Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Category Archives: Info

Rahajeng Ngembak Geni


Sehari setelah Hari Raya Nyepi tiba saat Umat Hindu melaksanakan Ngembak Geni. Hari dimana Umat Hindu menutup catur brata penyepian dengan sembahyang bersama di pura-pura setempat. Persembahyangan diakhiri dengan Dharma Santi saling bermaaf-maafan kepada sanak keluarga dan handaitaulan. Dikesempatan ini paduarsana.com mengucapkan selamat bagi yang telah berhasil menjalankan catur brapa penyepian, bagi yang belum bisa menjalankan catur brata penyepian karena harus bekerja atau karena terbaring sakit jangan bersedih hati. Astungkara selalu ada jalan untuk menuju kebaikan Hyang Widhi Wasa. Mari kita hilangkan kebencian dengan yang lain, menumbuhkan rasa cinta kasih kepada sesama.

Di dalam kitab Siwa Purana, Siwa bersabda kepada Prajapati Daksa dimana Prajapati Daksa telah sadar akan kesalahannya. Siwa bersabda :” Aku tidak pernah memperhitungkan dosa yang dibuat seseorang. Aku hanya memberikan hukuman pada mereka yang telah larut dalam ilusiku. Jika seseorang membenci orang lain, maka kebencian itulah yang menelannya. Tidak ada tindakan yang dibuat untuk menyakiti orang lain yang melibatkan Aku kapanpun juga. Jika seseorang membenci orang lain maka kebencian itu sendiri yang akan menelannya. Meskipun Aku berdiri sendiri dan tidak bergantung pada siapapun, namun Aku senantiasa luluh oleh pengabdian penyembahKu. Ada empat jenis orang yang menyembahKu. O Prajapati Daksa, keempat itu lebih mulia satu dengan yang lainnya. Mereka adalah orang yang dalam kesedihan, yang sekedar ingin tahu, mereka yang untung-untungan dan mereka yang bijak. Ketiga jenis yang pertama adalah penyembah yang biasa, sedangkan yang keempat adalah yang teristimewa. Tentu saja yang bijaksana adalah yang paling Aku sayangi. Tidak ada yang Aku sayangi melebihi mereka yang bijak. Dia adalah bagian dari diriKu. Ini adalah kebenaran dan Aku mengatakan kebenaran padamu”

Semoga kita semua mendapat kebaikan untuk melakukan kebaikan yang lain.

Om santih, santih, santih Om

Perjalanan Roh Salah Pati


Beberapa kasus kematian akibat kecelakaan, tindakan kekerasan dll, sering membuat menyesalkan kejadian itu sekalipun kita bukanlah keluarga korban. Apa yang kita rasakan tentu hal yang wajar dan manusiawi mengingat kematian tersebut “tidak wajar”. Dalam Nibanda disebutkan hendaknya kematian manusia seperti kematian Panca Pandawa, yakni diawali oleh kematian Nakula-Sadewa (kaki), Bima (tenaga), Arjuna (suhu badan dan sinar mata), dan terakhir Dharmawangsa (Roh meninggalkan tubuh). Namun didalam kematian yang disengaja atau tak disengaja, urut-urutan kematian itu tidak terjadi, artinya langsung mati, misalnya mati karena kecelakaan,Itulah yang dinamakan Mati Salah Pati Sedangkan Ulah pati artinya mati karena bunuh diri.

Image by: Dream, Ilustrasi

Istilah “atma kesasar” sudah lumrah bagi masyarakat Bali. Di setiap wilayah desa di Bali pasti saja ada cerita berkaitan dengan atma kesasar. Hal ini sangatlah wajar, mengingat Hindu Bali dengan filosofi atma tatwa sangatlah rinci dan mendalam mengurai mengenai atma. Namun dalam konteks atma kesasar, sejatinya yang kesasar bukanlah atma itu sendiri, namun “roh”. Sebab “atma” itu sendiri adalah percikan kecil dari “paramatman” yang memiliki sifat sama dengan paramatman. Artinya atma itu sendiri adalah murni dan bebas dari pengaruh suka dan duka. Sedangkan roh adalah atman yang diselubungi cita, budi, manah, ahamkara yakni sudah diliputi keinginan, kemauan, keakuan (ego), kecerdasan, akal, serta pikiran-pikiran baik maupun buruk.

