perasaan kita akan menjadi meru [tempat suci] kalau selalu kita jadikan yajna [persembahan] bagi kebahagiaan mahluk lain.

Bagi sebagian orang yang tingkat kesucian bathinnya bagus akan mengerti, inilah bhakti yoga yang tertinggi dan sempurna. Tidak hanya di pura ada mebakti, tapi kesabaran yang tidak terbatas juga adalah mebakti. Tidak hanya di pura ada maturan, tapi kesejukan, kedamaian dan ketenangan bathin juga adalah maturan. Tidak saja di pura ada upakara, tapi welas asih dan kebaikan tanpa syarat juga adalah upakara. Tidak hanya di pura ada meru, tapi tubuhnya sendiri sudah menjadi meru [tempat suci], karena seluruh kehidupannya sudah menjadi bhakti yoga. Inilah jalan “pulang” menuju kesadaran dan kemahasucian yang tertinggi.

Orang suci belum tentu berbaju putih-putih, berbaju yogi, pertapa, pandita, pemangku, guru spiritual, dsb-nya. Orang suci belum tentu orang yang sudah membaca banyak kitab suci. Orang suci adalah orang yang penuh welas asih kepada semua, kebaikan-nya tanpa syarat dan kesabarannya tidak terbatas, walau apapun yang terjadi. Termasuk disaat dirinya mengalami kejadian buruk seperti dihina, dicaci-maki, disakiti, tidak punya uang, kelaparan, sedang sakit, dsb-nya.

Orang suci yang sesungguhnya adalah orang yang sanggup mengolah apa saja menjadi dharma. Leluhur kita menyebutnya sarwa dharma [semuanya dharma]. Dapat mengolah adharma menjadi dharma. Dapat mengolah segala bentuk godaan menjadi jalan pembebasan. Dapat mengolah segala bentuk kesengsaraan dan ketidakadilan menjadi berkah spiritual yang tertinggi yang mengantar mereka menuju kesadaran dan kemahasucian.

Badan, pikiran dan perasaan-nya menyatu menjadi kesucian yang sempurna, karena selalu dijadikan yajna [persembahan] bagi kebahagiaan mahluk lain.

Menakar Kebenaran Menurut Hindu


Mendengar kata “kebenaran” akan terlintas dalam pikiran adalah sesuatu yang baik dan disetujui oleh banyak orang, dibela oleh banyak orang dan banyak yang setuju jika yang benar tersebut dijadikan ukuran bersama demi ketentraman hidup di dunia.

Menakar Kebenaran

Ilustrasi Gambar: Alat Takar

Dalam prakteknya, kebenaran tidak dapat diukur dengan takaran yang sama antara satu tempat dengan tempat lainnya, antara satu kelompok dengan kelompok lainnya, antara satu Negara dengan Negara lainnya. Perbedaan ukuran yang dipakai dalam menakar kebenaran disebabkan oleh pandangan hidup kolektif yang dianggap baik dan benar dalam suatu masyarakat tertentu, tidak sepenuhnya dapat dianggap baik dan benar pada masyarakat lainnya.

Tulisan ini secara khusus mempertimbangkan takaran kebenaran hakiki menurut ajaran Hindu dan hendaknya dibedakan dengan pertimbangan kebenaran pada sebuah pengadilan oleh suatu institusi negara. Pertimbangan kebenaran pengadilan sebuah institusi negara sering ikut serta pertimbangan berdasarkan kemanusiaan demi keadilan di bumi ini. Sedangkan takaran kebenaran menurut ajaran agama Hindu sesuai hukum Rta akan mempertimbangkan dunia dan alam sunya (Sekala-Niskala), sebab agama Hindu memandang kehidupan terjadi pada dua tempat yakni kehidupan yang tidak kekal terjadi di dunia ini, dan kehidupan yang tidak kekal terjadi di dunia ini, dan kehidupan kekal ada di alam sunya yang disebut Moksa atau mukti yaitu bersatunya Atman dengan Brahman.

