Paduarsana

Berbagi Tentang Semua Hal

Tag Archives: pura

Pura Sangga Bhuwana Hamburg, Jerman


Pura Sangga Bhuwana Hamburg, Jerman. Terletak di Hamburg tidak jauh dari pusat kota, Pura Sangga Bhuwana dibangun dan terlihat kokoh & simple dengan Tinggi 8 meter didepan museum Voelkerkunde. Sebuah museum Etnologi. Pura ini digunakan sebagai tempat persembahyangan umat Hindu yang bermukim disana, untuk mencapai pura ini bisa menggunakan transportasi bus atau kereta api yang lokasinya dekat dengan kota Hamburg. Sejak awal dibangun pura bernuansa Bali ini, oleh karena adanya anjungan budaya Bali di museum dan membuat pihak pengelola museum dan publik ingin mengenal lebih jauh tentang budaya Bali. Dibarengi dengan ide tersebut tempat persembahyangan diantara warga Bali yang sudah menetap di Hamburg membuat mereka bersemangat membuat pura dan diresmikan pada tahun 2010. Pura pun dibangun berdasarkan aturan sakral Hindu dan mendatangkan pendeta yang memimpin upacara dari Bali, pura disumbang oleh donatur dari Jerman, warga Bali yang menetap di Hamburg dan pemerintah federal Hamburg melalui pengelola pihak museum dengan biaya 200.000 euro atau sekitar 3 milyar rupiah.

Dalam proses pembangunan pura Sangga bhuwana hamburg Jerman,semua perlengkapan dari Batu,ukiran,Patung dan arsitek ahli bangunan Bali didatangkan dari pula Dewata Bali dengan dipandu ahli arsitek dari jerman agar sesuai dengan suasana alam dan iklim saat musim salju di wilayah Hamburg. Upacara persembahyangan senantiasa dilakukan oleh umat Hindu di Hamburg Jerman dihari baik dalam kalender Hindu seperti Purnama dan Tilem.

Upacara piodalan Pura Sangga Bhuwana Hamburg, Jerman dilakukan tepat pada Hari Raya Kuningan dimana jatuh setiap 210 hari sekali.

Jika kebetulan semeton berkunjung (tangkil maturan) saat musim dingin ke Pura Sangga Bhuwana Hamburg jangan lupa untuk menggunakan pakaian hangat agar nyaman karena pernah terjadi pemedek kedinginan dan tirta menjadi beku. Dengan adanya pura membuat masyarakat Indonesia yang berada Jerman dapat sesering mungkin berkunjung ke museum untuk berwisata dan sekaligus bertirtha yatra bagi yang Hindu. Hal ini dapat mempererat hubungan baik antar sesama warga Indonesia di Jerman dan yang beragama Hindu, sehingga terjalin hubungan yang harmonis.

Untuk mempermudah mencari letak Pura Sangga Bhuwana Hamburg, Jerman gunakalah keyword dan titik koordinat ini : Voelkerkunde Museum Rothenbaumchaussee 64, 20148 Hamburg, Germany pada google maps atau semeton bisa klik disini.

Kerauhan


Kerauhan secara sederhana berarti “kedatangan”. Apa yang datang tidak lain adalah suatu “kekuatan” antara lain berupa roh atau kekuatan gaib/makhluk lainnya. Kekuatan yang datang dari “dunia lain” itu lalu memasuki/meminjam tubuh seseorang untuk dijadikan sebagai media untuk mengkomunikasikan sesuatu yang bersifat informasi dari dunia niskala ke dunia sekala sehingga bisa diterima maksudnya.

“Kerauhan” dalam perbendaharaan tradisi Bali sering juga disebut dengan istilah “tedun”, “kerangsukan”, “nyajan”. Peristiwa kerauhan ini bisa terjadi karena proses yang disengaja dan tidak disengaja serta selalu berhubungan dengan dimensi ritual(keagamaan), kepercayaan(tradisi nunasang) dan mistik (sihir/hipnotis). Kerauhan yang terjadi karena perbuatan yang disengaja antara lain melalui kegiatan upacara keagamaan seperti saat Piodalan dimana ada seseorang atau bisa juga lebih karena sebagai “tapakan Bhatara” selalu kerauhan ketika upacara Piodalan berlangsung. Tradisi “ngerebong” dengan ciri “ngurek” di Pura Pangerebongan di Kesiman merupakan contoh yang lain.