Hal inilah yang menyebabkan atma yang tadinya murni menjadi terkungkung dalam emosi, keinginan, cita-cita serta perasaan-perasaan. Dalam kondisi begini atma sudah tidak murni lagi, bahkan sudah terkungkung dalam awidya atau kegelapan. Inilah yang kemudian mempengaruhi sifat manusia sebagai badan yang dihidupkan oleh atma yang sudah terkungkung yang disebut dengan roh. Dalam liputan awidya (kegelapan) tersebut, roh memiliki keinginan tertentu untuk memuaskan cita atau hasrat hatinya yang terwujud dalam berbagai pikiran, perkataan dan perbuatan. Keinginan yang sangat tinggi tersebut sampai-sampai terbawa mati, sehingga roh manusia yang meninggal masih membawa perasaan-perasaan, masih membawa keinginan, cita-cita, bahkan dendam sesuai dengan pengalaman hidupnya. Hal inilah yang menyebabkan roh manusia masih bergerak aktif ketika tubuhnya sudah mati.

Sehingga banyak cerita mengenai roh gentayangan dimuka bumi ini untuk memenuhi hasrat keinginannya yang masih tersimpan dalam memori badan astral (badan halus) nya. Bahkan banyak roh yang masih menyimpan dendam untuk membalas pada setiap kesempatan. Sehingga seringkali kita mendengar cerita tentang seseorang yang dihantui oleh bayangan-bayangan dari seseorang yang sudah meninggal. Selain itu ada pula roh-roh bergentayangan untuk menjalankan hasrat cintanya kepada seseorang yang semasih hidup sangat dicintai, atau ketika masih hidup cintanya tak kesampaian dan terbawa sampai orang itu meninggal.

Lain lagi cerita bahwa roh yang menangis tersedu-sedu di suatu tempat yang kerapkali dilihat oleh orang yang memiliki kemampuan untuk itu. Bisa jadi roh tersebut terpelanting secara tiba-tiba tanpa disadari oleh roh itu sehingga ia mendapatkan dirinya berada pada suatu tempat yang tak pernah dikenalnya, sehingga ia bingung, kesepian lalu menangis sendirian. Nah untuk roh seperti ini, maka manusia Bali dengan keyakinan Hindunya menjemput roh tersebut melalui jalan “Ngulapin”.

Ada lagi roh manusia yang selalu menjaga badannya yang telah dikubur, karena sang roh sangat sayang dan menyukai badan kasarnya itu bagaikan ketika masih hidup. Roh-roh seperti ini kerapkali tampak di kuburan sebagai hantu kuburan yang selalu berada dekat dengan badannya yang sudah dikubur. Seolah-olah roh tersebut terbelenggu oleh kecintaaanya kepada badan kasarnya (stula sarira) tersebut. Untuk hal inilah manusia Bali menyiasati dengan melakukan “Ngaben” dengan maksud untuk mempercepat proses pengembalian badan kasar menuju ke panca maha bhuta agar roh tak terbelenggu dengan badan kasarnya, dan sang roh itu diberikan penyucian.

Selanjutnya roh yang masih terbungkus dalam badan astral (suksma sarira) tersebut kemudian dilakukan upacara “memukur”, sehingga sang roh dapat menuju ke alam sunia untuk menjalani proses karma selanjutnya sesuai dengan suba asuba karmanya. Terkait dengan “atma kesasar” yakni ibaratkan sebagai roh yang salah tempat, roh yang terobsesi dengan keinginanya sehingga bergentayangan ke sana ke mari untuk memenuhi hasratnya seperti ketika masih hidup di dunia. Sebab roh yang demikian tak menyadari bahwa alam mereka sudah berbeda, sehingga tak bisa berbuat seperti berada di alam manusia dengan badan kasarnya.