Prihen temen dhrama dumaranang sarat
Saraga sang sadhu sireka tutana
Tanartha tan kama pidonia tan yasa
Ya sakti sang sajjana dharma raksaka.

Artinya:
Uttamakanlah kebenaran dengan sungguh-sungguh
Kepribadian orang budiman yang patut ditiru
Bukan keinginan, bukan balas jasa yang menjadi tujuan
Kekuatan orang yang berbuat kebaikan adalah kebenaran dipegang teguh
(Kakawin Ramayana, Sargha 24.89).

Seperti layaknya suatu pemerintahan sebuah Negara yang berdaulat memiliki hukum yang dipakai sebagai rambu-rambu dalam melaksanakan roda pemerintahan. Umat Hindu memiliki hukum agama Hindu yang lebih sering disebut dengan hukum Hindu yang disebut “Rta” yang bersumber pada Tuhan Yang Maha Esa.

Sumber Kebenaran
Secara hirarki hukum Hindu ditegaskan dalam kitab Manawa Dharma Sastra II.6 sebagai berikut:

Idhanim dharma pramananyaha
Wedo khilo dharma mulam
Smrticile ca tadwaidam
Acarascaiwa sadhunam
Atmanastutir ewaca

Artinya:
Seluruh pustaka suci weda adalah sumber pertama dari dharma, kemudian adat istiadat, lalu tingkah laku yang terpuji dari orang budiman yang mendalami pustaka suci weda, juga tata cara peri-kehidupan orang suci, dan akhirnya kepuasan diri pribadi.

Ajaran suci Weda adalah suatu kebenaran yang didengar langsung oleh para Maha Rsi yang berasal dari Hyang Widi, oleh karenanya disebut Sruti (Sru = mendengar), Weda menjadi sumber pertama segala kebenaran, kemudian Smrti (Dharmasastra) merupakan sumber hukum Hindu sebagai rambu-rambu dalam mengarungi kehidupan. Selanjutnya adalah Acara (adat-istiadat), tingkah laku terpuji dari orang suci juga merupakan sumber kebenaran yang patut dicontoh, terakhir adalah Atmanastuti (rasa puas diri sendiri) tanpa menimbulkan kerugian orang lain.

Prilaku suci juga merupakan sumber kebenaran, sebab prilaku bersumber pada tiga hal yakni pikiran, perkataan dan perbuatan, yang sering disebut dengan istilah Tri Kaya Parisudha. Idealnya apa yang dipikirkan itulah yang harus dikatakan, dan apa yang dikatakan itu pula yang dilakukan. Namun dalam prakteknya bagi mereka yang mengingkari kebenaran sering mengatakan yang tidak sebenarnya, apalagi prilakunya tidak sesuai dengan apa yang dikatakannya.

Hidup ini sebetulnya merupakan kebiasaan atau dapat dibiasakan. Perhatikanlah ini; Biasa makan nasi dengan daging, biasa makanan vegetarian, biasa makan roti, biasa minum kopi, semuanya adalah prilaku yang dibiasakan. Demikian juga prilaku hidup suci, setiap saat dibiasakan berpikir benar, jujur, bertindak sopan, bicara santun, berpakaian rapi, semua dapat dibiasakan dengan keyakinan bahwa “SATYAM EVA JAYATE” (Kejujuran pasti menang) karena hidup adalah “perang” yang harus dimenangkan. Perang melawan kebodohan, perang melawan kemiskinan, perang melawan ketidak-benaran, perang melawan kebiasaan buruk dan memenangkan perang terhadap hal tersebut harus menjadi kebiasaan yang benar.

