Setiap sanggah, Pemerajan, Pura dan Kahyangan yang telah selesai dibangun akan dibuatkan suatu upacara pengurip-urip dan kemudian dilanjutkan dengan upacara Melaspas. Ketentuan ini dapat kita jumpai dalam lontar Dewa Tattwa, yang bunyinya sebagai berikut:
“Nihan tingkahing angwangun Kahyangan Dewa, ring wus puput, salwiring pakadanya wenang maplaspas alit, sesayut pengambyan, pras penyeneng, suci 2 soroh, ring banten genahnya, mwang ring sanggar ngawilang kwehning sanggar, iwak itik ginuling, aywa sasigar, teka wenang Brahmana Pandita anglukat wangunan ika”.
Terjemahana bebas: “Demikianlah tata cara membangun tempat memuja Hyang Widhi Wasa, pada saat selesai dibangun, segala peralatan/bahan (Bangunan) wajib dibuatkan upacara melaspas kecil, dengan sesayut pengambyan, pras penyeneng, suci 2 soroh dibebanten tempatnya, juga disanggar (tempat memuja) menurut banyaknya tempat(linggih)memuga, daging itik yang diguling, jangan dipecah, dan seyogyanya Brahmana Panditalah yang patut membersihkan/mensucikan bangunan itu.
Upacara piodalan bersumber pada tiga cara/jalan diantara 4 jalan/cara yang dikenal, yaitu:
- Bhakti Marga
- Jnana Marga
- Karma Marga
Piodalan dapat dilaksanakan dengan tingkat nista, madya atau utama dengan tata urutan sebagai berikut:
- Nurunang(utpati)
- Nyejer(stiti)
- Nyimpen(pralina)
Mengingat hari Piodalan adalah hari ulang tahun bagi setiap Sanggah, Pemerajan, Pura dan Kahyangan maka hari Piodalan ini seharusnya tidak boleh diubah/diganti dengan hari yang lain lagi.
Apabila dalam suatu lingkungan sanggah yang jumlah penyungsungnya banyak, terjadi halangan batal piodalan karena mengalami musibah atau duka kematian yang berturut-turut dan katakanlah persis jatuh pada hari menjelang Piodalan, maka perlu ditinjau bukanlah hari Piodalannya, melainkan jangka waktu cuntakanya.
Semoga bermanfaat, Silahkan share:
Like this:
Like Loading...
Related
Recent Comments