Seringkali yang begini ini tampak seperti hantu bergentayangan yang sering menghantui manusia.
Dalam kehidupan manusia Bali, maka roh manusia yang telah meninggal tersebut dimohonkan oleh orang yang memiliki kewaskitaan dengan sarana “Tirta Pengentas”. Entas artinya jalan. Tirtha pengentas adalah tirtha atau air suci yang memiliki kekuatan untuk menenangkan roh, untuk menyadarkan roh bahwa ia telah berada pada dunia yang lain, serta menunjukkan jalan kepada sang roh untuk menuju jalan yang mesti dituju sesuai dengan suba asuba karmanya di alam sunia. Sehingga dengan demikian roh orang yang meninggal di Bali tak akan kesasar, salah jalan, salah tempat serta tak diliputi oleh keinginan duniawi, sehingga tak bergentayangan lagi.

Nah apabila hal ini tak dilakukan, maka roh-roh orang yang meninggal akan mengalami kebingungan, tak ada yang menuntun di alam sunia, roh-roh akan menjalankan keingian duniawinya bergentayangan ke sana kemari menghantui kehidupan manusia di dunia, sehingga dalam agama Hindu Bali disebut dengan Bhuta Cuil atau hantu kuburan, roh gentayangan, atma kesasar, dll. Oleh karena itu, tirtha pengentas sangat penting dalam proses penguburan dan pengabnenan menurut keyakinan Hindu Bali.

Jadi kesimpulannya bahwa untuk mati salah pati dan ngulah pati dapat diupacarai sebagai mati biasa dengan syarat ditambah beberapa upacara panebusan yaitu di perempatan jalan Desa, ditempat kejadian, dan di cangkem setra, lalu ketiga pejati penebusan disatukan dengan sawa baik bila mapendem maupun bila segera di-aben.

Upacara meseh lawang merupakan loka dresta yang dipandang perlu untuk melengkapi upacara panebusan itu namun berbeda-beda pelaksanaannya; ada yang melaksanakan pada saat 42 hari setelah dikubur, dan ada yang melaksanakan pada saat pengabenan.

Kasus yang sering terjadi biasanya kematian salah pati tidak dilengkapi dengan banten penukar dan hanya diberi banten pengulap, biasanya keluarga atau yang bersangkutan akan menjadi orang yang sering bingung ataupun pemarah, ini karena sang atma masih belum mendapat tempat yang layak sembari mendapat proses hukuman akibat perbuatan-perbuatannya dimasa hidup.

**dari berbagai sumber.

Memilih Pasangan Hidup


Memilih pasangan hidup itu tidak mudah. Pacaran boleh lama tapi pada saat waktunya menikah disanalah kita dituntut untuk berpikir dan bertanya pada diri sendiri benarkah kekasih hati adalah pasangan hidup kita? Memilih pasangan hidup tidak sekedar memilih pasangan tinggal seatap dan memiliki keturunan namun ada cinta dan komitmen bersama untuk membentuk keluarga yang bahagia lahir dan bathin.

varayet kulajam prajno
nirupamapi kanyakam
rupasilam na nicasya
vivahah sadrse kule
(Canakya Niti Sastra 1.14)

Artinya: “Orang bijaksana hendaknya menikah dengan wanita dari keluarga terpandang walaupun wanita tersebut tidak cantik. Sebaliknya hendaklah tidak menikahi wanita dari keluarga rendah meskipun berwajah cantik. Akan tetapi, yang terbaik adalah pernikahan dengan wanita sederajat.”

Sloka ini memberikan peringatan agar orang tidak sembarangan memilih pasangan hidup. Mereka tidak memilih calon suami atau istri hanya berdasarkan pada pertimbangan harta, kecantikan wajah, atau alasan material lainnya.

Image by: Hipwee

“Rupa-silam na nicasya vivahah” – keluarga rendah yang dimaksudkan di sini adalah keluarga yang tingkah laku dan hidupnya semrawut, suka membicarakan keburukan orang lain, suka memfitnah dan bertengkar, tidak menghargai kebersihan, kesucian, sopan santun, keluarga jahat, berdosa, dan lelap dalam berbagai berkebiasaan buruk lainnya. Di lain pihak, walaupun wanita berwajah kurang begitu cantik, tetapi kalau ia berasal dari keluarga yang mulia, keluarga baik-baik, sopan santun, berjiwa mulia dalam keagamaan dan spiritual, memiliki rasa malu, maka wanita demikian patut diambil istri oleh orang bijaksana. Itulah yang dimaksudkan di sini dengan kalimat “varayet kulajam prajno nirupamapi kanyakam” – walaupun mempunyai wajah yang cantik tetapi berhati jahat maka wanita seperti itu tidak akan menjadi pilihan orang bijaksana.