Pikiran Sehat
“Benar belum tentu baik dan baik belum tentu benar”. Maksudnya adalah benar belum tentu baik bagi semua orang. Ada kalanya perbuatan benar menjadi buruk dimata orang yang mengingkari kebenaran. Bagi seorang penjahat yang sedang merampok orang lain dijalanan tanpa pikir panjang langsung saja menodongkan senjata api kepada sasarannya dan yang ada di kepalanya adalah hanya hasil jarahannya, bukan sama sekali takut akan hukum karma dan tidak pernah mau tahu perbuatan benar atau salah.

Orang budiman akan memperhatikan situasi dan kondisi dimana dia berada. Pertimbangan pertama dan utama dalam mengambil keputusan bagi orang budiman adalah; Seperti halnya pelayanan Instalasi Gawat Darurat (IRD) sebuah Rumah Sakit. Memberi pertolongan demi menyelamatkan nyawa seseorang harus diutamakan, prihal asal-usul orang tersebut, entah dia seorang penjahat maupun orang baik diabaikan terlebih dahulu, yang terpenting adalah melakukan kewajiban pelayanan medis demi kemanusiaan. Setelah semua prosedur medis dilaksanakan, kemudian standar administrasi harus dilakukan agar asal usul si pasien dapat diketahui. Jika pasien berstatus orang jahat, maka standard keamanan harus dilaksanakan, ada standar prosedur yang harus dipahami terlebih dahulu.

Memberi pertolongan kepada seekor macan yang terkena jerat pemburu di hutan hendaklah hati-hati, setelah dilepas belum tentu akan lari menjauh atau sebaliknya akan menyerang manusia yang menolongnya.

Seekor binatang apapun namanya, Sapi, Ular, Banteng, Harimau, Gajah, Singa, Buaya dan yang lainnya, mudah dikenali akan sifat dan kelakuannya, namun siapa tahu mana manusia yang jahat dan mana yang sungguh budiman?. Dalam melakukan penyamaran sifatnya, manusia hampir sempurna melakukannya. Orang jahat berdasi sangat banyak di negeri ini. Banyak yang berlaku seperti “Pedanda Baka” si Cangak yang berpura-pura alim demi memuluskan sifat jahatnya. Berpakaian putih bersih, tutur katanya halus lembut, bicaranya rasional, segala cara dilakukan demi tipu muslihat yang tersembunyi. Untunglah ada si Yuyu (ketam) yang bertindak sebagai hakim yang memiliki kecerdasan intelektual, yang tahu akan segala tipu daya si Cangak dan setelah mempertimbangkan si Yuyu memberi hukuman mati kepada Cangak dengan cara memenggal kepalanya. Keputusan si “hakim Yuyu tanpa pamrih sama sekali, Keputusan hukuman mati buat si Cangak adalah hanya demi keadilan.

Lain lagi ada manusia yang berprilaku seperti monyet yang sok sebagai pahlawan kebenaran yaitu “monyet hakim penegak kebenaran”. Setiap orang yang datang berperkara meminta keadilan, keduanya menjadi korban. Caranya ? Si “hakim monyet” menganggap keduanya adalah kue yang harus ditimbang agar menjadi sama beratnya demi keadilan. Kue yang lebih besar dan lebih berat akan dikurangi dengan cara digigit sedikit demi sedikit, demikian seterusnya sampai kedua kue tinggal hanya sedikit dan timbangannya sudah rata demi keadilan. Sudah pasti si” Hakim monyet” ini perutnya menjadi kenyang dan yang berperkara hanya mendapat sisanya bahkan ampasnya saja. Pepatah mengatakan “Menang jadi arang, kalah jadi abu” Bila demikian halnya, kebenaran macam apa yang menjadi pertimbangan si “hakim monyet”? Oleh karenanya perlu hati-hati terhadap “hakim Monyet” bila akan mencari keadilan dan kebenaran.