“Kerauhan” yang disengaja juga bisa terjadi melalui proses “nunas baas pipis/nunas baos” pada seorang balian, misalnya untuk menanyakan roh yang numadi pada seorang bayi atau menanyakan suatu penyakit yang sedang menimpa seseorang. Termasuk kerauhan yang disengaja adalah melalui dunia mistik dimana seseorang yang mempunyai kemampuan supranatural bisa memasukkan roh atau kekuatan makhluk lain ke dalam tubuh seseorang sehingga yang bersangkutan bergerak, berucapap seperti sosok roh yang memasukinya. Pertunjukan tari wali seperti Sanhyang Jaran, Sanghyang Bojogm Sanghyang Celeng, Sanghyang Dedari juga tergolong “kerauhan” ini yaitu dengan menghadirkan atau memasukkan roh halus untuk menari dengan meminjamkan tubuh seseorang.

Selain “kerauhan” yang memang sengaja dibuat seperti disebutkan diatas, ada juga orang “kerauhan” karena tidak disengaja dan malah tidak dikehendaki tetapi terjadi juga. Misalnya orang kena “bebai”, “salahang dewa”, melanggar aturan dunia niskala yang tidak kita ketahui misal memasuki Pura yang dikenal “tenget” tanpa permisi,dll.

Pada intinya sengaja atau tidak “kerahuan” merupakan proses sinergi komunikasi antara dunia niskala dengan duni sekala bahwa ada hal-hal yang perlu diinformasikan tentang sesuatu yang berasal dari dunia gaib kedunia nyata agar diketahui, dipahami dan dilaksanakan oleh kita yang hidup di dunia sekala. Dan karena hubungannya dengan keimanan dan kepercayaan tentu berpulang pada kita untuk menyikapinya. Percaya atau tidak.

Pura Luhur Giri Arjuno Malang


Pura Luhur Giri Arjuno terletak di Desa Tulung Rejo, Dusun Junggo, Kecamatan Bumi Aji, Kota Batu, Jawa Timur. Setelah melewati Dusun Junggo, jalan menuju Pura diapit kebun apel. Pemandangan Gunung Arjuno yang memukau, menghilangkan rasa lelah sehabis menempuh empat jam perjalanan dari arah Surabaya.

Di lokasi pura juga berdiri Candi Bentar pemisah antara Nista Mandala dan Madya Mandala yang terlihat megah dan istimewa. Di sebelah kiri dan kanan Candi, patung penjaga berdiri tak kalah gagah. Pepohonan hijau yang tersusun, turut menambah keasrian Pura.

Pura Giri Arjuno merupakan pura terbesar di Jawa Timur, yang terletak di dusun Junggo bagian dari desa Tulungrejo Kota Batu. Pemandangan disekitar pura ini sangat indah, dengan latar belakang gunung Arjuno. Udara sejuk segar, dikelilingi oleh kebun apel serta kebun sayuran yang hijau sangat memanjakan mata kita.

Pura Luhur Giri Arjuno sendiri, diusung oleh 80 Kepala Keluarga yang beragama Hindu Dharma. Sebelum Pura ini berdiri, dusun Junggo sudah memiliki Pura Indrajaya dan satu sanggar pemujan. Hari Raya Galungan dan Kuningan dilaksanakan di Pura Indrajaya, sementara Hari Raya Nyepi, Siwaratri, dan Saraswati dilaksanakan di Pura Luhur Giri Arjuno. Di lokasi berdirinya sekarang, di dekat Pura Luhur Giri Arjuno juga berdiri padepokan Pelinggih Hyang Sarip. Saat ini, Pelinggih Hyang Sarip berada tepat di depan Pura. Warga menjaga tradisi, bahwa sebelum memasuki area Pura, setiap yang masuk, diharuskan untuk meminta ijin terlebih dahulu di Pelinggih tersebut.

Khusus untuk pendirian Pura, terjadi sedikit konflik antara kaum muda dan kaum tua. Kaum muda menghendaki pembangunan Pura di sisi Utara dekat Jembatan Krecek dan di pertengahan perkebunan Tegal Sari atas pertimbangan jarak tempuh warga menuju Pura. Sedangkan kaum sesepuh menghendaki lokasi di atas Kampung Tegal Sari, yakni di sekitar Pedepokan Hyang Sarip. Akhirnya warga mengambil jalan tengah dengan cara memilih tanah lokasi berdasarkan arahan orang pintar atau paranormal yang ada di Bali. Sejak itu, dikirimlah ketiga contoh tanah ke Bali. Dan akhirnya, tanah di sekitar padepokan Hyang Sarip terpilih sebagai lokasi. Ini didasarkan pada energi positif yang dipancarkan oleh tanah tersebut. Selain itu, warga Hindu setempat percaya di lokasi itu terkubur Candi Pawon, bekas peninggalan prajurit Majapahit, yang sampai sekarang masih misterius keberadaannya.