Kata kanyakam pada sloka di atas memang menunjuk pada wanita, namun dalam hal ini kata kanyakam juga bisa berarti laki-laki. Kitab suci dan orang suci tidak pernah memihak. Dengan demikian, baris ini juga berarti wanita baik-baik tidak akan sembarangan memilih calon suami. Sebaliknya walaupun wanita berwajah tidak cantik namun berasal dari keluarga mulia maka ia patut diambil sebagai istri oleh orang bijaksana. Keluarga mulia biasanya selalu mewariskan kebiasaan dan sifat-sifat mulia keluarga kepada anak-anak gadisnya yang akan tinggal di keluarga orang lain, agar tidak memalukan dan tidak menjatuhkan martabat keluarganya.

Ciri-ciri luar berupa kecantikan dan ketampanan wajah serta harta benda dapat berubah dalam waktu yang tidak terlalu lama. Semua bertahan hanya beberapa bulan atau tahun. Sedangkan sifat-sifat mulia yang merupakan bawaan sejak kecil dan bekal kebiasaan keluarga mulia tidak akan pernah hilang, bahkan semakin bertambah usia maka sifat-sifat mulia tersebut menjadi semakin bertambah dan bertambah mulia. Itulah yang akan menjadi “penyejuk” hidup keluarga. Tujuan orang berumah tangga adalah demi hidup lebih tenang, damai dan harmonis, terutama agar dikaruniai keturunan anak-anak yang baik, penurut dan berbudi pekerti luhur (Suputra). Hidup indah, mulia dan tenang damai seperti itu tidak didapatkan melalui kecantikan wajah maupun harta benda melainkan melalui sifat-sifat mulia dan budi pekerti yang luhur.

Orang tua dari keluarga mulia selalu mendidik dan menyempurnakan anak gadisnya menjadi layak sebagai seorang istri sebelum diserahkan kepada pemuda pilihan yang akan menjadi suaminya. Pendidikan diberikan tidak akan mengabaikan hal-hal yang kelihatan kecil dan remeh. Mereka akan memastikan bahwa anak putrinya tidak akan pernah duduk menaikkan kaki di hadapan mertua, mereka tidak akan menikahkan anak putrinya sebelum memastikan dia sudah bisa memasak dan lain-lain bekal sifat atau kebiasan mulia yang diperlukan untuk membangun rumah tangga yang indah harmonis. Keluarga-keluarga rendah pada umumnya tidak memperhatikan tugas-tugas mulia para anggota keluarga, tata-krama dan sopan-santun pergaulan, serta sangat jauh dari kehidupan agama spiritual. Anak-anak duduk nangkring sambil nonton TV, main games, iPad, iPhone, atau minum teh, kopi, hotchocolate tanpa peduli dengan orang tua yang sedang bekerja.

Keluarga baik-baik sangat berhati-hati serta berpikir ribuan kali terlebih dahulu sebelum mengawini gadis dari keluarga rendah. Keluarga dan/atau calon suami yang bijaksana selalu memastikan bahwa calon istrinya adalah seorang wanita yang akan memberikan kedamaian dan kesejukan dalam rumah tangga yang akan dibangunnya bersama. Memilih pasangan yang mempunyai sifat-sifat tidak terpuji walaupun berwajah cantik pasti akan memberikan kedukaan pada suami dan keluarganya. Karena, wanita tidak terdidik dalam tingkah laku dan budi pekerti luhur sulit mengubah atau meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruknya.