Lain halnya dengan si Empas (kura-kura) yang dibawa terbang oleh dua ekor angsa dengan cara mencengkeram sebatang kayu kecil dan ditengah-tengahnya si Empas bergantung menggigit batang kayu tersebut. Sebelum berangkat si Angsa telah menasehati kura-kura dengan tutur yang bijak, agar dalam perjalanan empas tidak menghiraukan ejekan siapapun. Namun lacur dalam perjalanan terbang bersama Angsa, Empas diejek seekor Anjing yang mengatakan si Angsa membawa kotoran sapi kering bukan Empas, maka Empas yang tidak tahan ejekan berbicara dan mulutnya terbuka dan lepas dari gigitan batang kayu yang membawanya, ia jatuh dan mati. Yang dapat dipetik dari ceritra ini adalah tanpa dapat menahan diri mencari waktu yang tepat untuk bicara sudah pasti celaka didapat. Sebelum tahu jelas persoalan yang harus dibicarakan jangan cepat menanggapi agar tidak terjadi mis-komunikasi.

Satu-satunya alat menimbang sebuah kebenaran adalah mempergunakan timbangan yang bermerek (trade mark) “Pikiran Sehat” yakni pikiran yang tidak terkontaminasi berlebihan oleh nafsu rajah dan tamah. Ukuran berat timbangannya dalam menakar kebenaran bukanlah Gram (gr) atau kilogram (Kg), seperti menimbang suatu barang melainkan menimbang dengan menggunakan ukuran Tri Pramana sebagai berikut:

Pertama;
1. Saksi (ada Saksi yang melihat)
2. Bukti, (ada atau tidak bukti kejadian)
3. Ilikita, (Tertulis atau tidak)

Kedua:
1. Sastratah (mempertimbangkan berdasarkan sumber tertulis/sastra)
2. Gurutah (mempertimbangkan menurut Ajaran Guni)
3. Swatah (mempertimbangkan pengalaman sendiri)

Ketiga:
1. Agama (mempertimbangkan menurut ajaran agama)
2. Anumana (mempertimbangkan menurut pikiran sehat)
3. Pratiaksa (mempertimbangkan apa yang dilihat secara langsung)

Keempat:
1. Wartamana, (Mempertimbangkan sesuai pengalaman dahulu)
2. Atita (mempertimbangkan keadaan sekarang)
3. Nagata (mempertimbangkan keadaan yang akan datang)

Kelima:
1. Rasa (mempertimbangkan dengan perasaan)
2. Utsaha (mempertimbangkan atas prilakunya.
3. Lokika (mempertimbangkan dengan pikiran logis)

Keenam:
1. Sabda (mempertimbangkan dengan memberi saran)
2. Bayu (mempertimbangkan dengan keyakinan yang kuat)
3. Idep (mempertimbangkan dengan pikiran sehat)

Orang pintar dengan berbagai gelar kesaijanaannya kadang lupa alat timbangan Pikiran Sehat ini Kepintarannya disalahgunakan. Keputusannya telah menyengsarakan banyak orang demi menuruti nafsu serakah yang memandang benar bagi sendiri, sangat Egois, maka alat timbangannya perlu ditera ulang agar menjadi standar dengan cara pensucian/menyucikannya.

Kitab Manawa Dharma Sastra V. 109. menyebutkan:

Adbhirgatrani sudhyanti,
Manah Satyena sudhyati,
Widhyatapobyam bhutatma,
Bhudhir jnanena sudhyati.

Artinya:
Tubuh disucikan dengan air,
Pikiran disucikan dengan kebenaran,
Jika manusia dengan pelajaran suci dan tapa brata,
Kecerdasan disucikan dengan pengetahuan yang benar.

Air memang alat membersihkan badan, tetapi membersihkan badan tidak mempergunakan sembarang air. Badan akan menjadi bersih apabila mandi dengan air bersih yang suci. Jika berpegang teguh pada kebenaran maka kebenaran akan menjaganya sehingga pikiran menjadi sehat. Melaksankan Tapa, Brata, Yoga, Semadi, adalah cara menyucikan Jiwa / Roh agar menjadi sehat dan agar menjadi cerdas tentu harus banyak belajar, banyak membaca, banyak mendengar pengetahuan yang benar.

Tegasnya menyucikan diri tidak ubahnya seperti orang menyapu, atau mengepel lantai rumah. Alat yang dipakai menyapu atau mengepel harus bersih. Jika alatnya kotor maka hasil pekerjaannya akan selalu kotor.

Pikiran Sakit
Albert Enstein pernah mengatakan “Kebenaran tidak dapat dijaga oleh tentara, melainkan hanya harus dijaga dengan memahami persoalan”. Dengan memahami persoalan yang dihadapi, maka keputusan yang benar tanpa cacat dapat diambil.

Sakit berarti tidak dalam keadaan normal. Jika pikiran sakit maka pikiran sedang tidak normal. Setiap terjadi gangguan pada salah satu tubuh, yang paling merasakan adalah pikiran. Entah dikatakan sakit, ngilu, nyeri mual dan semua keadaan tubuh dirasakan oleh pikiran.
Ada kalanya manusia dikuasai oleh sifat rajah dan tamah yang berlebihan karena tidak pernah melaksanakan brata, yoga dan tapa. Yang diinginkan dan dilakukan adalah hanya meminta kepada Tuhan agar selalu diberikan berkah oleh Hyang Widi. Karena terlalu berat sifat rajah dan tamah yang dibawanya maka timbangannya berada dibawah. Menurut timbangan hukum Rta (Tuhan) maka beban yang lebih berat akan berada dibawah. Kitab Kakawin Arjuna Wiwaha pupuh 12 Sloka 5 menyebutkan:

Ana mara jadma tan pamihutang brata, yoga tapa
Angetula minta wirya sukaning widi sahasika
Binalikaken purihnika lewih tinemunia lara
Sinakitaning rajah tamah inandehaning prihati

Artinya:
Ada itu orang yang tidak pernah menyumbang, tidak pernah melaksanakan brata, yoga dan tapa,
Hanya memohon kebahagiaan, keinginan Tuhan diperkosa,
Terbalik pahala yang didapat, sangat duka lara,
Disakiti oleh sifat rajah dan tamah, ditindih sakit hati.

Karena ditindih oleh rasa sakit hati yang mendalam maka dia kehilangan pikiran sehatnya, segala tindaknya serba salah, rasa benci semakin jadi dan timbul krodha (kemarahan) yang semakin menambah beban yang berat dan semakin dibawah (hina) tempatnya. Sebaliknya bagi yang memiliki pikiran ringan berada diatas sambil bernyanyi kegirangan dikasihi Tuhan.
Pikiran sakit dapat disebabkan oleh tiga hal yaitu:

1. Adyatmika duka adalah sakit karena pikiran sendiri, karena keterikatan pikiran akan sesuatu.
2. Adhidaiwika duka adalah pikiran sakit karena gaib misalnya kemasukan roh lain.
3. Adhibautika duka adalah pikiran sakit karena faktor luar, misalnya karena jatuh, kena senjata tajam dan sebagainya.

Kitab Wrhaspati Tattwa sloka 16 menyebutkan perihal pikiran sebagai sumber arah kehidupan berikut.

Moksah swargasca narakam
Tiryabhawasca manusam
Cittapapasya jayate
Cittasya hyanubhavatah

Artinya:
Pikiran yang menyebabkan sang pribadi mendapat sorga maupun neraka, pikiran menyebabkan menjadi binatang dan manusia, pikiran menyebabkan mendapat kemenangan, pikiran yang menyebabkan mendapatkan kelepasan.

Pikiran merupakan sumber perbuatan. Jika dia mengerjakan hal yang persis sama dan menginginkan hasil yang berbeda ini adalah pikiran sakit.

Dari: Berbagai Sumber