Sesuai tradisi leluhur, pemuda atau gadis dianjurkan agar berhati-hati memilih lelaki untuk menjadi pasangan hidupnya. Memilih suami tidak karena ketampanan wajah dan juga bukan karena harta atau status lainnya. Leluhur kita sangat rapi menyusun pernikahan putra-putrinya. Hasilnya, zaman dahulu hampir tidak ada perceraian. Namun sekarang, ketika orang menentukan pembentukan keluarga melalui “Cinta sama Cinta”, menurut cerita kawan yang adalah seorang hakim, kasus perceraian merupakan kasus tertinggi yang ditangani di pengadilan. Orang-orang pada antre untuk bercerai. Perceraian tidak lagi kasus melainkan sudah menjadi masalah sangat umum, hal yang biasa, atau hal yang “memang harus terjadi”. Bagaimana pun cara kita menilai leluhur namun “teknik” leluhur ternyata lebih ampuh. Melalui “teknik” Pawukon, Horoscope, Numerology dan lain-lain cara Jyotisa (astrology) leluhur dapat mengetahui apakah pernikahan tersebut akan langgeng atau tidak, bisa mempunyai keturunan ataukah tidak, berapa pasangan tersebut akan mempunyai anak laki atau perempuan, – semua dapat “diketahui” melalui peritungan Pawukon atau Jyotisa. Pasangan memulai hidup Grhastha “tanpa atau melalui cinta” namun dalam perkembangan waktu akhirnya mereka menjadi cinta setengah mati, bahkan sampai tingkat “mesati” (ikut mati dalam pembakaran mayat suami). Tentu saja Veda tidak pernah menganjurkan hal-hal seperti ini.

Wanita yang mendapatkan suami santun bijaksana pastilah wanita yang sudah menanam karma indah pada penjelmaan sebelumnya, atau mendapatkan karunia khusus Tuhan dalam hidup sekarang ini. Pria atau wanita yang mendapatkan istri atau suami yang berwajah cantik/ganteng sekaligus “cantik atau ganteng hati” dianggap dalam kehidupan lampaunya sudah melakukan kegiatan-kegiatan yang sangat mulia. Paling tidak, itulah pendapat pustaka Sarasamuccaya.

Terlahir sebagai seorang wanita mulia yang berwajah cantik (ikang striratna anakӗbi rahayu), pantas memakai berbagai macam pakaian, yang menyenangkan para pria, memiliki rumah besar megah bagaikan istana (lawan umah rahayu, makadi prasadaprsta), dengan menara dan banyak ruangan, dihormati dan disegani, tidak kekurangan santapan jasmani dan rohani, berbagai pakaian dan perhiasan mewah wastrabharanadi, harta benda berlimpah, semua itu dimiliki oleh orangorang dermawan (drbya sang punyakari ika kabeh).

Vivahah sadrse kule — pernikahan terbaik adalah dengan pasangan yang sederajat, baik wanita maupun lelaki. Wanita mulia akan sakit hati melayani suami yang memiliki kebiasaan buruk. Ia pun pasti akan merosot jatuh ke dalam kebiasaan buruk keluarga suami. Sebaliknya suami yang terjauhkan dari sifat mulia tetapi memiliki istri bersifat mulia maka ia akan merasa seolah-olah “bermimpi”. Bahkan banyak pula yang menganggap istrinya gila karena rajin sembahyang, tidak makan daging, dan lain-lain. Pernikahan terbaik adalah menikah dengan keluarga sederajat. Jika suami-istri sama-sama tidak makan daging, sama-sama rajin bersembahyang, sama-sama suka membaca kitab suci Veda, maka dengan sendirinya akan tercipta keluarga yang damai, rukun dan suci.

Manava Dharma Sastra sangat menekankan agar golongan varna memilih pasangan hidup untuk berkeluarga dari varna yang sama, demi terciptanya keseimbangan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Bila seseorang dari varna Brahmana menikah dengan sesama Brahmana tentulah mereka dapat saling mendukung. Bila Brahmana menikah dengan varna Vaisya, ada bahaya mereka akan “memperdagangkan” ke-brahmana-an. Mereka yang memiliki sifat kependetaan lalu bekerja sebagai pebisnis, bukan hanya rugi melainkan modal pun ludes “dimakan kebaikan”. Sedangkan yang berjiwa bisnis lalu mengambil pekerjaan kependetaan, maka segala pelayanan agama spiritualnya akan musnah “dimakan kali-kalian”.

Pernikahan bukan untuk “kawin” melainkan demi membangun sebuah rumah tangga yang ideal dan harmonis dalam jalan Veda. Keluarga seperti inilah yang akan membentuk masyarakat, bangsa dan Negara yang tenang, damai, “gemah ripah loh jinawi”. Keluarga yang hidupnya selalu dalam jalan Veda. Grhastha yang siap dan layak menjadi keluarga Sukhinah.

Sumber: Weda Wakya Bali Post 04-03-2018